Suara.com - Tugas akhir di ujung jenjang pendidikan strata satunya memberi kesempatan bagi Yason Agapa menemukan ide membuat kompor berbahan bakar oli bekas.
Kreasinya ini memang bukan sama sekali baru. Namun, inovasi mahasiswa Universitas Cenderawasih asal Deiyai Papua itu diyakini ramah lingkungan, karena mendaur ulang oli bekas yang selama ini dibuang begitu saja.
Muda-mudi asal Papua berulang kali mencuat berkat prestasi cemerlang di bidang akademik. Tahun lalu, sejumlah inovasi yang dianggap dapat bermanfaat bagi komunitas lokal juga bermunculan dalam ajang pencarian 'ilmuwan muda Papua'.
Lantas, bagaimana memastikan setiap bakat muda Papua berpeluang membuat terobosan teknologi? Dan dapatkah inovasi mereka menjadi solusi banyak persoalan di Papua?
Baca Juga: Implementasi Pancasila dalam Pendidikan Indonesia
- George Saa, pemuda Papua dengan prestasi 'sangat spesial'
- Pemprov Jawa Barat luncurkan konversi kompor listrik, benarkah lebih ramah lingkungan?
- Perkenalkan Hawuko, kompor berbahan bakar sampah yang mengalirkan listrik
Yason, yang menamatkan kuliahnya akhir tahun 2020, mengungkapkan sempat dipandang sebelah mata saat mengajukan gagasan membuat kompor berbahan oli bekas ini.
Namun Yason yakin dapat menerapkan ide itu, yang menurutnya tidak sulit dikerjakan.
"Proposal tugas akhir saya pertamanya tentang mesin parut kelapa. Tapi dosen tidak setuju karena kakak-kakak tingkat saya sudah pernah membuatnya," ujar Yason saat dihubungi, awal Februari lalu.
"Saya lalu maju dengan proposal baru. Dosen pembimbing bingung, ini kompor apa? Kompor kan banyak, kata dia. Ini kompor oli bekas, kata saya."
"Pembimbing dan penguji waktu itu bingung. Saya bilang tidak apa-apa, nanti saya bikin kompor ini sampai jadi," lanjut Yason.
Baca Juga: Komisi X Desak Pemerintah Perhatikan Nasib Guru Honorer PPPK
Dia mengaku tidak menghabiskan waktu lama untuk merangkai kompor oli bekas ini. Tantangan terbesarnya justru menemukan penjual mesin peniup angin atau blower di Jayapura.
Mesin ini menjadi komponen termahal kompornya, seharga sekitar Rp1 juta.
"Produksinya selesai dalam satu jam, kalau bahannya sudah lengkap. Mesin blower susah dicari, harus pesan dari luar. Kemarin saya beli di Jayapura, tapi mereka bilang cuma ada satu," tuturnya.
Proses menyalakan kompor buatan Yason membutuhkan waktu sekitar lima menit. Pertama, mesin peniup angin harus dioperasikan. Angin dari mesin ini dialirkan menuju tungku melalui pipa sepanjang satu meter.
Yason menampung oli bekas di dalam galon air minum. Galon ini diletakkan dalam posisi yang lebih tinggi dari blower dan tungku.
Setelah mesin peniup angin berputar, oli bekas diteteskan melalui pipa kecil agar mengalir ke tungku. Setelah itu, barulah Yason menyalakan sumbu di tungku menggunakan korek api.
"Kompor ini aman. Tidak akan terbakar atau meledak," klaim Yason.
Empat bulan setelah kompor buatannya di-acc tim dosen, Yason mengaku sudah menjual lebih dari 50 kompor ke warga Jayapura dan Nabire.
Yason berkata, pembeli bukan cuma menggunakannya untuk keperluan rumah tangga, tapi juga untuk memasak babi dalam ritual adat dan acara keagamaan.
Yason menjual kompor ini seharga Rp2 juta atau relatif lebih tinggi daripada kompor gas biasa. Dia berkata, angka itu muncul karena harga komponen dasar kompor ini, salah satunya mesin peniup angin, memang mahal.
"Kompor biasa lebih murah, tapi kompor ini apinya lebih besar, masak jadi lebih cepat. Bahan bakarnya kalau habis juga tinggal ambil di bengkel," kata Yason.
Pada tahun 2016, tiga mahasiswa Universitas Sriwijaya di Palembang menciptakan kompor multi bahan bakar. Bukan cuma oli bekas, kompor buatan mereka juga bisa menyala dengan memanfaatkan minyak jelantah.
Empat tahun sebelumnya, dua peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), juga pernah membuat kompor berbahan bakar minyak jelantah.
Bagaimanapun, Yason ragu inovasinya ini dapat memberikan jaminan masa depan baginya. Sejak lulus kuliah Oktober lalu, dia masih terus mencari lowongan pekerjaan.
"Penghasilan saya lumayan tapi sampai sekarang pemerintah belum memberikan perhatian," kata Yason.
"Saya berharap mereka bisa kasih bantuan dana atau tempat kerja supaya lebih banyak masyarakat yang menggunakan kompor saya," tuturnya.
Selain kompor oli bekas, inovasi teknologi juga muncul dalam program pencarian 'sepuluh Ilmuwan Muda Papua' tahun 2020 yang diselenggarakan lembaga non-profit, Yayasan Eco Nusa.
Satu dari sepuluh proposal riset yang lolos seleksi program itu adalah pembuatan mesin pengekstraksi sagu model pengaduk berulir yang dilengkapi unit pemarut. Inovasi ini diusulkan Ian Immanuel Homer, mahasiswa Teknik Pertanian Universitas Papua.
Rina Kusuma, manajer Yayasan Eco Nusa yang mengasuh program ini, berkata selama ini penelitian dan riset di Papua didominasi orang-orang yang tidak lahir dan tinggal di pulau itu.
Lewat proyek pencarian inovasi dan pembiayaan riset dari lembaganya, Rina berharap muncul peneliti asal Papua yang memberi dampak positif untuk komunitas lokal.
"Banyak peneliti di Papua adalah 'peneliti helikopter'. Mereka datang dari luar Papua, riset di sini lalu membawa pergi ilmu yang mereka dapat.
Kami ingin mendorong anak Papua untuk meneliti di kampung mereka sendiri," ujar Rina.
"Awalnya kami bertanya-tanya, apakah akan ada yang mendaftar karena program serupa yang diadakan lembaga lain sebelumnya kurang diminati.
"Kami pikir 40-50 proposal itu sudah bagus sekali, tapi akhirnya total ada 86 proposal yang kami seleksi," tuturnya.
Setelah proses penelitian yang dibiayai Eco Nusa, saat ini sepuluh ilmuwan dalam program ini masuk ke tahap penulisan akhir.
Berikutnya, para periset yang seluruhnya berstatus mahasiswa strata satu itu akan diminta menuliskan penelitian mereka secara populer di salah satu situs penerbitan riset ternama.
Rina berharap hasil seluruh riset itu dilanjutkan pemerintah daerah agar benar-benar bermanfaat bagi masyarakat lokal.
Pertanyaan selanjutnya, apakah iklim riset dan penelitian sudah memungkinkan banyak muda-mudi di Papua berinovasi?
Belum, kata George Saa, putra asal Papua pemegang titel strata dua ilmu teknik mekanik dari University of Birmingham, sekaligus pemenang First Step to Nobel Prize in Physics tahun 2004.
"Saya salah satu ketua rombongan anak muda Papua yang bertemu Presiden Jokowi, September 2019. Anak Papua dari seluruh dunia waktu itu dikumpulkan.
"Presiden berkata, kami mau bikin apapun akan didukung penuh. Pertemuan itu juga mendorong pendirian pusat riset Papua, tapi saya tidak setuju dengan cara mereka mendorong riset dan cara mengelolanya.
"Dengan kompleksitas persoalan anak muda Papua saat ini, menurut saya cara mencapai gagasan tadi tidak bagus. Itu tidak akan mencakup semua elemen anak Papua," kata George.
Sekitar satu bulan setelah pertemuan di Istana Negara pada September 2019 yang disebut George tadi, Jokowi meresmikan pembangunan Papua Youth Creative Hub di Jayapura.
Pusat riset itu dikelola PT Papua Muda Inspiratif, yang dipimpin Billy Mambrasar, staf khusus presiden asal Papua.
"Gagasan besar dibangunnya Papua Youth Creative Hub yang ada di Jayapura nanti akan menandai pentingnya lompatan-lompatan besar anak-anak muda Indonesia, khususnya anak-anak muda Papua dalam rangka berkompetisi di dunia global," kata Jokowi kepada pers ketika itu.
"Dan saya sangat menyambut baik sekali yang pintar-pintar, yang kreatif, yang inovatif, itu dikumpulkan dalam sebuah wadah besar yang namanya Papua Muda Inspiratif. Itu betul-betul nanti memberikan dampak yang besar kepada Tanah Papua," ujarnya.
Namun, hingga saat ini, bangunan tempat "pusat kreativitas" itu belum kunjung dibangun. Pada tahun 2021, biaya pembangunan Papua Youth Creative Hub itu masuk dalam pagu anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Bagaimanapun, menurut George Saa, sampai sekarang belum ada kemajuan berarti dalam memastikan peluang untuk muda-mudi Papua untuk berinovasi.
"Kalau bicara riset dan pengembangan teknologi yang dibuat anak Papua, pemerintah tidak memiliki itikad untuk mendorong itu," kata George.
"Mereka tidak pernah melihat bagaimana supaya orang Papua tidak bergantung pada ekstrasi sumber daya alam atau bergantung pada pekerjaan di perusahaan, tapi penerapan riset yang bisa menciptakan produk.
"Kalau memang anak Papua tidak bisa ditolong pemerintah daerah, bagaimana pemerintah pusat memperpendek jarak dengan kami," katanya.
George juga mendorong program bantuan untuk ilmuwan Papua berfokus pada riset yang hasilnya dapat berguna untuk banyak orang.
"Saya harap riset itu berujung pada produk yang bisa menghasilkan uang. Penelitian itu ada dua, menemukan fenomena baru atau yang ada aspek praktikal. Kalau penelitian bagus tapi tidak aplikatif, belum jelas ujungnya," kata George.
September tahun lalu, Jokowi menerbitkan Instruksi Presiden 9/2020 yang diklaim akan menjadi pedoman pembangunan Papua yang inovatif dan inklusif.
Lewat instruksi itu, Jokowi menugaskan sejumlah sejumlah menteri memastikan pembangunan dan pengelolaan inovasi serta kreativitas anak muda asli Papua lewat Papua Youth Creative Hub.
Secara khusus, Menteri Riset dan Teknologi ditugaskan untuk mengembangkan inovasi teknologi produksi yang dapat berguna pada proses pemanfaatan sumber daya alam.
Inovasi itu difokuskan pada bidang pertanian, perikanan, dan sosial.