Survei Menyebut Banyak Anak Muda Tolak Vaksin, Bagaimana Yakinkan Mereka?

SiswantoBBC Suara.Com
Selasa, 23 Februari 2021 | 14:05 WIB
Survei Menyebut Banyak Anak Muda Tolak Vaksin, Bagaimana Yakinkan Mereka?
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pemerintah Indonesia diminta memperbaiki strategi komunikasi tentang vaksin Covid-19 setelah dua survei menyebut banyak anak muda, terutama Generasi Z, menolak untuk divaksinasi.

Pakar epidemiologi dan psikologi kesehatan menilai pemerintah selama ini kurang menekankan vaksin sebagai tanggung jawab sosial.

Seorang juru bicara vaksinasi Covid-19 mengatakan, pemerintah terus mengevaluasi strategi komunikasi.

Survei Indikator Politik Indonesia terhadap 1.200 responden yang dipilih secara acak dari seluruh Indonesia pada 1-3 Februari 2021 mendapati hanya 45,1% dari kelompok usia 22-25 tahun yang bersedia divaksinasi.

Baca Juga: Nyamar Jadi Nenek-nenek Demi Dapat Vaksin Covid-19, Malah Disamperin Polisi

Berdasarkan survei, tiga alasan utama kelompok tersebut tidak atau kurang bersedia divaksinasi adalah kekhawatiran akan efek samping vaksin, anggapan bahwa vaksin tidak efektif, dan perasaan tidak membutuhkan vaksin karena badannya sehat.

Peneliti Indikator, Adam Kamil, menjelaskan bahwa berdasarkan data cross-tabulasi, didapati bahwa bahwa semakin muda usia responden, mereka semakin cenderung tidak bersedia menerima vaksin.

Hal ini menurutnya didorong oleh dua hal. "Yang pertama, pada kondisi alamiah atau psikologis secara umum bahwa kelompok yang muda mungkin lebih jarang mengalami keluhan kesehatan dibandingkan kelompok yang lebih tua sehingga kelompok yang lebih muda ini menganggap tidak perlu vaksin.

"Yang kedua, tingkat pendidikan semakin baik [dibandingkan kelompok yang lebih tua] oleh karena itu dia bisa lebih banyak menilai, lebih banyak menggali informasi tentang vaksin ini, terutama tentang efektivitas vaksin," ungkapnya.

Sementara itu, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), yang menggelar survei terhadap 800 responden di DKI Jakarta dan DI Yogyakarta dari tanggal 13-18 Januari, melaporkan bahwa anak-anak muda berusia 17-22 tahun kurang percaya atau tidak percaya pada kemanjuran vaksin.

Baca Juga: 730 Atlet dan Ofisial Ikut Vaksinasi Covid-19 di Istora Senayan Pekan Ini

Proporsi anak muda yang menyatakan tidak/kurang percaya pada vaksin di DKI Jakarta 63,6% sedangkan di Yogyakarta 55,6%, kata peneliti CSIS, Arya Fernandes.

Senada dengan IPI, CSIS juga mendapati bahwa faktor usia berpengaruh pada kepercayaan responden akan kemanjuran vaksin. Semakin muda usia responden, mereka cenderung semakin tidak percaya pada vaksin.

Menurut Arya, secara umum alasan responden tidak bersedia divaksin ialah mereka belum yakin dengan kualitasnya. Survei tidak menanyakan lebih lanjut mengapa para responden merasa belum yakin, padahal BPOM telah mengeluarkan Izin Penggunaan Darurat untuk vaksin Covid-19 dari Sinovac, namun Arya menduga ini karena vaksin Covid-19 adalah temuan relatif baru dalam dunia medis.

"Mungkin responden melihatnya kalau vaksin-vaksin lain kan sudah teruji, misalnya vaksin flu atau vaksin MERS, sementara vaksin Covid ini ... orang ingin lihat reliabilitasnya, kemanjurannya seperti apa," kata Arya.

Populasi yang dominan

Sensus Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020 menunjukkan bahwa lebih dari setengah penduduk Indonesia adalah kaum muda, terdiri dari Generasi Milenial dan Generasi Z.

BPS mendefinisikan milenial sebagai mereka yang lahir pada tahun 1981-1996, usianya sekarang 24-39 tahun. Sementara Generasi Z disebut lahir pada tahun 1997-2001, usianya sekarang 8-23 tahun.

Di antara kaum muda, proporsi Generasi Z mencapai hampir 28%. Banyak dari mereka termasuk usia produktif yang pergerakannya tinggi. Dalam konteks pandemi virus corona, ini berarti mereka adalah kelompok yang paling berisiko terpapar virus.

Karena itu, menurut epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman, keterlibatan kelompok tersebut dalam program vaksinasi sangat penting untuk memutus transmisi virus corona serta menciptakan kekebalan kelompok atau herd immunity.

"Kalau mereka yang dominan ini tidak bisa berkontribusi dalam program vaksinasi, tentu upaya kita meningkatkan orang untuk jadi benteng penularan ini akan berkurang. Ditambah lagi, anak muda atau generasi Z ini orang-orang yang sangat tinggi mobilitas dan interaksinya," ujarnya.

Dicky menilai kesalahan dalam strategi komunikasi risiko yang dibangun pemerintah sejak awal pandemi memengaruhi kepercayaan anak muda. Seperti diketahui, menteri kesehatan awalnya menyangkal potensi masuknya Covid-19 ke Indonesia.

Dan setelah wabah itu masuk ke Indonesia, berkembang narasi bahwa kebanyakan yang terinfeksi adalah kelompok lansia dan orang-orang yang mengidap penyakit penyerta (komorbid).

"Padahal, potensi Indonesia bahkan untuk menjadi episenter sangat besar. Kemudian bahwa yang terkena Covid-19 ini tidak hanya usia tua. Pada prinsipnya, semua usia berisiko. Yang membedakan adalah potensi paparannya, bergantung pada seberapa aktif dia dalam mobilitas dan interaksinya," ia menjelaskan.

"Ini yang belum disampaikan secara memadai oleh pemerintah dalam strategi komunikasi risikonya kepada kelompok milenial dan Generasi Z ini."

Komunikasi pemerintah

Pemerintah Indonesia telah berusaha mengedukasi masyarakat soal vaksin dengan berbagai cara, termasuk menggunakan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan influencer.

Pada 13 Januari 2021, Istana menunjukkan Presiden Joko Widodo menjadi orang pertama di Indonesia yang disuntik vaksin. Istana juga menggaet selebritas Raffi Ahmad sebagai "perwakilan anak muda", meskipun strategi ini belakangan menjadi bumerang setelah sang artis ketahuan menghadiri pesta usai divaksin.

CSIS belum dapat memastikan pengaruh strategi tersebut pada sikap anak muda terhadap vaksin, kata Arya Fernandes, namun berdasarkan hasil survei pada Januari, bisa diasumsikan bahwa ia kurang efektif dalam menjangkau anak-anak muda.

"Pesannya tidak sampai, atau endorser-nya dianggap kurang tepat," ujarnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa survei-survei CSIS sebelumnya menemukan bahwa kaum muda lebih banyak mengakses media sosial, tempat informasi yang tidak terverifikasi dan misinformasi bertebaran (di samping informasi yang bisa diandalkan). Ketidakpercayaan pada vaksin bisa jadi terbentuk karena kaum muda kurang mendapatkan informasi yang valid di media sosial, menurut Arya.

"Jadi strategi pemerintah untuk menggarap media sosial dengan menyajikan informasi-informasi yang valid soal vaksin penting untuk terus digenjot, paling tidak untuk memberikan kepastian informasi kepada anak-anak muda supaya level kepercayaannya meningkat," tuturnya.

Membedah keraguan vaksin

Psikolog kesehatan dari Universitas Airlangga, Rizqi Amelia Zein, meragukan data-data dari lembaga survei di atas, yang menurutnya tidak representatif. Di samping itu, ia juga menganggap survei tersebut kurang memahami fenomena keraguan vaksin atau vaccine hesitancy. Sikap masyarakat terhadap vaksin, kata Amelia, bukanlah oposisi biner pro-vaksin dan anti-vaksin.

Survei Kementerian Kesehatan Indonesia, WHO, dan UNICEF pada November 2020 dengan responden lebih dari 112.000 - yang menurut Amelia lebih bisa diandalkan - menunjukkan hanya 64,8% yang bersedia divaksin. Lainnya, 7,6% menolak keras vaksinasi COVID dan 27,6% menyatakan tidak tahu.

Amelia berpendapat, supaya program vaksinasi Covid-19 berhasil, edukasi pemerintah harus ditujukan kepada masyarakat yang tidak tahu atau masih ragu-ragu itu, alih-alih meyakinkan mereka yang menolak menerima vaksin.

Bagaimanapun, jika memang benar ada banyak di kalangan Milenial dan Generasi Z yang menolak divaksin karena merasa dirinya tidak akan tertular atau tidak akan sakit separah orang tua, itu menunjukkan masyarakat belum paham fungsi vaksin, menurut Amelia.

Dia pun berpendapat pemerintah perlu memperbaiki strategi komunikasi tentang vaksin, dengan lebih menekankan vaksin sebagai tanggung jawab sosial alih-alih sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri.

Amelia melanjutkan, vaksin merupakan bentuk intervensi yang baru kelihatan hasilnya setelah cukup banyak orang yang divaksin. Dengan kata lain, vaksin lebih merupakan tanggung jawab sosial alih-alih sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri. Inilah yang menurutnya perlu ditekankan dalam strategi komunikasi pemerintah.

"Bahwa [vaksin] bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk melindungi orang yang lebih berisiko. Jadi dia punya peluang menularkan lebih kecil - meski ini juga debatable karena kita nggak tahu apakah vaksin mencegah penularan. Tapi paling tidak kita mencegah supaya fasilitas kesehatan tidak penuh, atau supaya viral load-nya tidak tinggi sehingga tidak menularkan kepada orang lain.

"Jadi memang benefit yang sifatnya kolektif itu kurang ditekankan," kata Amelia.

Cara ini mungkin efektif untuk merangkul generasi muda, menurut pakar biologi molekuler dan komunikator sains Ahmad Rusdan Utomo.

Ahmad, yang membuka channel YouTube untuk menjelaskan konsep-konsep sains kepada pemirsa awam, menilai beberapa anak muda menolak vaksin karena tidak melihat urgensinya bagi mereka. Di sisi lain, Gen Z memiliki kepedulian sosial yang tinggi.

Lalu bagaimana cara merangkul mereka? Menurut Ahmad, mereka harus dibuat sadar bahwa mereka adalah pembawa virus yang baik. "Selama ini mereka susah mengapresiasi bahwa mereka penular," ujarnya.

Pemerintah evaluasi strategi

Juru bicara vaksinasi Covid-19 dari BPOM, Lucia Rizka Andalusia, mengatakan pemerintah terus mengevaluasi efektivitas strategi komunikasi tentang vaksin kepada masyarakat. Ia mengatakan tidak mengetahui hasil evaluasi sejauh ini, tetapi mengakui bahwa itu mungkin belum memuaskan.

"Saya sendiri mohon maaf tidak mengikuti hasil persepsi masyarakat [terhadap vaksin], yang memang saya dengar masih belum satisfied ," ujarnya.

Ia menjelaskan, Kementerian Komunikasi dan Informatika terus melakukan identifikasi atas informasi-informasi tentang vaksin yang keliru di internet dan menjelaskannya kepada masyarakat. Selain itu, Kementerian Kesehatan menggunakan tagar #infovaksin di media sosial untuk menyosialisasikan vaksin serta mengklarifikasi hoaks.

Bagaimanapun, kata Lucia, pemerintah Indonesia berharap sebanyak mungkin masyarakat akan menerima vaksinasi seiring berjalannya waktu sehingga dapat terbentuk kekebalan kelompok yang diharapkan dapat mengakhiri pandemi.

"Tapi kenyataannya, di setiap vaksinasi massal, antusiasme masyarakat sangat tinggi ... Saya rasa dengan berjalannya waktu, mereka yang tidak percaya akan percaya. Toh kita juga akan bertahap terus melakukan vaksinasi," ujarnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI