Pandemi Picu Lonjakan Bunuh Diri di Jepang, Mengapa Lebih Banyak Perempuan?

SiswantoBBC Suara.Com
Jum'at, 19 Februari 2021 | 07:39 WIB
Pandemi Picu Lonjakan Bunuh Diri di Jepang, Mengapa Lebih Banyak Perempuan?
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Angka bunuh diri di Jepang pada tahun 2020 melonjak untuk pertama kalinya dalam 11 tahun terakhir.

Yang mengejutkan, korban bunuh diri perempuan naik 15%, tidak seperti jumlah korban laki-laki yang menurun dari rata-rata.

Jepang menghimpun data kejadian bunuh diri secara lebih cepat dan akurat ketimbang negara lain. Tidak seperti negara lainnya, Jepang mengumpulkan data kasus bunuh setiap bulan.

Selama pandemi Covid-19, jumlah bunuh diri di negara itu mengungkap kisah yang sangat tidak mengenakan.

Baca Juga: Disebut Bunuh Diri, Jasad TKI Arab Saudi Ditemukan Penuh Luka

Selama Oktober 2020, angka bunuh diri di kalangan perempuan Jepang naik hingga 70% dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya.

Pertanyaannya, apa yang terjadi? Mengapa pandemi Covid-19 sepertinya lebih berdampak negatif kepada perempuan daripada laki-laki?

Peringatan! Sejumlah kisah di bawah ini mungkin akan membuat Anda tidak nyaman.

Bertemu secara tatap muka dengan perempuan muda yang berulang kali berusaha bunuh diri adalah pengalaman yang pelik. Momen itu memberi saya sudut pandang baru tentang orang-orang yang berupaya mencegah tren bunuh diri ini.

Saya duduk di sebuah klinik di kawasan pelacuran di Yokohama yang dijalankan oleh badan amal bernama Bond Project. Lembaga ini fokus untuk mencegah aksi bunuh diri.

Baca Juga: Keanehan Jasad TKI Arab Saudi Bunuh Diri, Ada Luka Jahitan di Perut

Di seberang meja saya ada perempuan berusia 19 tahun. Panjang rambutnya sebahu. Dia duduk seperti patung.

Dengan volume suara yang sangat pelan dan tanpa ekspresi wajah, dia mulai menceritakan kisahnya kepada saya.

Persoalannya terjadi saat dia berumur 15 tahun. Abangnya, kata dia, waktu itu mulai menyiksanya secara kejam.

Akhirnya itu mendorongnya minggat dari rumah. Namun, keputusan itu ternyata tidak menghentikan perasaan sakit dan kesendiriannya.

Menurutnya, mengakhiri kehidupan adalah satu-satunya jalan keluar.

"Tahun lalu, pada tanggal-tanggal yang sama seperti hari ini, saya masuk-keluar rumah sakit berkali-kali," ujarnya.

"Saya berulang kali mencoba bunuh diri, tapi saya gagal. Jadi sepertinya sekarang saya sudah menyerah berusaha untuk mati," kata dia.

Campur tangan lembaga amal Bond Project mendorongnya melupakan niat bunuh diri. Para pegiat di lembaga itu memberinya 'tempat aman'. Mereka juga menyediakan konseling bagi perempuan muda ini.

Jun Tachibana adalah pendiri gerakan Bond Project. Dia adalah perempuan tangguh berusia 40-an tahun. Optimismenya tidak pernah surut.

"Saat perempuan muda menghadapi kesulitan berat dan rasa sakit, mereka benar-benar tidak tahu harus berbuat apa," kata Tachibana.

"Kami menyediakan diri, siap mendengarkan dan memberi tahu mereka bahwa 'kami di sini bersamamu'," ujarnya.

Tachibana berkata, pandemi Covid-19 memperburuk kondisi perempuan yang sebelumnya sudah dirundung persoalan.

Para pekerja di Bond Project, kata dia, dalam beberapa bulan terakhir menerima telepon dari para perempuan yang terlilit persoalan mengerikan.

"Kami mendengar banyak kata 'saya ingin mati' dan 'saya tidak punya tempat untuk pergi'. Mereka berkata, 'ini sangat menyakitkan, saya sangat kesepian, jadi saya ingin menghilang'," ujar Tachibana.

Bagi para perempuan muda yang mengalami pelecehan fisik atau seksual, pandemi Covid-19 memperburuk situasi mereka.

"Seorang perempuan muda yang saya ajak bicara kemarin berkata bahwa dia dilecehkan secara seksual oleh ayahnya," kata Tachibana.

"Tapi karena pandemi, ayahnya tidak banyak bekerja dan sering berada di rumah. Jadi perempuan itu tidak memilki jalan keluar dari kekerasan itu."

Pola yang 'sangat tidak biasa'

Masa-masa krisis yang melanda Jepang sebelumnya berdampak pada angka bunuh diri di kalangan laki-laki paruh baya.

Itu terjadi antara lain saat krisis perbankan dan pasar saham Jepang ambruk tahun 2008 atau ketika krisis properti pada awal dekade 1990-an.

Lonjakan besar terjadi pada tingkat bunuh diri pria.

Namun tren berbeda muncul pada pandemi Covid-19. Krisis kesehatan ini memengaruhi kaum muda dan khususnya perempuan muda.

Pemicu tren ini beragam dan rumit.

Jepang dulu memiliki angka bunuh diri tertinggi di antara negara maju. Namun, selama satu dekade terakhir, mereka sangat sukses menurunkan hingga sepertiga tingkat bunuh diri.

Profesor Michiko Ueda adalah salah satu pakar terkemuka yang mendalami isu bunuh diri di Jepang. Dia memberi tahu saya betapa mengejutkan menyaksikan perubahan tajam dalam beberapa bulan terakhir.

"Pola bunuh diri di kalangan perempuan ini sangat, sangat tidak biasa. Saya belum pernah melihat peningkatan setinggi ini selama berkarier dan meneliti topik ini," katanya.

"Industri yang paling sangat terdampak pandemi virus corona adalah adalah industri yang melibatkan banyak perempuan, seperti pariwisata, ritel, industri makanan."

Jumlah perempuan lajang yang tinggal sendiri di Jepang meningkat besar. Banyak dari mereka mengambil jalan hidup itu ketimbang terikat pernikahan dengan pembagian peran berbasis gender tradisional.

Profesor Ueda berkata, perempuan muda juga jauh lebih mungkin menjalankan pekerjaan yang tidak tetap.

"Banyak perempuan yang tidak menikah," kata Ueda.

"Mereka harus menghidupi kehidupan mereka sendiri dan tidak memiliki pekerjaan tetap. Jadi ketika sesuatu terjadi, tentu saja, mereka sangat terdampak.

"Jumlah orang yang kehilangan pekerjaan tidak tetap sangat, sangat banyak selama delapan bulan terakhir," tuturnya.

Dan ada satu bulan di mana jumlah kejadian bunuh diri begitu masif. Oktober lalu, 879 perempuan bunuh diri di Jepang. Angka itu 70% lebih tinggi dibandingkan bulan yang sama pada tahun 2019.

Pemberitaan di berbagai surat kabar Jepang mengangkat gentingnya situasi itu. Beberapa media massa membandingkan total kasus bunuh diri laki-laki dan perempuan dengan jumlah kematian akibat Covid-19 pada bulan Oktober.

Komparasinya 2.199 berbanding 2.087.

Sesuatu yang sangat aneh sedang terjadi.

Tanggal 27 September 2020, seorang aktris yang sangat terkenal bernama Yuko Takeuchi ditemukan tewas di rumahnya. Kesimpulan yang muncul, Takeuchi mengambil nyawanya sendiri.

Yasuyuki Shimizu adalah mantan jurnalis yang kini menjalankan organisasi nirlaba bernama NPO, yang didedikasikan untuk mengatasi masalah bunuh diri di Jepang.

"Sejak berita tentang bunuh diri selebritas muncul, jumlah bunuh diri meningkat dan tren kenaikan itu bertahan sekitar 10 hari," kata Shimizu.

"Merujuk data, kita dapat melihat bahwa 10 hari setelah bunuh diri aktris itu, terjadi 207 kasus bunuh diri perempuan," ujarnya.

Jika melihat data kasus bunuh diri perempuan yang sebaya dengan Yuko Takeuchi, statistiknya bahkan lebih mencolok.

"Perempuan berusia 40-an tahun adalah yang paling terpengaruh dari semua kelompok umur. Di kelompok itu tingkat bunuh diri meningkat lebih dari dua kali lipat," kata Shimizu.

Pakar lain sependapat bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara bunuh diri selebritas dengan peningkatan langsung kasus bunuh diri pada hari-hari berikutnya.

Fenomena selebritas

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Jepang. Itulah salah satu alasan mengapa penelitian tentang bunuh diri begitu sulit dikerjakan.

Saat seorang selebritas bunuh diri, kejadian itu sangat sering dibicarakan di media massa. Dan di media sosial, dampaknya semakin besar terhadap orang-orang rentan.

Salah satu peneliti di NPO adalah Mai Suganuma. Dia adalah korban bunuh diri.

Ketika Suganuma remaja, ayahnya bunuh diri. Sekarang dia turut membantu orang-orang yang kehilangan anggota keluarga akibat bunuh diri.

Dan seperti Covid yang tak memberikan waktu berduka bagi untuk orang-orang yang kehilangan sanak famili, aksi bunuh diri juga makin menyulitkan keluarga korban.

"Ketika saya berbicara dengan anggota keluarga, perasaan tidak bisa menyelamatkan orang yang dicintai sangat kuat, itu kerap membuat mereka menyalahkan diri sendiri," kata Suganuma.

"Saya juga menyalahkan diri sendiri karena tidak bisa menyelamatkan ayah saya.

"Sekarang mereka diminta untuk tinggal di rumah. Saya khawatir perasaan bersalah itu akan semakin kuat. Orang Jepang dari dulu tidak membicarakan kematian. Kami tidak memiliki budaya untuk membicarakan bunuh diri," ujarnya.

Jepang sekarang menjalani gelombang ketiga pandemi Covid-19. Otoritas setempat menetapkan keadaan darurat kedua yang kemungkinan akan diperpanjang hingga akhir Februari.

Akan ada lebih banyak restoran, hotel, dan bar yang tutup dan lebih banyak orang kehilangan pekerjaan mereka.

Bagi Profesor Ueda, ada pertanyaan lain yang mengganggu.

Jika ini terjadi di Jepang yang tidak menerapkan karantina wilayah ketat dan kematian akibat COVID-19 yang relatif sedikit, seperti apa tren bunuh diri di negara dengan situasi pandemi yang jauh lebih buruk?

---

Jika Anda, sahabat, atau kerabat memiliki kecenderungan bunuh diri, segera hubungi dokter kesehatan jiwa di Puskesmas, Rumah Sakit terdekat, atau Halo Kemenkes dengan nomor telepon 1500567.

Anda juga dapat mencari informasi mengenai depresi dan kesehatan jiwa di intothelightid.org dan yayasanpulih.org.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI