Suara.com - Diplomat negara-negara Barat di Myanmar memperingatkan junta militer bahwa ‘‘dunia sedang mengawasi‘‘ kekerasan yang terjadi di negara itu. Para jenderal militer juga diperingatkan akan dimintai pertanggungjawaban.
Kedutaan besar negara-negara Barat di Myanmar meminta para pemimpin militer untuk ‘‘menahan diri tidak melakukan kekerasan terhadap demonstran‘‘ dan warga sipil, setelah pasukan keamanan mengerahkan kendaraan lapis baja di beberapa kota pada Minggu (14/02).
Kedutaan besar Uni Eropa (UE), Inggris Raya, Kanada dan 11 negara lainnya mengutuk penangkapan para pemimpin politik Myanmar, kekerasan terhadap jurnalis, dan pemutusan akses internet setelah kudeta pada 1 Februari silam.
"Kami mendukung rakyat Myanmar dalam upaya mereka untuk mendapatkan demokrasi, kebebasan, perdamaian dan kemakmuran. Dunia sedang mengawasi," kata pernyataan itu.
Baca Juga: Pantas Gisel Anastasia Kepincut, Ini Fakta Rino Soedarjo Sosok Pengusaha Tampan nan Tajir
Seorang utusan hak asasi manusia PBB untuk Myanmar mengatakan para jenderal militer akan "dimintai pertanggungjawaban" karena melakukan kekerasan dalam menghadapi protes nasional.
"Seolah-olah para jenderal telah menyatakan perang terhadap rakyat Myanmar," tulis Tom Andrews, pelapor khusus PBB untuk Myanmar, di Twitter.
"Ini adalah tanda-tanda keputusasaan. Perhatian kepada para jenderal: Anda akan dimintai pertanggungjawaban."
Pernyataan itu muncul beberapa jam setelah kendaraan militer lapis baja mulai terlihat di kota Yangon untuk pertama kalinya sejak kudeta dua pekan lalu.
Kedutaan besar AS di Myanmar mendesak warga Amerika untuk "berlindung di tempat aman‘‘ seiring dengan pergerakan pasukan militer.
Baca Juga: Kedubes Negara Barat Minta Militer Myanmar Menahan Diri
"Ada indikasi pergerakan militer di Yangon dan kemungkinan gangguan telekomunikasi sepanjang malam antara jam 1 dini hari hingga 9 pagi." Demikian cuit Kedubes AS di Twitter pada Minggu (14/02) malam.
Kedubes AS juga membagikan pernyataan duta besar untuk Myanmar di akun Twitter-nya.
Peringatan itu dikeluarkan di tengah protes anti-kudeta yang terus berlanjut. Pada Minggu (14/02) puluhan ribu orang berkumpul untuk berunjuk rasa.
Kerumunan massa terlihat di hari kedua protes berturut-turut yang berlangsung di depan Kedubes AS di Yangon.
Para demonstran mendukung pengumuman sanksi AS terhadap para pemimpin kudeta.
Tindakan keras militer berlanjut
Sementara itu, pasukan keamanan Myanmar dihadang massa yang marah di ke lokasi pembangkit listrik.
Laporan menyebutkan bahwa pasukan keamanan Myanmar menembaki pengunjuk rasa di luar pembangkit listrik di negara bagian utara Kachin.
"Beberapa menit yang lalu, Tatmadaw (istilah Burma untuk angkatan bersenjata Myanmar) diperkuat dengan tank militer dan sekarang mereka mulai menembaki demonstran," ujar seorang warga yang tak ingin diketahui identitasnya, kepada kantor berita Reuters.
Laporan media lokal menunjukkan bahwa lima jurnalis ditangkap di Myanmar utara setelah insiden tersebut.
"Lima jurnalis yang meliput protes di depan pembangkit listrik Buga di Myitkyina ditangkap," keterangan sebuah postingan Facebook dari The 74 Media, outlet media yang berbasis di kota itu.
Beberapa departemen dari pembangkit listrik di Yangon menyatakan solidaritas terhadap pengunjuk rasa lewat postingan Facebook, dan menolak untuk memutus aliran listrik.
"Tugas kami adalah menyediakan listrik, bukan memutus," kata seorang staf yang tidak mau disebutkan namanya.
Pemutusan akses internet
Pengawas internet Netblocks mengatakan Minggu (14/02) malam bahwa junta Myanmar telah memutus layanan internet di seluruh negeri.
"Pemutusan internet hampir secara total berlaku di Myanmar pada pukul 1 pagi waktu setempat (1830 GMT)," kata Netblocks, platform yang melacak penggunaan internet, gangguan dan keamanan siber.
Netblocks menambahkan bahwa akses yang bisa dilakukan hanya 14% dari kondisi normal pada Minggu (14/02) malam.
Penutupan itu dilakukan tak lama setelah video pasukan keamanan melepaskan tembakan ke beberapa pengunjuk rasa beredar di media sosial.
Militer waspada terhadap pembangkangan sipil
Protes nasional terjadi di Myanmar setelah militer menggulingkan pemimpin yang terpilih secara demokratis Aung San Suu Kyi.
Di tengah protes publik yang berlangsung setiap hari, semakin banyak elemen-elemen di departemen pemerintahan yang bergabung dengan gerakan tersebut.
Menurut media lokal, pengoperasian kereta api di beberapa bagian negara telah terhenti setelah staf menolak bekerja. Richard Horsey, seorang analis yang berbasis di Myanmar untuk International Crisis Group, mengatakan kepada Reuters bahwa operasi kerja di banyak departemen pemerintahan telah terhenti.
"Ini juga berpotensi memengaruhi fungsi vital - militer dapat menggantikan insinyur dan dokter, tetapi tidak dapat menggantikan pengontrol jaringan listrik dan bank sentral," katanya.
Junta militer mengancam akan melakukan tindakan berat terhadap para pegawai negeri yang ikut protes.
Militer melakukan penangkapan massal setiap malam. Pada hari Sabtu (13/02), militer memberikan kekuasaan besar untuk menahan orang dan menggeledah properti.
Panglima Angkatan Darat Min Aung Hlaing telah memperingatkan pegawai negeri sipil yang mogok untuk kembali bekerja.
Rezim baru telah menyiapkan saluran terpusat untuk melaporkan pegawai pemerintah yang bergabung dengan demonstrasi.
Sejauh ini, para jenderal tampak tidak terpengaruh oleh kecaman protes yang meluas dan dari komunitas internasional.
Junta telah mengumumkan keadaan darurat yang akan berlangsung selama satu tahun.
Pemimpin militer telah berjanji untuk mengadakan pemilihan baru, meski tanpa kerangka waktu yang jelas. pkp/rap (Reuters, dpa, AP)