Suara.com - Pandemi Covid-19 menghambat program Posyandu, yang memberikan pelayanan kesehatan penting bagi ibu dan anak di daerah. Hal ini, ditambah dampak ekonomi dari pandemi, diperkirakan meningkatkan kasus anak kerdil alias stunting di Indonesia.
Pada Kamis (11/02), Posyandu Mawar di Kelurahan Derwati, Kecamatan Rancasari, Kota Bandung, kembali dibuka setelah hampir setahun tutup. Bulan Februari adalah jadwal pemberian vitamin A untuk anak balita.
Posyandu dibuka sejak pukul 08:00 WIB di Balai Pertemuan RW dengan menerapkan protokol kesehatan Covid-19. Selain diberi vitamin A, anak-anak balita juga ditimbang berat badannya serta diukur tinggi badannya, lingkar kepala, dan lengan atasnya.
Para orang tua, mayoritas kaum ibu, tampak antusias membawa anak-anak mereka ke Posyandu. Mereka dilayani oleh 12 kader PKK yang kompak memakai baju merah dan kerudung hijau.
Baca Juga: 4 Cara Mengelola Depresi Saat Pandemi Covid-19
- Hampir tujuh juta anak terancam menderita stunting akibat pandemi Covid-19
- Generasi tanpa asuhan ibu
- Mungkinkah ibu hamil dan menyusui mendapatkan vaksin Covid-19?
Salah seorang ibu yang datang ke Posyandu adalah Rike Isnawati. Perempuan berusia 24 tahun itu melahirkan dua anak kembar selama pandemi. Ia mengaku baru pertama kali ini datang ke Posyandu.
Sewaktu hamil, ia mengecek kesehatan diri dan janinnya dengan datang ke dokter di rumah sakit yang jaraknya lumayan jauh dan ongkosnya mahal. Akibatnya, ia hanya periksa ke dokter saat waktu imunisasi.
Setelah melahirkan, kata Rike, pemantauan berat badan anak-anak balitanya ia lakukan sendiri.
"Paling di timbangan yang besar sama aku ditimbangnya. Nah nanti nggak bawa bayi, berapa aku kiloannya. Nanti dikurangi," ujarnya.
Saat kegiatan Posyandu tidak berjalan, ibu muda itu mengaku sempat merasa khawatir bila tumbuh-kembang anaknya tidak terpantau dengan baik.
Baca Juga: Pekan Sarapan Nasional 2021: Jaga Tenaga, Ini Komposisi Nutrisi yang Tepat
"Kalau ada kekhawatiran, paling searching di Google. Tidak ada yang bisa ditanya, diajak komunikasi," ungkapnya.
Ketua Posyandu Mawar Kelurahan Derwati, Teti Sulastri, mengatakan selama kegiatan Posyandu tidak bisa dilaksanakan karena pandemi. Pemantauan ibu hamil dan anak balita dilakukan melalui grup RT.
Di setiap RT, ada dua kader Posyandu yang senantiasa mengingatkan para ibu untuk menimbang berat badan anak-anaknya. Jika ada laporan tentang anak yang tinggi atau berat badannya kurang, mereka akan datang ke rumahnya untuk memeriksa.
Pada September, kata Teti, para kader Posyandu memberikan obat cacing kepada anak-anak usia satu hingga 12 tahun dengan datang dari pintu ke pintu.
Teti mengakui bahwa tidak semua ibu dan anak bisa terpantau saat kunjungan door-to-door. Hambatannya banyak. "Kalau ada orang baru, dia ada di rumah, anak-anak tidak dikeluarkan, seperti apa di dalam kita nggak tahu," ungkapnya.
Pandemi Covid-19 telah menghambat program Posyandu di banyak daerah di Indonesia. Menurut survei Kementerian Kesehatan terhadap lebih dari 4.600 Puskesmas pada penghujung 2020, sebanyak 43% Puskesmas tidak melaksanakan Posyandu. Namun demikian, lebih dari 60% tetap melakukan kunjungan ke rumah untuk pemeriksaan ibu hamil dan balita.
Plt. Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat di Kementerian Kesehatan, dr. Kartini Rustandi, mengatakan pemerintah telah membuat pedoman untuk melaksanakan Posyandu di masa pandemi. Namun angka kunjungan ke Posyandu tetap berkurang.
"Tidak semua keluarga berani membawa anaknya untuk datang ke Posyandu," ujar Kartini.
Padahal, Posyandu memainkan peran penting dalam pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak selama 1.000 hari pertama kehidupan. Ini krusial dalam pencegahan stunting, yaitu kondisi ketika tinggi badan anak lebih pendek dari anak-anak lain seusianya akibat kekurangan gizi.
Stunting tidak hanya berdampak pada perkembangan fisik anak tapi juga kognisi. Maka dari itu, pemerintah menganggap prevalensi stunting berpotensi menyia-nyiakan bonus demografi di Indonesia yang mencapai puncaknya pada 2030.
'Sempat turun, naik lagi'
Gangguan pada Posyandu, ditambah dampak ekonomi dari pandemi, diperkirakan menyebabkan lonjakan angka stunting yang sempat turun dalam beberapa tahun terakhir.
Setidaknya, hal itu terjadi di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Pada 2018, Takalar menjadi salah satu kabupaten dengan angka stunting tertinggi di provinsi, dikategorikan sebagai "zona hitam".
"Karena dengan persentase [stunting] 40,1 %, Takalar masuk ke dalam urutan ke 10 kabupaten yang tertinggi angka stunting-nya untuk provinsi," kata kepala Dinas Kesehatan Takalar, Rahmawati.
Dalam tiga tahun terakhir, pemerintah Kabupaten Takalar sukses menurunkan persentase tersebut hingga 13,6%. Namun di masa pandemi mereka kembali mengalami lonjakan kasus stunting, yakni sebanyak 4.306 anak balita yang tersebar di sembilan kecamatan.
Rahmawati menjelaskan, pada awal pandemi, pemerintah menerapkan pembatasan sosial ketat di Kabupaten Takalar yang dikategorikan sebagai zona merah. Akibatnya, ada beberapa target Posyandu yang tidak tercapai, antara lain penimbangan bayi dan balita minimal satu bulan sekali.
Di Desa Bentang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, Posyandu buka setiap bulan selama pandemi. Namun jumlah kunjungan berkurang drastis. Dari 50-60 orang tua yang biasa datang untuk menimbang anaknya, paling banyak 10 orang tua yang datang. Alasannya, para orang tua takut datang ke Posyandu.
"Itu karena adanya isu ketika ke Posyandu akan dilakukan tes rapid, tes swab…ini membuat ibu-ibu tidak mau ke Posyandu. Mereka takut di-Covid-kan," kata dr. Radiah, kepala Puskesmas Bontokassi yang menaungi pelayanan kesehatan di Desa Bentang.
Beberapa kader Posyandu, seperti Fitriani (24), rutin melakukan kunjungan ke rumah-rumah untuk memantau tumbuh-kembang balita penderita stunting.
Dalam setiap kunjungan, ia menanyakan sejumlah pertanyaan seputar pemberian asupan makanan dan perawatan balita kepada orang tua, dan menimbang berat badan serta mengukur tinggi badan anak-anak.
Jumat lalu ia berkunjung ke rumah seorang ibu yang kedua anak balitanya menderita stunting. Anak pertamanya adalah laki-laki berumur 5 tahun, dengan berat badan 12 kilogram dan tinggi badan yang terbilang pendek dibandingkan anak-anak lain seusianya. Sementara anak keduanya perempuan berumur 1,5 tahun, dengan berat badan sembilan kilogram dan tinggi badan 71 sentimeter.
Sekilas keduanya terlihat normal. Namun menurut standar Kementerian Kesehatan, si anak laki-laki dikategorikan berat badan sangat kurang (severely underweight), sementara si anak perempuan sangat pendek (severely stunted).
Fitriani menjelaskan bahwa anak penderita stunting rata-rata berasal dari keluarga miskin. "Biasa kendalanya kurang kasih makan buah-buahan... faktor makanan," ujarnya.
Faktor lain yang kerap ditemui ialah "kadang-kadang anaknya malas makan karena ibunya malas makan, juga faktor dari anak-anak yang rewel sering sakit naik turun timbangan badannya," kata Fitriani.
Sang ibu, Kasmiati (27), mengaku jika anaknya sering menderita demam tinggi dengan gejala flu ringan, yang berakibat pada penurunan berat badan anak-anaknya.
"Iya sering bawa ke Posyandu kalau sakit demam. Biasa naik turun timbangan BB (Berat Badannya). Kalau lagi sehat banyak dia makan, sayur. Tapi kalau sakit begini susah makan…dan itu yang kasih turun badannya, timbangannya" katanya.
Peran Posyandu
Menurut Profesor Endang Laksminingsih, pakar gizi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, posyandu berperan dalam identifikasi masalah gizi dan tindak lanjutnya. Salah satu kegiatan terpenting di Posyandu adalah pemantauan berat badan anak setiap bulan.
Prof. Endang menjelaskan, salah satu indikasi stunting adalah berat badan anak tidak naik selama dua bulan. Hal ini perlu dicari tahu penyebabnya - apakah karena sakit, kurang gizi, atau hal lain. Jika Posyandu dilaksanakan setiap bulan, bisa segera dilakukan tindakan.
"[Terganggunya] Posyandu itu menyebabkan identifikasi masalah tidak optimal, maka penanggulangan lebih lanjut terhadap pemantauan masalah gizi itu menjadi tidak optimal," ujarnya.
Selain menimbang berat badan anak, Posyandu memberikan layanan lain seperti imunisasi, vitamin A, dan suplementasi Zinc untuk mencegah penyakit. Ibu hamil juga mendapat pelayanan kesehatan, termasuk tablet tambah darah untuk mencegah anemia dan makanan tambahan.
Beberapa ibu dapat pergi ke rumah sakit atau klinik untuk mendapatkan layanan tersebut. Namun banyak ibu yang tidak punya akses atau tidak mampu membayar untuk pergi ke klinik sangat mengandalkan pelayanan gratis dari Posyandu. Dan kelompok inilah yang, menurut Prof. Endang, paling berisiko.
"Justru mereka yang memerlukan, yang harus diidentifikasi itu adalah kelompok yang tidak berkemampuan dan pengetahuannya tidak optimal. Justru di sini yang risiko stunting lebih besar," ujarnya.
Ia menambahkan, Posyandu juga lebih dekat dengan komunitas. "Biasanya ibu-ibu Posyandu mengabari, kalau sudah waktunya Posyandu mereka keliling. Jadi dicariin, mereka proaktif."
Mungkinkah target mengatasi stunting tercapai?
Iing Mursali, ketua Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (TP2AK) yang berada di bawah Sekretariat Wakil Presiden, mengakui bahwa memang ada prediksi bahwa angka stunting akan naik setelah pandemi. Namun belum diketahui seberapa besar.
Menurut Iing, dampak pandemi pada kasus stunting harus dilihat dalam jangka panjang, tidak bisa dalam satu-dua bulan saja. Ia menambahkan bahwa dampaknya tergantung pada lamanya pandemi dan besaran bantuan sosial alias social safety net yang diberikan pemerintah.
Ia menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia sudah berhasil menurunkan angka stunting dari 30,8% pada 2018 menjadi 27,7% pada 2019. Pada 2020, diperkirakan angka itu kembali naik. Namun ia menegaskan bahwa pemerintah tetap berkomitmen pada target menekan angka stunting hingga 14% pada 2024.
"Pencegahan stunting tetap menjadi prioritas nasional," ujarnya kepada BBC News Indonesia.
Iing mengatakan pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mencapai target tersebut, termasuk menambah penerima manfaat bantuan sosial dan menyusun panduan bagi pelayanan Posyandu selama pandemi. Pemerintah juga telah melakukan realokasi anggaran Kementerian/Lembaga untuk berbagai program sosial yang berkaitan dengan stunting, ia menambahkan.
"Secara total untuk stunting yang awalnya 27T naik jadi sekitar lebih dari 38T," ungkapnya.
Bagaimanapun, Prof. Endang merasa akan sangat sulit mencapai target angka stunting 14% dalam keadaan pandemi. Pasalnya, stunting bukan sesuatu yang gampang diturunkan karena merupakan hasil kekurangan gizi dan infeksi yang kronis dan berulang. "Sehingga menanggulanginya tidak bisa cepat," ujarnya.
Ia berharap semua pimpinan daerah segera gencar bertindak untuk mengatasi masalah stunting, yang dampaknya dapat dirasakan dalam tiga generasi.
Itu karena ketika ibu hamil mengalami masalah, pembentukan janin termasuk organ reproduksi - sel telur atau sperma - tidak optimal. Akibatnya, anak si janin juga berisiko mengalami stunting.
"Artinya kalau dia ada masalah sedikit saja, anak yang dulu orang tuanya kekurangan gizi, dia akan lebih mudah terserang penyakit jantung, pendek, nggak pintar," Prof. Endang menjelaskan.
Jika ini dibiarkan, sambung Prof. Endang, akan terjadi efek spiral yang memperbesar kesenjangan antara mereka yang kaya dan yang miskin.
--
Wartawan di Bandung, Yuli Saputra, dan wartawan di Makassar, Riza Salman, berkontribusi dalam laporan ini.