Kisah Kasus Pelemparan Atap Seng Pabrik Rokok oleh Empat Ibu di Lombok

SiswantoBBC Suara.Com
Rabu, 24 Februari 2021 | 15:27 WIB
Kisah Kasus Pelemparan Atap Seng Pabrik Rokok oleh Empat Ibu di Lombok
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Dalam konflik lingkungan yang terjadi di Indonesia, kasus hukum sampingan yang menjerat masyarakat yang melakukan protes berjalan begitu "mulus", berbanding terbalik dengan penanganan persoalan pokok utamanya yaitu kasus dugaan kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan.

Seperti yang terjadi di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, empat ibu rumah tangga (IRT) tengah menjalani persidangan dengan ancaman hingga lima tahun enam bulan penjara karena diduga melempar atap pabrik sebagai bentuk protes atas dugaan polusi udara yang ditimbulkan.

Gangguan udara ini bahkan disebut telah menyebabkan gangguan pernapasan warga sekitar.

Sementara itu, pokok permasalahan yang menjadi keluhan warga yaitu dugaan pencemaran lingkungan yang dilakukan perusahaan tembakau berjalan di tempat - di ranah mediasi - tanpa ada pengusutan dalam jalur hukum.

Baca Juga: 4 Ibu dan Balita Dipolisikan Pabrik Rokok, Polisi Klaim Sudah Mediasi

Pemerintah Provinsi NTB meminta maaf karena baru mengetahui kasus yang menimpa empat ibu itu setelah adanya pemberitaan dan berjanji akan memperjuangkan keluhan warga atas polusi udara.

Senada, Polda NTB juga telah mengumpulkan data dan keterangan atas keluhan warga untuk kemudian berkoordinasi dengan instasi berwenang terkait perizinan, analisa dampak lingkungan dan lainnya.

Tahun lalu pola yang serupa terjadi, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing ditangkap polisi (kemudian dibebaskan) karena diduga melakukan pencurian, perampasan dan pembakaran saat berusaha menghalau perusahaan sawit yang mencoba menebang pohon di kawasan hutan adat mereka.

Sementara di sisi lain, dugaan kerusakan lingkungan yang dikeluhkan warga oleh perusahaan tidak diusut.

Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), hingga tahun 2018 tercatat 163 orang dikriminalisasi karena memperjuangkan lingkungan mereka.

Baca Juga: Akhirnya Penahanan 4 Ibu Bersama 2 Bayi di Lombok Ditangguhkan

Kasus empat ibu di Lombok: Dari pelemparan, penahanan hingga penangguhan

Pada 26 Desember lalu, empat IRT berinisial HT (40), NR (38), MR (22), dan FT (38) warga Desa Wajegeseng, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah, NTB, melempar atap spandek pabrik tembakau. Mereka memprotes polusi asap yang disebut sangat bau ditimbulkan pabrik tersebut.

"Jadi ibu-ibu ini ada anak sedang sakit diduga akibat polusi udara dari pabrik ini karena satu-satunya di wilayah mereka. Ada yang sakit sesak nafas, ISPA bahkan ada yang lumpuh. Dokter harus turun tangan melakukan cek ke warga," kata kuasa hukum terdakwa Apriadi Abdi Negara saat dihubungi wartawan BBC News Indonesia Raja Eben Lumbanrau.

Apriadi menjelaskan, seorang anak berusia delapan tahun dari ibu yang ditahan juga mengalami kelumpuhan sejak dua bulan lalu dan sesak nafas. Ibunya menduga karena polusi asap yang ditimbulkan.

Apriadi melanjutkan, ibu-ibu ini telah memprotes dugaan polusi udara itu ke kepala dusun, kepala desa, kelurahan, kecamatan dan pemerintah terkait namun tidak ada aksi nyata.

"Sebaliknya, ibu-ibu ini malah diproses hukum dan selama proses berlangsung tidak ada mediasi terkait kasus pelemparan ini, bahkan tidak ada pendampingan hukum dari negara di proses penyidikan hingga penuntutan, padahal pasal yang digunakan 170 KUHP dengan ancaman 5 tahun penjara," tambah Apriadi.

Saat penyidikan kasus, kepolisian tidak melakukan penahanan. Namun saat dilimpahkan ke Kejaksaan pada 16 Februari lalu dilakukan penahanan hingga sidang pertama pada Senin (22/02) kemarin saat hakim memutuskan penangguhan penahanan.

"Sejak 16 Februari, ada tiga anak ikut [di tahanan], tapi satu dipulangkan, dua balita bersama ibu di tahanan karena masih menyusui, dititip di polsek lalu dipindahkan ke rutan," katanya.

Apriadi berharap, kliennya dibebaskan dari tuntutan Pasal 170 KUHP karena tidak sesuai dengan apa yang dilakukan.

"Kasus ini bukti bahwa hukum di Indonesia tajam ke bawah, tumpul ke atas. Atap spandek seng yang dilempar tidak rusak, hanya lecet dan masih terpakai sampai sekarang, sementara kehidupan ibu dan anak-anak ini terancam hancur," katanya.

Pola yang berulang, 'Pengalihan isu dari pokok masalah'

Pakar hukum dan pemerhati sosial dari Universitas Mataram Zainal Asikin mengatakan, kasus hukum empat IRT itu hanyalah dampak lanjutan dari persoalan pokok yang tidak terselesaikan, yaitu protes warga terhadap keberadaan pabrik yang diduga menimbulkan pencemaran lingkungan.

Zainal mengatakan, seandainya perusahaan dihentikan sementara untuk kemudian dilakukan perbaikan maka tidak akan ada reaksi masyarakat.

"Tapi yang terjadi justru yang diproses hukum pelemparannya. Akhirnya yang terkesan adalah pengalihan isu seolah-olah dipaksakan pelemparan oleh warga menjadi persoalan pidana.

"Padahal mungkin lebih salah lagi perusahaan itu dari sisi hukum lingkungan yang bisa dipidanakan. Pencemaran lingkungan lebih berat hukumannya dibandingkan pelemparan yang merusak seng," kata Zainal.

Yang menjadi kekecewaan Zainal selanjutnya adalah kenapa kasus pelemparan harus dipaksakan masuk ke persidangan, dan ibu-ibu itu ditahan sehingga balita mereka ikut merasakan dampaknya.

Zainal menyalahkan pemerintah daerah yang tidak hadir dalam memberikan perlindungan sejak awal, dan merespons keluhan warga.

"DI NTB ada balai mediasi yang dibiayai pemerintah, percontohan di Indonesia, tapi kenapa persoalan ini tidak tersentuh oleh balai mediasi yang bertugas menyelesaikan konflik di tingkat lokal?" katanya.

"Jadi ada pembiaran dan ketidakpedulian pemerintah. Giliran ditahan dan ramai baru panik semua. Lalu saya melihat penegakan hukum terlihat memprihatinkan, tajam ke bawah tumpul ke atas, seolah-olah tidak ada pekerjaan lain penegak hukum kita kalau mengurus hal-hal kecil ini," ujarnya.

Walhi: 'Kacamata kuda' penegakan hukum lingkungan

Walhi menyebut tidak ada asap kalau tidak ada api. Artinya, tidak akan ada protes hingga pelemparan jika tidak ada dugaan pelanggaran lingkungan.

"Penting melihat persoalan secara utuh. Tidak boleh cara pandang penegakan hukumnya kacamata kuda terus-terusan yang melihat hanya dari pendekatan formil dan positivistik.

Tidak ada ceritanya orang lempar tanpa ada masalah, tidak ada ceritanya orang protes bahkan pada protes batu bara terjadi bakar-bakaran tanpa ada sumbatan-sumbatan prosedural," kata aktivis lingkungan dari Walhi Wahyu Perdana.

Jika 'kacamata kuda' terus yang diterapkan maka akan selalu ada upaya kriminalisasi dari para pelanggar lingkungan kepada warga yang memperjuangkan lingkungan yang lebih baik dan sehat.

"Di konflik lingkungan, selalu ada upaya gugatan balik dengan dalih yang diada-adakan untuk kemudian membungkam masyarakat," tambah Wahyu.

'Pejuang lingkungan tidak bisa dihukum'

Wahyu menambahkan, aparat penegak hukum tidak bisa menjerat orang yang memperjuangkan lingkungan karena dilindungi oleh konstitusi.

Pertama, dalam Pasal 66 UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang berbunyi "Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata."

Artinya, setiap orang yang menempuh cara hukum atas pencemaran atau kerusakan lingkungan mendapat perlindungan hukum untuk mencegah gugatan balasan dari terlapor, baik pidana maupun perdata, atau dikenal dengan anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (anti SLAPP).

Kedua, Keputusan Ketua Mahkamah Agung (KMA) No. 36 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup yang menjelaskan definisi dan pelaksanaak anti SLAPP.

"Kalau hanya Pasal 170 selesai, tapi kan ada aturan lain seperti UU dan KMA, harus dilihat secara utuh," kata Wahyu.

Senada dengan itu, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menyebut, proses hukum harus melihat latar belakang pelaku yang melakukan dugaan tindak pidana.

"Harus dilihat relasi kuasa antara pelaku dan korban, alasan pelaku, khususnya jika perempuan, untuk menguraikan fakta dan menilai sebuah kasus dari perspektif yang utuh. Dalam kasus ini, oh ini ada pabrik, oh ini dampaknya, oh ini mengapa mereka melakukan itu," kata Aminah.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Jasra Putra berharap agar kasus empat IRT dapat mencapai damai di persidangan.

"Demi kepentingan anak-anak yang kalau orang tuanya di penjara maka hak anak akan orang tua menjadi hilang," kata Jasra.

Mengapa terjadi gap penegakan hukum?

Peneliti dari Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), Raynaldo Sembiring, menyebut ada tiga penyebab mengapa terjadi gap penegakan hukum antara pengusaha dan warga dalam konflik lingkungan.

Pertama adalah mekanisme yang tidak jelas bagi aparat penegak hukum dalam menangani konflik lingkungan.

"Ini wilayah abu-abu, mereka tidak tahu harus mendahulukan penegakan hukum lingkungannya atau kasus ikutannya. Makanya perlu ada satu panduan atau mekanisme pegangan bagi mereka," kata Raynaldo.

Raynaldo menyarankan pembentukan satu atap penegakan hukum lingkungan sesuai Pasal 95 ayat 1 UU PPLH yaitu "dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi menteri."

"Seperti konsep KPK dalam memberantas korupsi. Untuk lingkungan, Menteri KLHK sebagai leader-nya, di dalamnya ada Kejagung dan Kapolri sehingga ketika ada konflik abu-abu, aparat penegak hukum bisa saling berkoordinasi dan ada mekanismenya. Ini kunci mencegah kriminalisasi," katanya.

Kedua adalah akuntabilitas penegak hukum. Raynaldo menyebut, di Indonesia masih ada masalah dalam akuntabilitas penegakan hukum yang menyebabkan kenapa perusahaan jarang sekali diproses hukum, berbanding terbalik dengan warga.

Ketiga, kasus pidana yang dilakukan warga lebih mudah diselesaikan dibandingkan pidana lingkungan yang dilakukan perusahaan.

"Pasal 170 KUHP tentang pengerusakan, pasal penghinaan, perbuatan tidak menyenangkan adalah kasus pidana normatif yang unsurnya mudah dikerjakan, tapi kalau pencemaran dan pengerusakan lingkungan butuh bukti ilmiah, butuh ahli, melibatkan banyak pihak sehingga sulit padahal ini pokok utamanya," lanjut Raynaldo.

Pemprov NTB: Kami minta maaf dan akan segera selesaikan keluhan warga

Pemerintah Provinsi NTB meminta maaf karena telat mengetahui kasus tersebut sehingga tidak dapat dilakukan proses mediasi sebelum masuk ke ranah hukum.

"Jujur kami semua tidak tahu ada kasus ini, kami baru tahu begitu ada pemberitaan. Kami mohon maaf, dan kami sudah tidak punya waktu lagi untuk bisa mediasi. Seandainya kami semua tahu sebelumnya saya yakin tidak akan seperti ini," kata Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB Husnanidiaty Nurdin.

Menurut Husnanidiaty, Pemprov NTB memiliki wadah balai mediasi yang bisa digunakan untuk menangani kasus seperti ini.

"Saya tidak tahu dimana kusutnya, secara serentak kami kaget bahwa ada kasus seperti ini," katanya.

Terkait dengan keluhan masyarakat, Husnanidiaty menambahkan Pemprov akan mengambil langkah cepat.

"Saya yakin dan percaya kami pemerintah NTB dan Lombok Tengah akan segera turun tangan menyelesaikan akar permasalahan di lapangan. Mungkin proses di pengadilan berjalan terus tetapi proses di lapangan kan harus diselesaikan, harus ada jalan keluarnya, tidak bisa dibiarkan begitu saja. Tidak lama akan bisa diselesaikan, " ujarnya.

Polda NTB: Kami telah mediasi

Kabid Humas Polda NTB, Kombes Pol Artanto, menjelaskan setelah kejadian pelemparan, pihak pabrik mengadu ke kepolisian agar masalah itu bisa diselesaikan.

Langkah selanjutnya yang diambil adalah dilakukan mediasi antara pihak kepolisian, kepala desa, pelaku, serta warga, namun tidak ditemukan titik penyelesaian.

"Kemudian 18 Januari, Suwardi [pemilik pabrik] melaporkan ke kepolisian, dan dilanjutkan dengan pemberkasan, namun ibu tidak dilakukan penahanan," katanya.

Artanto menambahkan, kejadian pengerusakan terhadap pabrik telah terjadi sebelumnya.

Pernah ada warga sebelumnya yang melempar lalu dimediasi dan dilakukan perdamaian. Kemudian, mobil pemilik pabrik dilempar sehingga kaca pecah lalu dilakukan mediasi dan berdamai.

"Lalu terjadi pelemparan ini, dan dimediasi namun tidak terjadi kesepakatan damai, dan dilanjutkan ke proses hukum,"katanya.

Saat ditanya mengapa menggunakan Pasal 170 atas tindakan pelemparan, Artanto menjelaskan karena dilakukan berempat, di muka umum dan terhadap barang atau orang.

"Jadi menggunakan batu dan kayu dilempar ke seng, pada saat itu karyawan tembakau sedang bekerja, dan mereka takut sehingga bubar,"katanya.

'Kami telusuri keluhan warga'

Terkait keluhan warga atas dugaan pencemaran lingkungan akibat polusi asap yang ditimbulkan pabrik tersebut, Artanto mengatakan, polisi tengah melakukan pendalaman informasi.

"Ini sudah kita lakukan pendataan dan akan kita koordinasikan dengan pihak terkait tentang masalah perizinan, amdal dan sebagainya. Kita akan tindaklanjuti permasalahan tersebut," ujarnya.

Saat ditanya mengenai adanya dugaan pengalihan isu seperti yang disebut aktivis, Artanto membantah hal tersebut.

"Keluhan itu sudah disampaikan ke DPRD dan sudah dilakukan rapat dengar pendapat, mediasi di kantor DPRD pada September lalu beberapa kali yang melibatkan dinas lingkungan, dinas perizinan dan sama-sama mengecek pabrik. Prosesnya sudah berlangsung," kata Artanto.

Sebelumnya, dalam siaran pers yang diterima BBC News Indonesia, Kejaksaan Tinggi NTB membantah melakukan penahanan empat IRT bersama anaknya.

"Melainkan keluarga terdakwa dengan senjaga membawa anak di Polsek Praya Tengah maupun di Rutan Praya untuk ikut bersama para terdakwa berdasarkan izin pihak rutan," kata Kasipenkum Kejati NTB Dedi Irawan.

Alasan jaksa menahan para tersangka adalah karena para terdakwa berbelit belit dan tidak kooperatif saat pemeriksaan. Terdakwa juga sempat diberikan kesempatan untuk berdamai melalui upaya restoratif justice namun ditolak.

Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), hingga tahun 2018 tercatat 163 orang dikriminalisasi karena memperjuangkan lingkungan mereka.

Khusus di Pulau Jawa, Walhi mencatat dari 2014-2019 terdapat 146 kasus dugaan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup - terbanyak 103 kasus di Jawa Timur.

Jumlah tersebut terus bertambah hingga kini seiring semakin rapatnya gesekan antara masyarakat dengan pengusaha terkait lingkungan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI