Masker Wajah dari Abad ke Abad

SiswantoBBC Suara.Com
Kamis, 25 Februari 2021 | 06:58 WIB
Masker Wajah dari Abad ke Abad
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Penggunaan masker di depan publik, pernah hanya "diidentikkan" sebagai perampok bank, bintang pop eksentrik, maupun warga Jepang yang sadar akan kesehatan (dan teliti).

Namun, sekarang menggunakan masker menjadi cukup umum untuk dijuluki "normal baru".

Mungkin itu normal - tetapi sebenarnya bukan hal yang baru.

Dari wabah "Black Death" hingga kabut asap yang mencekik, polusi lalu lintas hingga ancaman serangan gas, masker telah dikenakan oleh warga London selama 500 tahun terakhir.

Baca Juga: Strategi Jitu Mendongkrak Bisnis saat Pandemi

Meskipun paling awal digunakan untuk menyamar, mengenakan masker pelindung (bukan kostum) sudah ada setidaknya sejak abad ke-6 SM (Sebelum Masehi). Gambar orang-orang yang menutup mulutnya dengan kain ditemukan di pintu makam Persia.

Menurut Marco Polo, para pelayan di China abad ke-13 menutupi wajah mereka dengan syal tenun. Kabarnya, kaisar tidak ingin napas mereka mempengaruhi bau dan rasa makanannya.

Menarik.

Kabut asap

Revolusi Industri pada abad ke-18 memicu terjadinya kabut asap London yang terkenal, yang terus bertambah ketika pabrik demi pabrik terus mengeluarkan asap dan rumah-rumah membiarkan api batu bara mereka tetap menyala.

Saat musim dingin, banyak yang melihat selimut tebal kabut asap kuning keabu-abuan menyelimuti ibu kota Inggris itu.

Baca Juga: Ingatkan Bahaya Tali Masker, Netizen yang Kadung Beli: Jangan Ngadi-ngadi

Episode terburuk terjadi pada 5-9 Desember 1952, ketika setidaknya 4.000 orang meninggal setelah kejadian tersebut, dan diperkirakan lebih dari 8.000 orang meninggal dalam beberapa minggu dan bulan berikutnya


Apa yang dimaksud kabut asap?

Seperti namanya, kabut asap kombinasi antara asap dan kabut dan terjadi ketika cuaca dingin memerangkap udara yang tersendat di bawah lapisan udara hangat.

Suhu dingin juga menyebabkan orang membakar lebih banyak batu bara, menciptakan asap.

Ketika tidak ada cukup angin untuk meniup asap itu, asap bercampur dengan partikel-partikel sisa jelaga yang memberi warna kuning-kehitaman seperti "sup kacang".

Kabut asap dapat memperburuk masalah pernapasan dan kardiovaskular serta menyebabkan iritasi mata.


Sekitar 1.000 orang lainnya meninggal karena kabut asap pada bulan Desember 1957.

Peristiwa kabut asap lainnya pada tahun 1962 mengakibatkan 750 orang meninggal.

Asapnya sangat tebal sehingga kereta tidak bisa berjalan, dan bahkan ada laporan yang menyebut ternak mati tersedak saat mereka berdiri di ladang.

Pada tahun 1930-an, masker "anti-kabut" menjadi sesuatu yang wajib bagi orang-orang seperti halnya topi bagi pria dan perempuan masa itu.

Clean Air Acts, undang-undang mengenai udara bersih, pada tahun 1956 dan 1968 melarang asap hitam dari cerobong asap, menetapkan batas emisi pasir dan debu dari tungku, dan menyediakan kerangka kerja untuk mengontrol ketinggian dan posisi cerobong asap.

Polusi udara, meskipun tidak lagi seperti 'sup kacang', tetap menjadi masalah.

Pada bulan Desember, Pengadilan Koroner Southwark menemukan bahwa kabut asap "memberikan kontribusi material" atas kematian Ella Adoo-Kissi-Debrah yang berusia sembilan tahun.

Ia tinggal di dekat South Circular Road di Lewisham dan meninggal pada tahun 2013, menyusul serangan asma Tingkat zat polutan nitrogen dioksida di dekat rumah Ella dinyatakan melebihi standar Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Uni Eropa.

Wabah

Kejadian itu dikenal dengan Black Death. Wabah yang pertama kali melanda Eropa pada abad ke-14 dan menewaskan sedikitnya 25 juta orang antara tahun 1347 dan 1351- sekaligus menandakan munculnya masker medis.

Para ahli teori percaya bahwa penyakit ini menyebar melalui udara beracun atau "racun", menciptakan ketidakseimbangan dalam cairan tubuh seseorang. Mereka tidak ingin kena udara beracun ini dengan menutupi wajah atau memegang benda yang berbau harum.

Poster anak laki-laki yang mengenakan masker burung- perpaduan seram antara 'bayangan kematian' dan burung gagak - tidak muncul sampai pergolakan terakhir wabah, pada pertengahan abad ke-17.

Parfum dan rempah-rempah masih digunakan dan bagian "paruh" dari masker menjadi tempat untuk mengisi jamu dan bahan aromatik untuk melawan apa yang disebut udara beracun.

Jubah kulit tebal, penutup mata yang menggunakan kaca tebal, sarung tangan dan topi adalah bagian dari pakaian pelindung yang dikenakan para dokter yang merawat pasien selama Wabah Besar atau dikenal dengan Great Plague tahun 1665.

Polusi lalu lintas

Saat kami tiba di Victoria London, kaum perempuan berada - yang ahli dalam menutupi tubuh mereka dan selalu tertarik untuk merangkul apa pun yang bisa menjadi perhiasan rumit yang berwarna hitam - mulai memasang kerudung pada topi mereka.

Meski biasanya digunakan saat berkabung, peran kerudung tidak hanya dalam prosesi pemakaman. Kerudung juga membantu melindungi wajah perempuan dari matahari, hujan dan polutan, serta kotoran dan debu di udara.

Menurut badan urusan transportasi London dan universitas Kings College London, penyebab utama polusi udara adalah lalu lintas. Emisi gas buang, termasuk nitrogen oksida dan partikel kecil dari karet dan logam, dipompa ke udara.

Kerudung tipis, seperti yang digunakan para pengemudi wanita di awal abad ke-20, tidak lagi memadai.

Pengendara sepeda yang mengenakan masker anti-polusi sudah jadi pemandangan lazim, jauh sebelum virus corona menjerumuskan semua orang pada kebutuhan menutup muka.

Gas

Ancaman perang dunia kedua, 20 tahun setelah Great War yang menjadi saksi penggunaan klorin dan gas beracun, membuat pemerintah memerintahkan pemakaian masker gas tak hanya bagi kalangan militer tapi juga bagi masyarakat biasa.

Pada tahun 1938, sebanyak 35 juta masker- General Civilian Respirators- didistribusikan dan menjadi pemandangan yang akrab di sebagian besar bidang kehidupan - termasuk bagi gadis-gadis penari di Klub Kabaret Murray di Jalan Beak, Soho; dan pengendara sepeda polisi yang memakainya sebagai bagian dari alat pelindung diri mereka.

Bahkan hewan-hewan memiliki masker mereka sendiri - unta di Chessington Zoo diukur untuk pemesanan perlengkapan, sementara kuda diberi lebih banyak jenis masker "satu ukuran untuk semua".

Flu Spanyol

Wabah influenza pada akhir Perang Dunia Pertama menjadi pandemi global yang menghancurkan. Dijuluki flu Spanyol karena kasus pertama yang dilaporkan dari Spanyol, sekitar 50 juta orang meninggal.

Diperkirakan penyebaran virus itu meningkat saat tentara yang kembali dari medan mereka di Prancis utara.

Pasukan yang berdesak-desakan di dalam gerbong dan truk memudahkan infeksi yang sangat menular melompat dari satu orang ke orang lain.

Kemudian menyebar dari stasiun kereta api ke pusat kota, lalu ke pinggiran kota dan keluar ke pedesaan.

Perusahaan, termasuk London General Omnibus Co, mencoba mencegah penyebaran penyakit itu dengan menyemprotkan larutan anti-flu di atas kereta dan bus dan meminta karyawannya memakai masker.

The Nursing Times pada tahun 1918 memasukkan saran untuk mencegah wabah, dengan deskripsi tentang bagaimana para suster di St Marylebone Infirmary di North Kensington mendirikan partisi yang didisinfeksi di antara setiap tempat tidur serta "setiap perawat, dokter, dan para petugas kebersihan" yang memasuki blok epidemi harus memakai masker.

Masyarakat didesak untuk "memakai masker dan menyelamatkan hidup Anda" - banyak yang membuat masker sendiri dari kain kasa, atau menambahkan tetesan disinfektan ke alat di bawah hidung.

Ketenaran

Jenis masker lain muncul belakangan ini adalah untuk memenuhi kebutuhan menutupi wajah seseorang dari tatapan tajam penggemar berat (dan mungkin, musuh).

Masker jadi sempurna untuk selebriti yang ingin menarik perhatian dengan alasan atau penyangkalan yang masuk akal dari "Saya tidak ingin dikenali, itulah mengapa saya memakai topeng yang mencolok".

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI