Suara.com - Anggota komisi DPR bidang pertanahan menantang Satuan Tugas Anti Mafia Tanah untuk membuktikan dalam satu bulan ini mereka dapat mengatasi masalah penyerobotan tanah.
Satgas bentukan Polri dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga diperingatkan untuk tidak bekerja menanggapi kasus-kasus besar saja karena kejahatan ini disebut seperti "fenomena gunung es".
Keluarga korban mengatakan satgas harus bekerja secara agresif untuk benar-benar bisa mengejar dan meringkus sindikat penyerobot tanah.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN sendiri mengatakan tantangan dalam menghadapi masalah yang disebut polisi sebagai mafia tanah ini termasuk pemalsuan KTP dan "ada oknum di BPN".
Baca Juga: Kompolnas Dukung Mabes Polri Buru Mafia Tanah hingga ke Australia
- Sertifikat tanah elektronik: Bagaimana penerapan, keamanan, dan sanksi terhadap yang menolak?
- Mahasiswa gugat peraturan WNI keturunan China 'tidak mungkin punya hak milik tanah' di Yogya
- Mengapa konflik agraria terus terjadi meski pemerintah klaim mereformasi sektor pertanahan?
'Rumah disegel'
Rumah Vini Rizki Amelia di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan, didatangi tiga lelaki berbadan besar yang mengaku memiliki sertifikat tanah tempat tinggalnya, Rabu 9 Desember 2020.
Mereka memaksa menyegel rumah yang sudah ditinggali Vini bersama orang tua sejak dua dekade lalu.
Sempat terjadi perdebatan, sampai akhirnya mereka yang mengaku datang dari kantor pengacara memasang plang dan seng-seng di sekitar rumah Vini.
"Disegel, tapi pakai seng-seng gitu. Di rumah saya sampai sekarang ada plang, bahwa ini masih dalam pengawasan. Tapi kok bisa bahasanya pengawasan. Kalau dia punya tanah bukan pengawasan, tapi dikuasai," kata Vini mengenang peristiwa tersebut sambil mengungkapkan kecurigaan atas tindakan tersebut.
Klaim kepemilikan tanah yang dianggap sepihak oleh orang lain, dikatakan Vini sudah disampaikan sejak September 2020.
Baca Juga: Terlibat Mafia Tanah, Oknum ASN di Serang Belum Tentu Dipecat
Saat itu, keluarga Vini mendapat surat somasi untuk segera mengosongkan bangunan yang ia tempati.
"Kita kaget banget, karena tiba-tiba ada somasi disuruh keluar dari rumah ini," kata Vini.
Bariyah adalah orang tua Vini yang membeli tanah dan rumah tersebut dari adiknya, Nawiroh pada 2001 lalu seharga Rp70 juta secara bertahap. Namun, saat itu sertifikat belum diberikan karena masih ada di Departemen Pekerjaan Umum untuk diurus pemecahannya sebagian akibat adanya proyek fly over Tanjung Barat.
Namun, seiring berjalan waktu, sertifikat tak kunjung diberikan karena sedang digadaikan.
Singkatnya, pada 2020, Bariyah dan keluarganya mendapat surat somasi untuk segera mengosongkan rumah karena sertifikat sudah bukan lagi atas nama Nawiroh.
"Di situ kami mencoba mengkonfirmasi ke Nawiroh, dia pun juga kaget. Dia merasa nggak pernah menjual," tambah Vini.
Sejauh ini langkah yang diambil Vini adalah melaporkan Nawiroh ke kepolisian dengan tujuan riwayat alih nama dalam sertifikat tanah bisa diungkap BPN.
"Kita melapor polisi untuk coba membuka warkat ini sejauh mana, apa memang benar ada transaksi legal yang benar-benar ada jual-beli, atau ini ilegal atau penipuan sampai akhirnya sertifikat itu balik nama," kata Vini.
Kasus Dino Patti Djalal
Kasus lahan yang dihadapi Vini diungkapkan di tengah persoalan serupa yang menimpa mantan wakil menteri luar negeri, Dino Patti Djalal.
Kasus yang sempat ramai diungkap Dino di media sosial berujung pada penangkapan 15 orang yang diduga menjadi sindikat mafia tanah yang menyerobot tanah milik orang tuanya.
"Perlu ada upaya yang agresif, untuk benar-benar mengejar dan meringkus sindikat tanah ini," katanya kepada BBC News Indonesia, Selasa (23/02).
Dino juga mengaku, banyak mendapat telepon dari teman-temannya setelah kasus ini terungkap. Mereka yang menelepon memiliki persoalan serupa. "Saya saja setelah kena kasus ini ke mana pun saya pergi, orang selalu bilang, eh, saya juga kena, atau saya kenal orang yang kena. Berarti masalahnya sangat mewabah."
Dari pengalaman ini, menurut Dino banyak korban mafia tanah yang tak mengetahui cara untuk menanganinya.
"Jadi perlu ada penjelasan dari pemerintah, proses yang dilakukan kalau ada masyarakat yang dizolimi itu, atau dirugikan oleh sindikat ini, bagaimana caranya," katanya.
Satgas Antimafia tanah
Kasus mafia tanah yang dialami oleh Dino direspons dengan pembentukan satgas oleh Polri dan BPN.
"Sesuai perintah Kapolri ke jajaran, agar menindak secara tegas para mafia tanah. Penyidik tidak perlu ragu-ragu mengusut tuntas masalah mafia tanah. Penyidik agar tindak tegas siapa pun dalang dan beking-nya," kata Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri, Ahmad Ramadhan kepada media, Senin (22/02).
Ahmad Ramadhan menambahkan, satgas ini akan tersebar di tingkat provinsi seluruh Indonesia.
"Di Polda juga telah dibentuk satgas mafia tanah di tingkat provinsi, tentunya bekerja sama dengan (Kementerian) Agraria atau Badan Pertanahan Nasional," katanya.
'Fenomena gunung es'
Kasus yang dihadapi Vini dan Dino, menurut anggota komisi DPR bidang pertanahan, Mardani Ali Sera, "fenomena gunung es".
"Harus dilihat akarnya di mana, harus dibuat anatominya seperti apa, prosedur, mekanisme, sama cara dia untuk melakukan modus operandinya bagaimana," kata Mardani kepada BBC News Indonesia, Selasa (23/02).
Kasus mafia tanah, kata Mardani, sulit untuk diberantas karena sindikasi mereka memiliki pelindung yang terhubung dengan kekuasaan.
"Tokoh ini sudah punya koneksi hubungan dan sumbangan yang jelas kepada kelompok-kelompok tertentu di kekuasaan, yang itu nanti membuat mereka kebal [hukum]," katanya.
Petinggi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menantang Satgas Anti Mafia Tanah untuk mengungkap gembong mafia tanah dalam satu bulan ke depan. Hal ini berangkat saat Listyo menjabat Kabareskrim dengan menetapkan tersangka buronan koruptor Tjoko Tjandra.
Sehingga, lanjutnya, keberadaan satgas ini tak sekadar apa yang ia sebut sebagai "hangat-hangat bubur ayam".
"Buktikan dalam waktu sebulan ini ada mastermind sekaliber Tjoko Tjandra yang bisa dibawa ke pengadilan. Itu menunjukkan political will-nya ada. Dan tidak hangat-hangat bubur ayam. Kita mulai berani membongkar akar masalah dan struktur jaringan dan modus operandinya."
Di luar kontrol
Sekretaris Jenderal Badan Pertanahan Nasional (BPN), Himawan Arief Sugoto, mengakui ada sejumlah tantangan dalam menghadapi persoalan penyerobotan tanah oleh kalangan sindikat mafia tanah. Dalam hal pemalsuan KTP untuk membalik nama sertifikat hal itu disebutnya "di luar kontrol".
"Memang di luar kontrol kami, pemalsuan, itu kan kami tidak bisa tahu. Kalau KTP-nya dipalsu," katanya kepada BBC News Indonesia, Selasa (23/02).
Persoalan lain karena sertifikat tanah hilang, kemudian diklaim oleh pihak lain. Ada pula pengalaman kasus mafia tanah yang melibatkan oknum dari BPN.
"Tapi kami tidak memungkiri, adalah beberapa yang sudah dihukum, dicopot, non-job (tidak dipekerjakan), banyak," kata Himawan yang menyebut jumlahnya belasan dalam satu tahun terakhir.
Oleh karena itu, BPN saat ini memproses digitalisasi sertifikat tanah.
Dari sekitar 70 juta sertifikat tanah yang sudah dikeluarkan, sebanyak 30-40% sudah masuk ke dalam pusat data BPN.
"Termasuk riwayat tanahnya. Historical tanahnya, warkahnya. Kita kumpulkan semua," lanjut Himawan.
Menurut Himawan melalui digitalisasi surat tanah ini bisa menekan praktik mafia tanah.
"Nah ini yang sekarang kita lakukan supaya kalau pada saat bermasalah, data-data yang ada pada kami dalam bentuk warkat sekarang kita alih media [menjadi digital], supaya datanya itu tidak hilang," katanya.
BPN juga mengingatkan bagi masyarakat yang masih memiliki dokumen lama terkait kepemilikan tanah untuk segera mendaftar ke kantor BPN terdekat.
Sebab, kata Himawan, berdasarkan regulasi terbaru di UU Cipta Kerja, surat tanah lama -- dalam bentuk girik misalnya -- hanya diberikan waktu lima tahun untuk diperbarui menjadi sertifikat.
"Penguasaan fisik harus dikuasai, lalu harus didaftarkan. Kalau nggak nanti keburu orang lain mendaftarkan. Apalagi tanahnya tidak dikuasai," katanya.