Suara.com - Facebook telah melarang militer Myanmar dan afiliasinya dari platform media sosial tersebut.
Raksasa media sosial asal Amerika Serikat itu mengatakan langkah tersebut diambil setelah pihaknya memutuskan "risiko membiarkan Tatmadaw [militer Myanmar] di Facebook dan Instagram terlalu besar".
Militer Myanmar menggunakan Facebook untuk menguatkan klaimnya atas kecurangan dalam pemilu 2020.
Setengah dari populasi Myanmar menggunakan Facebook, yang bagi banyak orang merupakan identik dengan internet.
Baca Juga: Australia Sahkan UU yang Paksa Media Sosial Bayar Konten Perusahaan Media
Facebook baru saja beberapa hari lalu melarang halaman utama militer karena melanggar pedomannya menyusul kudeta 1 Februari.
Sejak militer merebut kekusaan, mereka telah menangkap pengunjuk rasa, memerintahkan untuk mematikan internet dan juga melarang platform media sosial - termasuk Facebook.
- Ratusan ribu orang turun ke jalan dalam demonstrasi terbesar menentang kudeta militer Myanmar
- 'Mantan saya buruk, tapi militer Myanmar lebih buruk' — pesan jenaka ala pendemo milenial dan Generasi Z
- Penguasa militer Myanmar menutup akses internet di tengah unjuk rasa terbesar menentang kudeta
Facebook mengatakan dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada Rabu (24/02) malam bahwa mereka melihat "perlunya larangan ini" menyusul "berbagai peristiwa sejak kudeta 1 Februari, termasuk kekerasan mematikan".
Setidaknya tiga pengunjuk rasa dan satu polisi tewas dalam kekerasan dalam aksi unjuk rasa menentang kudeta, yang menggulingkan pemerintah terpilih di Myanmar.
Facebook juga mengatakan akan melarang entitas komersial yang terkait dengan Tatmadaw untuk beriklan di platform tersebut dan menambahkan bahwa larangan ini akan segera berlaku hingga jangka waktu yang "tidak ditentukan".
Baca Juga: Facebook Sepakat Bayar Rp 14 Triliun ke Perusahaan Media Australia
Ia menambahkan bahwa larangan tersebut tidak akan mencakup kementerian dan lembaga pemerintah yang terlibat dalam layanan publik, seperti Kementerian Kesehatan dan Pendidikan.
Militer dan internet
Protes berlangsung hampir setiap hari di jalan-jalan Myanmar, yang juga dikenal sebagai Burma.
Aksi unjuk rasa terus berlanjut meski ada ancaman terselubung pada awal pekan ini oleh penyiar yang terkait dengan militer yang menyarakan akan menggunakan kekuatan mematikan terhadap demonstran.
Kritikus juga mengatakan militer mencoba membasmi perbedaan pendapat secara online, dengan mematikan akses ke internet secara berkala. Hal itu juga memblokir sementara akses ke Facebook sebelumnya.
Pasal 77 Undang-Undang Telekomunikasi Myanmar, yang disahkan pada 2013, digunakan oleh pemerintah untuk memutus telekomunikasi selama keadaan darurat nasional.
Para aktivis selama bertahun-tahun telah meningkatkan kewaspadaan tentang peran Facebook dalam menyebarkan ujaran kebencian di Myanmar.
Jauh sebelum kudeta terbaru ini, muncul kekhawatiran bahwa Facebook memiliki kemampuan untuk memperkuat ketegangan agama di negara yang mayoritas beragama Buddha itu.
Pada tahun 2014, biksu ekstremis anti-Muslim, Ashin Wirathu, membagikan sebuah postingan yang menuduh seorang gadis Buddha telah diperkosa oleh pria Muslim. Itu menjadi viral di Facebook.
Beberapa hari kemudian, gerombolan massa mendatangi mereka yang dituduh terlibat dan dua orang tewas akibat kekerasan yang pecah. Investigasi polisi kemudian menemukan bahwa tuduhan biksu itu telah sepenuhnya dibuat-buat.
Pada 2017, Facebook kembali disorot karena perannya dalam kekerasan terhadap minoritas Rohingya.
Sebuah laporan Reuters menemukan lebih dari 1.000 unggahan, komentar dan gambar di Facebook menyerang Rohingya dan Muslim.
Panglima Angkatan Darat Min Aung Hlaing - yang sekarang adalah penguasa militer negara itu - ditemukan telah menyebut Rohingya sebagai "Bengali" - yang memperkuat dugaan bahwa mereka adalah imigran dari Bangladesh meskipun banyak yang telah berada di negara itu selama beberapa generasi.
Facebook akhirnya melarang Min Aung Hlaing dan sejumlah tokoh militer terkenal lainnya. Ini adalah pertama kalinya Facebook melarang pemimpin militer atau politik suatu negara.
Sebuah laporan PBB pada tahun 2018 menemukan Facebook "lambat dan tidak efektif" dalam menangani ujaran kebencian. "Sejauh mana posting dan pesan Facebook telah menyebabkan diskriminasi dan kekerasan di dunia nyata harus diperiksa secara independen dan menyeluruh," katanya.
Facebook kemudian juga mengakui bahwa banyak orang di Myanmar mengandalkan platform untuk informasi, "lebih dari di hampir semua negara lain".
Myanmar - dasar-dasarnya
- Myanmar, juga dikenal sebagai Burma, merdeka dari Inggris pada tahun 1948. Untuk sebagian besar sejarah modernnya, Myanmar berada di bawah kekuasaan militer.
- Pembatasan mulai dilonggarkan sejak 2010 dan seterusnya, yang mengarah pada pemilihan bebas pada 2015 dan pelantikan pemerintahan yang dipimpin oleh pemimpin oposisi veteran Aung San Suu Kyi pada tahun berikutnya.
- Pada tahun 2017, militan dari kelompok etnis Rohingya menyerang pos polisi, dan tentara Myanmar serta gerombolan Buddha setempat menanggapinya dengan tindakan keras yang mematikan, yang dilaporkan menewaskan ribuan orang Rohingya. Lebih dari setengah juta warga Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh, dan PBB kemudian menyebutnya sebagai "contoh buku teks tentang pembersihan etnis"