Suara.com - Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) selaku kuasa hukum Jumhur Hidayat kembali melayangkan protes kepada majelis hakim dalam sidang lanjutan perkara penyebaran berita bohong atau hoaks, Kamis (18/2/2021).
Hal itu dilakukan karena Jumhur yang menyandang status terdakwa kembali tidak dihadirkan dalam ruang persidangan.
Sidang kali ini beragendakan pemeriksaan saksi dari pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dalam ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pentolan KAMI tersebut kembali hadir secara virtual dari Rutan Bareskrim Polri.
Tiga saksi bernama Febriyanto Budio, Adito Prabayu, dan Husin Shahab juga hadir secara virtual dari Kejaksaan Agung. Hal yang sama juga terjadi pada pihak JPU.
Baca Juga: Jokowi Mau Revisi UU ITE, Rocky Gerung: Cuma Tes Ombak, Palsu
Praktis, di ruang sidang hanya ada tim kuasa hukum Jumhur serta majelis hakim. Setelah hakim membuka jalannya sidang, Arif Maulana selaku kuasa hukum Jumhur kembali keberatan dengan persidangan secara online.
"Kami kuasa sah persidangan dilaksanakan secara online untuk kepentingan dan memastikan klien kami itu terpenuhi hak-haknya dalam proses persidangan yang imparsial, jujur dan adil," ucap Arif.
Arif mengatakan, pihaknya telah melayangkan permohonan pada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sejak 21 Januari 2021 lalu. Namun, hingga saat ini belum ada jawaban dari majelis hakim terkait permohonan tersebut.
Permintaan pertama berkaitan dengan dihadirkannya Jumhur di ruang sidang. Nyatanya, sejak sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan, wajah Jumhur hanya terpampang pada layar yang ada di ruangan.
"Persidangan dilaksanakan secara live, namun sampai hari ini belum ada putusan. Mestinya sesuai Perma dilakukan dengan penetapan," sambung Arif.
Baca Juga: Sulit Bertemu Pengacara, Kini Penangguhan Penahanan Jumhur Hidayat Ditolak
Permohonan kedua berkaitan dengan penangguhan penahanan bagi Jumhur. Alasan dibalik permohonan penangguhan itu adalah proses komunikasi yang sulit antara tim kuasa hukum dan Jumhur.
"Kami kesulitan berkomunikasi dengan beliau (Jumhur), padahal itu hak asasi. Bagaimana kami bisa berkomunikasi dengan lancar dalam proses persidangan?" tanya Arif.
Arif meminta agar majelis hakim mempertegas mekanisme persidangan dengan merujuk pada Perma Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik. Bagi dia, perkara yang menjerat Jumhur adalah masalah yang substansial yang berpengaruh pada tataran demokrasi.
"Ini perkara yang sangat substansial, berpengaruh terhadap demokrasi kita agar suara-suara aktivis yang mengkritik kebijakan tidak dikriminalisasi," jelasnya.
Kuasa hukum Jumhur lainnya, Muhammad Isnur menyatakan, persidangan online yang kekinian dilakukan sama sekali tidak memenuhi Perma Nomor 4 Tahun 2020. Pasalnya, tim kuasa hukum tidak mengetahui siapa sosok yang mendampingi saksi maupun terdakwa saat sidang berlangsung.
"Selain substansial, kami melihat bagaimana tata letak persidangan online ini tidak memenuhi Perma tersebut. Kami tidak tahu di samping saksi siapa, secara teknis tidak memenuhi ketentuan Perma," jelas Isnur.
Menjawab hal tersebut, majelis hakim masih ngotot pada jawaban pada sidang yang sudah-sudah: pandemi Covid-19. Majelis hakim yang terdiri dari satu hakim ketua dan dua hakim anggota ogah ambil risiko terkait penyebaran virus Covid-19.
"Kalau Covid-19, siapa tanggung jawab? Kalau Anda bisa fasilitasi dan mereka (pihak Rutan) percaya, ya, silakan," kata hakim.
Setelah melalui proses debat kusir yang cukup alot, majelis hakim memberikan opsi. Mereka memberi waktu selama satu minggu agar tim kuasa hukum berkonsultasi dengan JPU dan petugas Rutan Bareskrim terkait dihadirkannya Jumhur di ruang persidangan.
Sejurus dengan hal tersebut, tiga saksi yang telah dihadirkan oleh JPU urung diperiksa. Majelis hakim menunda jalannya persidangan hingga pekan depan, Kamis (25/2/2021).
Sebar Hoaks
Sebelumnya, Jumhur didakwa dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong atau hoaks yang menimbulkan keonaran melalui cuitannya di Twitter soal UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Lewat cuitanya itu, Jumhur juga dianggap membuat masyarakat menjadi berpolemik. Hal tersebut berimbas kepada aksi unjuk rasa pada 8 Oktober 2020 di Jakarta dan berakhir ricuh.
Dalam dakwaan itu, Jumhur dijerat dengan dua pasal alternatif. Pertama, dia dijerat Pasal 14 ayat (1) jo Pasal 15 Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 1946 KUHP atau Pasal 45A ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) Undang-undang RI nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan dari UU RI nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.