Irjen Napoleon Klaim Jadi Korban Kriminalisasi, Polri: Semua Boleh Bicara

Senin, 22 Februari 2021 | 18:17 WIB
Irjen Napoleon Klaim Jadi Korban Kriminalisasi, Polri: Semua Boleh Bicara
Irjen Napoleon Bonaparte saat menjalani sidang agenda tuntutan dari Jaksa di Pengadilan Tipikor, Jakarta. (Suara.com/Welly Hidayat)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Polri menilai pernyataan Irjen Pol Napoleon Bonaparte yang mengklaim dirinya sebagai korban kriminalisasi dan malpraktik penegak hukum dalam skandal kasus suap Djoko Tjandra hanyalah bentuk pendapat pribadi.

Kabag Penum Divisi Humas Mabes Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan mengatakan pendapat pribadi itu sah saja diutarakan, namun perlu dibuktikan secara hukum.

Ahmad kemudian mempersilakan Napoleon selaku terdakwa kasus suap penghapusan red notice Djoko Tjandra itu menempuh jalur hukum jika tak puas dengan proses hukum yang tengah berlangsung.

"Setiap orang itu tentunya memiliki hak untuk berbicara mengeluarkan pendapat. Jadi silakan saja, siapapun yang ditegakkan secara hukum ada proses hukumnya," kata Ramadhan di Mabes Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (22/2/2021).

Baca Juga: Kembali Jalani Sidang, Irjen Napoleon Sampaikan Nota Pembelaan Hari Ini

Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Agung RI sebelumnya menuntut Napoleon dengan hukuman tiga tahun penjara. Terdakwa penerima suap itu juga dituntut membayar denda sebesar Rp100 juta, subsider enam bulan kurungan penjara.

Dalam nota pembelaan atau pledoi, Napoleon kemudian mengklaim dirinya sebagai korban kriminalisasi melalui media sosial. Sekaligus merasa sebagai korban malpraktik penegak hukum.

"Kami telah menjadi korban dari kriminalisasi melalui media sosial yang memicu malpraktik dalam penegakan hukum," kata Napoleon saat membacakan pledoi di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, Senin (22/2/2021).

Eks Kadiv Hubinter Polri itu lantas menjelaskan maksud kriminalisasi dan malpraktik itu ialah terkait proses penegakan hukum terhadap dirinya yang dinilainya tak mendasar. Sehingga dirinya merasa hanyalah korban malpraktik penegak hukum demi mempertahankan muruah institusinya masing-masing.

"Masifnya pergunjingan publik akibat sinisme terhadap kekuasaan, yang telah menggeneralisir setiap simbolnya sebagai pelampiasan hasrat gibah. Sehingga, memicu malpraktik penegakan hukum atas nama mempertahankan keluhuran marwah institusi," katanya.

Baca Juga: Tak Terima Vonis Berat Hakim, Pinangki Ajukan Banding

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI