Suara.com - Kerumunan warga masih terus terjadi di berbagai daerah, termasuk pada momen kedatangan Presiden Joko Widodo ke Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), awal pekan ini.
Pakar kesehatan masyarakat menilai kebiasaan warga melanggar protokol kesehatan turut dipicu perilaku pejabat pemerintah.
Pemerintah NTT mengklaim kerumunan penyambut Jokowi adalah spontanitas masyarakat yang tak dapat dibendung.
Selama pandemi Covid-19, sejumlah orang dijerat pidana karena diduga mendorong munculnya kerumunan.
Baca Juga: Puluhan Pelanggar Prokes di Pondok Gede Bekasi Dikenakan Sanksi Sosial
Di sisi lain, beberapa pejabat pemerintah pemicu kerumunan tidak dipolisikan.
- Covid-19 Indonesia terus naik: Orang yang tak taat protokol makin banyak karena 'masyarakat menengah bawah tak paham'?
- 'Pelanggaran protokol kesehatan' di markas FPI, Kapolda Metro Jaya dan Jawa Barat 'dicopot' karena 'tidak laksanakan perintah'
- Situasi 'zona merah' rumah sakit di tengah lebih dari satu juta kasus Covid-19
Pejabat publik merupakan figur yang perilakunya ditiru masyarakat, termasuk saat pandemi, kata Iwan Setiawan, epidemiolog di Universitas Indonesia.
Walau kepatuhan pada protokol kesehatan terus dikampanyekan, termasuk saat vaksinasi mulai digelar, Iwan melihat ada pejabat pemerintahan yang justru mengabaikan anjuran itu.
"Sebetulnya pesan pemerintah jelas, misalnya meski vaksinasi berjalan, protokol kesehatan harus tetap dipatuhi. Masalahnya ada di pelaksanaannya," kata Iwan via telepon, Kamis (25/02).
"Tentu harus dimulai dari pejabat pemerintah. Kalau mereka tidak memberikan contoh yang baik, masyarakat pasti keliru menerima pesan dan makna kebijakan pemerintah.
Baca Juga: Kontroversi Kerumunan Massa Jokowi, yang Kena Salah Malah Satgas COVID-19
"Perilaku dan aktivitas yang mengabaikan protokol kesehatan seperti itu membingungkan masyarakat, 'katanya harus menjalankan protokol kesehatan, tapi contohnya tidak'," ujar Iwan.
Kunjungan kerja Jokowi ke Maumere tanggal 23 Februari lalu disorot. Kerumunan warga lokal tanpa saling jaga jarak berjejer di pinggir jalan menyambut Jokowi yang melintas dalam iring-iringan kendaraan.
Jokowi yang saat itu hendak menuju lokasi peresmian Bendungan Napun Gete sempat keluar dari atap mobil dan melambaikan tangan ke kerumunan warga.
Juru Bicara Pemprov NTT, Marius Jelamu, mengklaim telah mengimbau warga Maumere agar tidak berbondong-bondong menyaksikan konvoi Jokowi.
Dan saat kerumunan itu akhirnya tetap terjadi, kata Marius, otoritas setempat tidak dapat membubarkan massa.
"Saya sebagai Kepala Biro Humas Pemprov NTT dan Juru Bicara Gugus Tugas Covid-19 sudah mengimbau di Radio RRI supaya masyarakat tidak berkerumun," kata Marius saat dihubungi.
"Tapi tetap saja mereka punya spontanitas sendiri.
"Ada warga yang bersikutan dengan anggota Paspampres. Mereka bilang, 'bapak bisa setiap hari lihat presiden, kami mungkin cuma sekali seumur hidup'.
"Kadangkala spontanitas masyarakat bisa mengalahkan peraturan. Ini kan rakyat yang sedang bereuforia," ujar Marius.
Marius berkata, kerumunan hanya terjadi di jalan-jalan yang dilalui Jokowi. Sementara pada seremoni peresmian Bendungan Napun Gete, kata dia, jumlah peserta acara di sekitar Jokowi dibatasi 50 orang.
"Euforianya ada di jalanan, warga keluar rumah dan datang dari desa. Tapi di tempat pertemuan, protokol kesehatan ketat sekali," ujar Marius.
Apa tindak lanjut setelah kejadian di Maumere?
Pemprov NTT dan Kabupaten Sikka, kata Marius, kini tengah berkoordinasi untuk melakukan pelacakan kasus positif Covid-19 yang mungkin terjadi akibat kerumunan di Maumere.
Namun hingga Februari ini, NTT adalah salah satu provinsi yang belum memenuhi standar minimum 1.000 tes swab (usap) polymerase chain reaction (PCR) dalam sehari.
Merujuk keterangan Ketua Tim Laboratorium Biokesmas Provinsi NTT, Fainmarinat Inabuy, yang dilansir kantor berita Antara, NTT saat ini baru mampu memeriksa 684 spesimen dalam satu hari.
Tes PCR secara massal secara global dianggap sebagai salah satu faktor pengendali penularan Covid-19.
Adapun, pejabat di lingkaran Istana Kepresidenan menyebut akan ada evaluasi protokoler kunjungan kerja Jokowi ke daerah setelah peristiwa di Maumere ini.
"Koordinasi pengawalan pihak Istana dengan pemerintah daerah akan jadi bahan evaluasi agar ke depan kerumunan seperti itu tidak terjadi lagi. Ke depan akan lebih baik," kata Donny Gahral, Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden.
Kerumunan lain selama pandemi
Setelah kejadian di Maumere, sebagian kalangan mengungkit kerumunan anggota dan simpatisan Front Pembela Islam yang muncul di Jakarta dan Tangerang akhir tahun lalu.
Terkait kejadian itu, sejumlah pejabat Pemprov DKI Jakarta dan Jawa Barat diperiksa kepolisian. Setidaknya ada enam orang yang dijadikan tersangka akibat kerumunan itu, tidak satupun di antara mereka merupakan pejabat pemerintah.
Desember lalu, kerumunan orang juga pernah terjadi di tiga tempat wisata di kota Bukittingi, Sumatera Barat, yaitu Taman Marga Satwa Kinantan, Benteng Fort de Kock, dan Taman Panorama Lobang Jepang.
Kepolisian sempat menangani kasus yang mereka duga dipicu keputusan Wali Kota Bukittinggi, Ramlan Nurmatias, membebaskan retribusi tempat rekreasi dalam rangka hari jadi Bukittinggi ke-236.
Namun Kasat Reskrim (Kepala Satuan Reserse dan Kriminal), Polres Bukittinggi, AKP Chairul Amri Nasution, menyebut pengusutan kasus kerumunan itu sudah dihentikan.
"Kasusnya sudah selesai dengan Perda 6/2020 tentang adaptasi kebiasaan baru. Yang dikedepankan penindakan Satpol PP, berupa teguran tertulis kepada kepala dinas pariwisata. Dia yang bertanggung jawab," kata Chairul.
"Ada juga kemarin kerumunan pertunjukan musik di pelataran Jam Gadang. Itu kami limpahkan juga ke Satpol PP. Ada tempat orang yang dikenai sanksi," ujarnya.
'Yang penting contoh perilaku'
Bagaimanapun, menurut epidemiolog Iwan Setiawan, perilaku figur publik yang menaati protokol kesehatan sangat vital selama pandemi.
Menurutnya, ancaman hukuman apapun untuk pejabat pemicu kerumunan akan sia-sia jika pelanggaran protokol kesehatan terus-menerus dipertontonkan.
"Yang paling penting adalah contoh atau kesadaran. Hukuman adalah tindakan terakhir," kata Iwan.
"Penegakan hukuman itu pun harus konsisten. Kalau tidak, masyarakat akan melihat itu sekedar peraturan yang tidak dijalankan," ujarnya.
November lalu, Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan bahwa setiap pejabat pemerintah, baik di pusat maupun daerah, akan dijatuhi sanksi jika terlibat pengumpulan massa selama pandemi.
Ketika itu, Mahfud juga mendorong pejabat dan tokoh agama memberikan contoh terbaik terkait kepatuhan terhadap prokol kesehatan.
---
Wartawan di Padang, Albert Chaniago, berkontribusi untuk liputan ini.