UU ITE akan Direvisi, Pegiat HAM: Basa-basi Jika Tanpa Rombak Besar-besaran

SiswantoBBC Suara.Com
Rabu, 17 Februari 2021 | 10:02 WIB
UU ITE akan Direvisi, Pegiat HAM: Basa-basi Jika Tanpa Rombak Besar-besaran
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Hampir 700 orang dipenjara karena pasal karet dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sepanjang 2016-2020, menurut kajian lembaga reformasi hukum. Atas dasar itu, Presiden Jokowi dan DPR didesak mencabut semua pasal karet dalam UU ITE yang kerap kali menjadi alat mengkriminalisasi ekspresi dan pendapat masyarakat.

"Ini hanya akan jadi basa-basi dan omong kosong kalau tidak melakukan pencabutan atau secara besar-besaran merombak ketentuan-ketentuan pidana di dalam undang-undang ITE," ujar Erasmus Napitupulu, direktur eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) kepada BBC News Indonesia, Selasa (16/02).

Pernyataan itu menanggapi klaim pemerintah Indonesia yang "akan mendiskusikan inisiatif revisi Undang-Undang ITE" menyusul pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa dirinya bakal mendorong revisi undang-undang tersebut lantaran maraknya warga saling lapor dan kasus kriminalisasi.

Dalam kurun 2016-2020, UU ITE dengan pasal karetnya telah menimbulkan tingkat penghukuman atau conviction rate mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan sangat tinggi, mencapai 88% (676 perkara), menurut data yang dihimpun koalisi masyarakat sipil.

Laporan perkumpulan pembela kebebasan berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) menyimpulkan bahwa jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multitafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis.

Berdasar pemantauan yang dilakukan oleh LBH Pers, selama 2020 setidaknya terdapat 10 jurnalis yang sedang melaksanakan kerja kerja pers dilaporkan menggunakan ketentuan pasal - pasal dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE.

Adapun pasal yang kerap digunakan adalah pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik dan pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian.

Undang-undang ini pertama kali disahkan pada 2018 dan telah direvisi pada 2016 lalu. Kala itu, revisi undang-undang itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi.

Berikut yang perlu Anda ketahui tentang wacana revisi UU ITE yang kali ini diwacanakan oleh pemerintah.

Buka ruang revisi UU ITE bersama DPR

Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa pemerintah Indonesia membuka ruang untuk merevisi Undang-Undang ITE, jika implementasi beleid itu dirasa tak memenuhi rasa keadilan.

"Kalau undang-undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi undang-undang ini, undang-undang ITE ini, karena di sinilah hulunya," ujar Jokowi ketika memberikan pengarahan kepada pimpinan TNI dan Polri di Istana Negara pada Senin (15/02) malam.

"Terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak," lanjutnya.

Pada kesempatan yang sama, ia juga mengimbau kepolisian untuk lebih selektif dalam menerima pelaporan pelanggaran Undang-Undang ITE, menyusul makin banyak warga yang saling melaporkan ke kepolisian.

"Hati-hati, pasal-pasal yang bisa menimbulkan multi-tafsir harus diterjemahkan secara hati-hati. Penuh dengan kehati-hatian. Buat pedoman interpretasi resmi terkait undang-undang ITE, biar jelas," kata Jokowi.

Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto, menganggap penyataan Jokowi tersebut tak lepas dari pernyataannya sebelumnya yang meminta masyarakat mengkritik pemerintah jika dalam menjalankan tugasnya tidak memenuhi aspek layanan publik.

Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu, menegaskan imbauan agar kepolisian selektif untuk tidak mengkriminalisasi, semestinya berlaku bagi semua warga negara, bukan hanya pendukungnya saja.

"Karena yang kita hadapi saat ini adalah mudah untuk tidak dijerat UU ITE, pastikan Anda dukung pemerintah. Kalau Anda nggak dukung pemerintah, maka lebih mudah masuk penjara," tegas Erasmus.

Sejumlah orang, baik warga dan tokoh ternama, telah menjadi korban pasal karet dalam UU ITE, antara lain: musisi Jerinx, aktivis Dandy Dwi Laksono, Buni Yani, hingga Baiq Nuril Maknun—seorang guru honorer asal Mataram, Lombok.

'Mudah-mudahan tak ada korban lagi seperti saya'

Baiq Nuril yang pada 2015 tersandung UU ITE mengaku lega akhirnya pemerintah Indonesia berinisiatif merevisi undang-undang ITE.

"Alhamdulillah sekali ya, mudah-mudahan bisa direvisi ya, karena pasal-pasalnya kan pasal karet, apalagi seperti kasus saya kemarin," ujar Nuril dengan penuh kelegaan.

Kasus Nuril bermula ketika ia merekam percakapan mesum kepala sekolah tempat ia bekerja, karena ingin membela diri atas pelecehan yang ia terima. Ia kemudian dilaporkan oleh pria tersebut dengan dasar pasal 27 ayat (1) Undang-Undang ITE.

Ia sempat menjalani hidup selama dua bulan di tahanan.

Pada 2017, ia divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Mataram. Namun, ia divonis bersalah dan dihukum enam bulan penjara dan denda Rp500 juta pada putusan kasasi pada 2018.

Pihaknya kemudian mengajukan peninjauan kembali (PK) namun ditolak oleh Mahkamah Konstitusi pada 2019.

Perjuangannya untuk mencari keadilan membuahkan hasil ketika pada 15 Juli 2019 Presiden Joko Widodo memberinya amnesti. Sejak saat itu, ia terbebas dari jerat hukum.

Kepada BBC News Indonesia, Nuril menghendaki pemerintah untuk memberikan keadilan bagi para korban undang-undang itu.

"Seperti saya, seandainya saya ingin membuktikan ke orang atau ke seseorang bahwa saya ini dilecehkan, rekaman tersebar tanpa sepengetahuan saya, saya yang jadi korban. Jadinya tidak ada perlindungan bagi saya yang korban," katanya.

Hampir dua tahun setelah memberikan amnesti kepada Baiq Nuril, Presiden Joko Widodo mendorong revisi UU ITE menyusul banyaknya warga yang saling lapor ke kepolisian atas dasar pasal-pasal multitafsir dalam undang-undang itu.

Kendati inisiatif pemerintah terjadi setelah ia bertahun-tahun berjibaku memperjuangkan keadilan, Nuril menganggap "tidak ada kata terlambat".

"Kalau dibilang terlambat sih terlambat, tapi tidak ada kata terlambat untuk hal yang seperti ini. Saya berpikir positif saja, mungkin sesuatu yang baik itu harus ada yang, istilahnya, menjadi korban dulu. Mudah-mudahan tidak ada korban lagi yang seperti saya. Tidak ada kata terlambat sebelum berjatuhan korban-korban yang lain," katanya.

Apa yang dialami oleh Nuril, juga dialami oleh hampir 700 orang lain yang dipenjara akibat pasal-pasal karet dalam UU ITE.

Damar Juniarto dari SAFenet memandang, Undang-Undang ITE menjadi salah satu regulasi yang "menghambat ruang gerak" dan membuat masyarakat "hidup dengan ketakutan".

"Masyarakat melihat bahwa dengan tingkat penghukuman yang tinggi, 96,8% dari kasus-kasus yang diamati koalisi masyarakat sipil dari 2016-2020, juga dengan tingkat pemenjaraan yang sama tingginya," kata Damar.

"Artinya warga tahu risikonya tinggi kalau mereka mengkritik begitu saja tanpa ada jaminan bahwa mereka tidak terseret dalam Undang-Undang ITE," katanya kemudian.

Merujuk laporan Center for Strategic and International Studies (CSIS) pada 2018, ada dampak yang tidak diinginkan (unintended consequences) dari UU ITE.

Laporan itu mengungkap bahwa undang-undang itu telah melenceng dari niat awal dan telah menimbulkan dampak sosial dan politik bagi masyarakat.

Undang-undang ini juga kerap digunakan politisi dan pemegang kekuasaan untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya.

Sementara dalam kehidupan sosial, orang jadi saling melaporkan dan berkasus di kepolisian.

'Butuh komitmen pemerintah dan DPR'

Menkopolhukam Mahfud MD mengonfirmasi wacana pemerintah merevisi UU ITE melalui akun Twitternya pada Selasa (15/02) seraya menegaskan bahwa pemerintah akan mendiskusikan inisiatif revisi UU ITE.

"Jika sekarang UU tersebut dianggap tidak baik dan memuat pasal-pasal karet, mari kita buat resultante baru dengan merevisi UU tersebut," tulisnya.

https://twitter.com/mohmahfudmd/status/1361346223995686913?s=20

Namun, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform, ICJR, Erasmus Napitupulu menganggap inisiatif dari pemerintah saja tidak cukup. Menurutnya, perlu komitmen bersama dari DPR untuk merevisi undang-undang tersebut.

"Yang harus punya komitmen itu bukan Pak Jokowi saja, bukan hanya pemerintah aja, tapi DPR yang sekarang berkuasa, rulling party. Yang saya maksud rulling party ya partai-partai koalisi. Jadi butuh komitmen bersama," kata dia.

Ini hanya akan jadi basa-basi dan omong kosong kalau yang dilakukan tidak melakukan pencabutan atau secara besar-besaran merombak ketentuan-ketentuan pidana di dalam undang-undang ITE.

Apa tanggapan DPR?

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR yang juga wakil ketua Fraksi Nasdem di DPR, Willy Aditya, mengatakan masih terbuka peluang revisi Undang-Undang ITE masuk dalam prolegnas prioritas tahun ini.

"Memungkinkan sekali, karena kita bisa masukkan di dalam raker, mungkin akan dilakukan di awal pembukaan masa sidang pada Maret nanti dan kemudian dilihat kalau pemerintah yang mengusulkan itu (revisi) silakan, nanti DPR akan membentuk pansus karena itu lintas komisi," kata Willy.

"Atau juga bisa sebaliknya, karena aspirasi yang berkembang di DPR juga meminta beberapa revisi terhadap undang-undang ITE ini dilakukan oleh beberapa fraksi. Itu juga Baleg bisa mengambil peran sebagai hak inisiatif dari badan legislasi," imbuhnya kemudian.

Ia mengatakan Fraksi Nasdem bersama dengan sejumlah fraksi lain di DPR sudah berulang kali meminta revisi UU ITE.

"Kita harus mengembangkan budaya komunikasi yang positif, tentu perlu perangakat hukum yang adaptif tentang hal itu. Perangkat hukum yang adaptif itu adalah revisi undang-undang ITE sendiri," katanya.

Senada, Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin, menyambut baik revisi UU ITE karena banyaknya pasal karet yang multitafsir.

Politisi Partai Golkar yang termasuk dalam koalisi yang berkuasa di DPR ini mengatakan akibat pasal karet itu banyak warga saling melaporkan pihak yang berseberangan karena masalah kecil di media sosial.

"Masyarakat sudah jenuh dengan pasal pencemaran nama baik dan penghinaan. Itu saja yang kita dengar jika terjadi pelaporan mengatasnamakan UU ITE ribut di media sosial, itu saja yang dipakai seseorang untuk melaporkan ke pihak kepolisian," ujar Azis seperti dikutip dari kantor berita Antara.

Sembilan pasal problematis diusulkan dihapus dan direvisi

SAFEnet yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil mengusulkan sembilan pasal bermasalah dalam Undang-Undang ITE diusulkan untuk dihapus atau direvisi.

Pasal-pasal tersebut menjadi landasan pelaporan demi pelaporan ke kepolisian yang kian menumpuk belakangan ini.

"Pasal 27 ayat 1 sampai pasal 29 kita harapkan itu dihapus dari UU ITE," kata Damar Juniarto dari SAFEnet.

Pasal 27 ayat 1 yang mengatur tentang asusila, kerap digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online.

Sementara, pasal 27 ayat 3 yang mengatur tentang defamasi kerap digunakan untuk represi ekspresi legal warga, aktivis dan jurnalis atau media. Di sisi lain, pasal itu juga kerap digunakan untuk merepresi warga yang mengkritik polisi, pemerintah dan presiden.

Adapun pasal 28 ayat 2 yang mengatur soal ujaran benci, sering digunakan untuk merepresi minoritas agama dan merepresi warga yang mengkritik polisi, pemerintah dan presiden.

Lebih lanjut, pasal 29 yang mengatur soal ancaman kekerasan, kerap dipakai untuk memidana orang yang mau melapor ke polisi.

Selain pasal-pasal di atas, Damar menyebut ada sejumlah pasal bermasalah "yang rentan disalah gunakan" dan "bisa mengganggu kehidupan demokrasi". Karenanya, pasal-pasal ini perlu direvisi.

Misalnya, pasal 36 yang mengatur kerugian, yang kerap dicuplik untuk memperberat hukuman pidana defamasi.

Pasal 40 ayat 2a tentang muatan yang terlarang, kerap menjadi dasar pemutusan koneksi internet untuk mencegah beredarnya hoax atau berita palsu.

Serupa, pasal 40 ayat 2b yang mengatur soal pemutusan akses menjadi penegasan peran pemerintah lebih diutamakan dari putusan pengadilan terkait pemutusan koneksi internet.

Terakhir, pasal 45 ayat 3 yang mengatur tentang ancaman penjara tindakan defamasi, kerap menjadi dasar dari aksi penahanan pada saat penyidikan.

Moratorium kasus ITE

Revisi UU ITE, kata Damar, memiliki nilai penting, yakni untuk mengembalikan "roh UU ITE", yaitu untuk transaksi elektronik.

Betapapun, ia menyadari bahwa proses regulasi undang-undang tidaklah mudah. Ia memprediksi pembahasanya di DPR "akan sangat mungkin alot" seperti pengalaman revisi UU ITE sebelumnya pada 2016.

Kala itu, menurut Damar, tarik menarik kepentingan membuat keputusan politik lebih banyak berperan dalam menentukan revisi UU ITE.

Akibatnya, revisi tahun 2016 tidak membuat UU ITE jauh lebih baik, malah memunculkan pasal-pasal yang tidak dinginkan.

"Memang dalam pembuatan undang-undang itu kita berjudi, kita bisa menjadi memiliki undang-undang yang lebih baik, atau undang-undang yang lebih buruk. Tapi kita berani ambil risiko tersebut dengan harapan bahwa semua orang tahu akar masalahnya agar ruang digital ini diatur lebih baik," ungkap Damar.

Sembari menanti proses revisi UU ITE yang sedang diwacanakan pemerintah, Damar mengatakan yang saat ini perlu dilakukan untuk mengurangi dampak tak diinginkan dari undang-undang tersebut adalah dengan "moratorium kasus ITE".

"Bisa saja caranya seperti yang ditempuh Pak Jokowi, jadi moratoriumnya ada di polisi. Misalnya polisi lebih selektif, atau polisi bisa tidak memproses kasus-kasus UU ITE."

Cara lain, kata Damar, adalah dengan mendorong Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran penghentian kasus-kasus ITE.

"Tanpa itu rasanya susah sekali mengharapkan revisi dalam waktu cepat. Kita bisa meminta lembaga-lembaga itu mulai memikirkan langkah-langkah moratorium yang mungkin," ungkapnya.

Adapun, menyusul imbauan dari Presiden Joko Widodo agar lebih selektif memproses laporan terkait kasus ITE, Kapolri Listyo Sigit Prabowo mengatakan kepolisian akan mengedepankan edukasi, persuasi dan mengupayakan restorative justice.

"Ini juga dalam rangka untuk menjaga agar penggunaan pasal-pasal yang dianggap pasal karet dalam UU ITE ini tentunya berpotensi untuk kemudian digunakan untuk melaporkan atau saling melaporkan, lebih dikenal dengan istilah mengkriminalisasi dengan Undang-Undang ITE ini bisa ditekan dan ke depan penggunaan ruang cyber tetap bisa kita jaga dengan baik," ujar Listyo Sigit.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI