Djoko Tjandra pun mengaku tidak ada uang yang diperuntukkan untuk pejabat tinggi baik di Kejaksaan Agung maupun Mahkamah Agung.
"Kan bahaya ada menyebut-nyebut nama pejabat, saya anggap ini suatu modus yang tidak 'comfortable' sehingga saya putuskan tidak dilanjutkan tapi ketika saya memperoleh whatsap dari Andi Irfan, saya minta ke sekretaris tolong 'di-print out', jadi tulisan saya 'no' di printout tapi 'next day' putus," ungkap Djoko.
"Action plan" tersebut berisi 10 tahap pelaksanaan untuk meminta fatwa Mahkamah Agung (MA) atas putusan Peninjauan Kembali (PK) Djoko Tjandra dengan mencantumkan inisial "BR" sebagai pejabat di Kejaksaan Agung dan dan "HA" selaku pejabat di MA. Biaya pelaksanaan "action plan" itu tertulis 100 juta dolar AS.
Djoko Tjandra pun mengaku Pinangki sempat meminta biaya 100 juta dolar AS.
"Saat 'tea time' 25 November ada tercetus dari Pinangki 'wah Pak Djoko bangun gedung ini berapa miliar?'. Saya katakan habis 5,5 miliar dolar AS. Dia katakan 'wah ini gedung kebanggaan Indonesia kalau dibangun di Indonesia. Lalu dia katakan 'Untuk Pak Djoko kalau pulang buang 100 juta dolar AS tidak apa-apa kan, jadi tidak spesifik saya tanggapi," ungkap Djoko Tjandra.
Gedung seharga 5,5 miliar dolar AS tersebut adalah hotel Ritz Cartlon Kuala Lumpur.
"Jadi tidak spesifik mereka minta 100 juta dolar AS, hanya mengatakan kalau saya pulang (ke Indonesia), buang 100 juta dolar AS tidak ada masalah," tambah Djoko.
Terkait perkara ini, Pinangki Sirna Malasari divonis 10 tahun penjara ditambah denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan.
Baca Juga: Boyamin MAKI Serahkan Profil King Maker Kasus Djoko Tjandra ke KPK