Bagaimana Awal Kasus Nakes Lelaki Mandikan Jenazah Perempuan Pasien Covid?

SiswantoBBC Suara.Com
Kamis, 25 Februari 2021 | 12:01 WIB
Bagaimana Awal Kasus Nakes Lelaki Mandikan Jenazah Perempuan Pasien Covid?
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kejaksaan Negeri Pematang Siantar, Sumatera Utara, hari Rabu (24/2), menghentikan kasus perkara pemandian jenazah Covid-19 berjenis kelamin perempuan oleh sejumlah tenaga kesehatan laki-laki.

Sementara itu, salah satu ketua MUI angkat bicara dan mengingatkan agar pengurusan jenazah Muslim menggunakan fatwa yang telah ditetapkan oleh organisasinya.

Sebelumnya, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), mengatakan "tindakan pemandian jenazah ini dilakukan atas dasar kedaruratan".

Sehari sebelumnya, kejaksaan gagal memediasi pertemuan keempat terdakwa -- empat nakes di RS Djasamen Saragih -- dengan korban pelapor.

Baca Juga: Kasus 4 Tenaga Forensik Ditutup, Denny Siregar: Saya Bangga Jadi Buzzer

Pertemuan yang digagas oleh kejaksaan menemui jalan buntu.

Akhirnya, Kejaksaan Negeri Pematang Siantar memutuskan menghentikan perkara keempat nakes tersebut.

Kabar penghentian perkara ini disampaikan langsung oleh Kepala Kejaksaan Negeri Pematang Siantar, Agustinus Wijono Dososeputro, di kantornya, Rabu (24/2) sore.

"Kejaksaan menghentikan perkara ini dengan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2), artinya perkara ini ditutup," kata Agustinus dalam konfrensi persnya dengan wartawan di kantor Kejari Pematang Siantar.

Agustinus mengatakan alasan penghentian perkara "karena unsur penodaan agama yang dilakukan oleh keempat terdakwa tenaga kesehatan itu tidak terbukti".

Baca Juga: Nakes Mandikan Jenazah Wanita Tersangka Penistaan Agama, Ini Bunyi Pasalnya

Lalu, unsur dengan sengaja menghina agama, yang dilakukan para terdakwa kepada jenazah perempuan juga tidak terbukti.

"Keempatnya tidak terbukti melanggar pasal 156 A Jo Pasal 55 UU tentang Penistaan Agama," kata Agustinus.

Agustinus mengaku ada kekeliruan penelitian yang dilakukan jaksa dalam mengkaji berkas yang sempat dinyatakan lengkap atau P-21 ini.

Agustinus menerangkan bahwa perbuatan keempat terdakwa tenaga kesehatan saat itu hanyalah untuk melakukan pemulasaran di masa pandemi Covid-19.

Agustinus membantah penghentian perkara dugaan penistaan agama karena ada intervensi dari pihak lain.

"Penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan mengacu pada unsur dan hukum acara pidana. Saya siap menerima jawaban pihak mana pun yang ingin melakukan praperadilan atas penghentian perkara ini," kata Agustinus.

Bagaimana reaksi pelapor?

Kuasa hukum pelapor, Muslimin Akbar, mengaku terkejut saat mendengar kejaksaan tiba-tiba menghentikan perkara dugaan penistaan agama yang melibatkan empat orang nakes di RS Djasamen Saragih.

Muslimin mengatakan penghentian ini terjadi sehari setelah mereka dipanggil oleh kejaksaan untuk memediasi perkara pemandian jenazah istri klien mereka oleh empat terdakwa.

Muslimin menyebut dalam mediasi yang berlangsung sekitar dua jam oleh Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Pematang Siantar, M. Chadafi, empat nakes bersama pelapor Fauzi Munthe hadir didampingi kuasa hukum masing-masing.

Muslimin mengatakan dalam pertemuan tersebut, keempat terdakwa meminta damai dan itu sah karena diatur dalam Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif

"Keempat terdakwa memohon agar kasus ini dihentikan. Sementara, klien kami berkeinginan untuk melanjutkan perkara hukum ini sampai ke pengadilan. Pertemuan tidak menemui titik hasil, artinya mediasi gagal," kata Muslimin kepada wartawan Dedi Hermawan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (24/2).

Kasi intel Kejari Pematang Siantar, BAS Faomasi J. Laia, saat dikonfirmasi membenarkan adanya upaya mediasi tersebut.

Namun, Faomasi mengaku tidak mengetahui hasilnya karena tidak hadir di pertemuan tersebut.

Bagaimana awal kasus ini?

Kepolisian Daerah Sumatera Utara dan Polres Pematang Siantar telah menetapkan empat nakes yang bertugas memandikan jenazah perempuan yang meninggal akibat Covid-19 di RS Djasamen Saragih sebagai tersangka, namun mereka tidak ditahan.

Keempat tersangka tersebut berinisial DAAY, ESPS, RS, REP.

Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Hadi Wahyudi, menyatakan keempat tersangka dijerat pasal berlapis yaitu pasal 156 huruf a juncto pasal 55 ayat 1 tentang penistaan agama serta pasal 79 jo pasal 51 UU Nomor 79 Tahun 2014 tentang praktek kedokteran.

Hadi menjelaskan dasar penetapan tersangka sesuai hasil gelar perkara dan keterangan para saksi meliputi dari MUI dan para dokter yang ada di rumah sakit.

Hadi menyebut ada tujuh orang saksi yang dimintai keterangan polisi.

"Kesimpulannya itu didapatkan fakta hukum bahwa pelapor atas nama Munthe merasa bahwa istrinya yang berusia 50 tahun tidak layak untuk dimandikan oleh yang bukan mahramnya. MUI juga menyatakan demikian," kata Hadi Wahyudi, Rabu (24/2).

Hadi menerangkan bahwa sebelumnya ada upaya dari polisi dan rumah sakit untuk memohon maaf tapi dari pihak keluarga tetap menuntut proses hukum yang dirasakan baginya tidak sesuai dengan syariat Islam.

Hadi menyatakan penyidik polisi sudah melimpahkan berkas keempat tersangka nakes tersebut ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Pematang Siantar. Berkas perkara keempat tersangka sudah dinyatakan lengkap dan siap menjalani persidangan.

"Saat ini penanganan perkaranya ada di kejaksaan. Sudah kita limpahkan berkasnya ke sana," kata Hadi.

Ketua MUI Pematang Siantar, M. Ali Lubis, menyatakan dari awal kasus ini mencuat, pihaknya berpendapat bahwa tindakan keempat nakes laki-laki yang memandikan jenazah perempuan "merupakan pelanggaran berat terhadap syariat Islam".

Namun, Ali membantah jika tindakan tersebut dikatakan penistaan agama.

"MUI tidak pernah mengucakan kalimat itu [penistaan agama]. MUI hanya menyatakan perbuatan keempat nakes itu pelanggaran keras, karena memandikan jenazah tidak sesuai syariat Islam," kata Ali Lubis kepada BBC Indonesia, Rabu (24/2).

Ali menjelaskan, sebelumnya MUI dan Pemerintah Kota Pematang Siantar sudah pernah rapat dan memutuskan jika ada umat Islam yang meninggal akibat Covid-19 supaya dilaksanakan prosesi secara syariat Islam.

"Ternyata tidak mereka laksanakan, itu pelanggaran yang kita maksudkan," kata Ali, sembari menambahkan karena masalah ini sudah ditangani secara hukum, MUI tidak bisa mencampurinya lagi.

Kasus pemandian jenazah perempuan terpapar Covid-19 yang melibatkan empat orang nakes di RS Djasamen Saragih terungkap ketika suami korban melakukan protes ke rumah sakit.

Protes yang dilakukan Fauzi Munte, suami dari perempuan yang meninggal viral di media sosial.

Dalam video berdurasi tiga menit 11 detik, Fauzi menyebut tindakan rumah sakit "tidak sesuai syariat Islam karena yang memandikan isterinya bukan mahram". Dalam video tersebut, Fauzi juga membantah jika istrinya meninggal karena Covid-19.

Istri Fauzi meninggal di RS Djasamen Saragih pada 20 September 2020 pukul 17.00 WIB. Malam harinya, empat petugas laki-laki dari rumah sakit memandikan jenazah istri Fauzi.

"Saya mengintip proses pemandian jenazah istri saya, spontan saya terkejut karena yang memandikan empat orang laki-laki: dua Muslim dan dua lagi [beragama] Kristen yang jelas bukan mahramnya. Ini tidak sesuai syariat [Islam]," kata Fauzi.

Fauzi mengaku saat itu dirinya tidak diperbolehkan masuk oleh para petugas dan disuruh keluar. "Saya disuruh keluar dan pintu langsung dikunci mereka," kata Fauzi Munte.

Kejadian ini mendapat respons dari kalangan pemuka agama Islam di Kota Pematang Siantar.

Bahkan, ratusan massa yang tergabung dalam Aksi Bela Islam berunjuk rasa di lapangan Adam Malik Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara pada bulan Oktober 2020.

Massa menuntut empat orang laki-laki yang memandikan jenazah perempuan Muslim terduga Covid-19 segera diproses hukum karena bertentangan dengan syariat Islam.

Syahban Siregar, salah seorang tokoh pemuda Islam di Pematang Siantar, mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan empat laki-laki yang memandikan jenazah perempuan "telah mencederai hak asasi manusia dan bertentangan dengan syariat Islam".

Syahban menegaskan sebagai umat Islam, mereka merasa tersinggung atas kejadian ini karena tidak diperkenankan dalam syariat Islam jenazah perempuan dimandikan oleh laki-laki.

Syahban menegaskan atas kejadian ini, mereka menuntut empat petugas laki-laki yang memandikan jenazah perempuan yang bukan mahramnya tersebut segera diadili.

Ia juga mengatakan direktur RS Djasamen Saragih, Ronald Saragih selaku penanggung jawab harus dicopot karena "tidak menjalankan tugasnya dengan baik".

Dirut RS sampai dicopot

Menanggapi tuntutan ini, Wali Kota Pematang Siantar, Hefriansyah, telah mencopot direktur RSUD Djasamen Saragih, Ronald Saragih.

Ronald Saragih, yang kini menjabat sebagai Kepala Dinas Kesehatan Pematang Siantar menyatakan bahwa empat orang nakes yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus pemusalaran jenazah sudah melakukan tugasnya sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) di instalasi jenazah.

"Yang jelas, mereka sudah ada SOP-nya apa yang harus dikerjakan mereka. Kalau dengan SOP, tidak ada yang dilanggar," kata Ronald, Rabu (24/2).

Ronald menjelaskan selama ini sangat minim tenaga nakes yang bertugas di instalasi jenazah, sementara kerjanya sangat berat karena banyak jenazah dari luar daerah yang dibawa ke RS Djasamen Saragih Pematang Siantar.

"Kalau untuk pemulasaran jenazah di forensik, itu bukan hanya di RS Dajasamen tapi rumah sakit yang lain sangat minim yang mau bekerja disitu, sangat minim," kata Ronald sembari menyebut dari keempat tersangka nakes, hanya satu orang yang berstatus PNS, sementara tiga orang lainnya tenaga honorer.

Bagaimana reaksi MUI Pusat?

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Muhammad Cholil Nafis, sebelumnya menyerukan perdamaian antara tenaga kesehatan RSUD Djasamen Saragih di Sumatera Utara dan keluarga jenazah Covid-19.

Menurut Cholil Nafis, kasus ini berawal dari ketidakpahaman empat tenaga kesehatan laki-laki dalam memandikan jenazah perempuan Muslim.

"Penelusuran kami, di sana nakesnya tak paham oleh fatwa ini, karena itu sebenarnya kita berharap ini juga ada persoalan ketersinggungan juga di pihak keluarga almarhumah."

Fatwa yang dimaksud Cholil adalah Fatwa No. 18 Tahun 2020 mengenai pedoman pengurusan jenazah muslim yang terinfeksi Covid-19. Fatwa ini dikeluarkan pada Maret 2020 lalu.

Cholil Nafis juga mengingatkan agar rumah sakit dan pelayan kesehatan bekerja sama dengan tokoh agama untuk menerapkan pedoman ini sebagai standar pengurusan jenazah.

"Oleh karena itu, sepertinya kita perlu menjadikan fatwa MUI itu sebagai SOP untuk mengurus jenazah Muslim atau Muslimah," katanya.

Tindakan yang dilakukan dalam situasi darurat

Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Harif Fadhillah, mengatakan tindakan pemandian jenazah ini dilakukan dalam konteks kedaruratan di tengah pandemi Covid-19.

"Saya pikir memang dalam sistem pelayanan rumah sakit itu, mau tidak mau, perawat melakukan itu dalam konteks tindakan kemarin," katanya saat dihubungi BBC News Indonesia, Rabu (24/02).

Harif melanjutkan, PPNI mengirim tim pengacara bagi empat nakes yang telah ditetapkan sebagai tersangka penistaan atas kasus ini sebelumnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI