Suara.com - Belakangan ini media sosial diramaikan dengan tagar #mundurlahpaklurah. Hal itu ikut disorot oleh Kolumnis Hersubeno Arief dan Pengamat Politik Rocky Gerung.
"Seru mengamati Medsos, trending topic-nya ramai, Pak JK (Jusuf Kalla) yang takut kritik Pak Presiden Jokowi, Din Syamsuddin dilaporkan GAR ITB, GAR ITB juga jadi trending, satu lagi Mundurlahpaklurah," ujar Hersubeno Arief membuka diskusi, dikutip Suara.com pada Senin (15/2/2021) dari video yang diunggah kanal YouTube Rocky Gerung Official.
"Saya gak tau yang dimaksud lurah mana. Siapa tahu lurah di Sentul," sambungnya tertawa.
Rocky Gerung menimpali dengan membahas sosok 'Pak Lurah' yang menurutnya tidak memiliki kemampuan mengatasi kekacauan emosi rakyat.
Baca Juga: Geger Foto Jokowi dan Abu Janda cs, Rocky Gerung: Buzzer Itu Budak Politik
"Itu kesimpulan yang sudah dibuat orang, daripada bertengkar di Medsos, Pak Lurah kan sudah gak punya kemampuan mengatasi kekacauan emosi rakyat, kekacauan ekonomi, itu solusi yang masuk akal ya itu (mundur). Kalau akalnya sehat ya mundur," kata Rocky Gerung.
Pengamat politik itu menganggap kata-kata pada trending sebagaimana disinggung menjadi bukti bahwa seluruh kalkulasi masyarakat sipil hari-hari ini terbukti.
Rocky Gerung dalam hal ini menyoroti keberadaan buzzer yang belakangan ramai dibahas, pertanyaan Jusuf Kalla(JK) soal cara menyampaikan kritik agar tidak dipolisikan, dan sindiran Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) soal kritikan serta pujian.
"Itu kan semacam sinyal saja bahwa seluruh kalkulasi masyarakat sipil terbukti hari-hari ini, ada buzzer yang masih beroperasi bahkan dibiayai, dirawat, bahkan oleh menteri," ungkap Rocky Gerung.
"Makanya Pak JK akhirnya bicara, kan gak mungkin pak JK gak tahu keadana istana wong dia sudah puluhan tahun di situ. Gak mungkin SBY bicara kalau gak dapat infomasi dari istana. JK dan SBY meninggalkan istana sambil meninggalkan kuping. Tahu lah mereka," sambungnya tegas.
Baca Juga: Mahfud: Jika Ditindak Orang Ribut, Jika Tak Ditindak Juga Orang Ribut
Rocky Gerung kemudian membicarakan soal kritik yang sejatinya perlu dikeluarkan agar muncul pikiran baru.
"Kritik itu bukan soal pedas atau tidak pedas, bermutu atau tidak bermutu, yang sudah bermutu pasti sudah pedas. Kritik harus frontal supaya objeknya menghasilkan pikiran baru. Kalau separuh-separuh, maka plonga-plongo, kritik itu tatap mata orang, beri pendapatmu, ajukan dalilmu baru ada pembicaraan," tukas Rocky Gerung.
"Sebetulnya kita sebut kritik dalam upaya mengurai. Kalau mengurai separuh-separuh itu makin kusut. Itu intinya," imbuhnya.
Lebih lanjut, Rocky Gerung dan Hersubeno Arief mengomentari pernyataan SBY Yang menyamakan kritik dengan obat.
Menurut Rocky Gerung, SBY tengah mengingat periode dia menjabat sebagai presiden yang sampai diolok-olok dengan menyeret kerbau.
"Padahal sebetulnya gak tepat, dulu tahun tikus, mestinya sekarang yang bawa kerbau. Tapi istana sudah gak peduli dengan jenis binatang karena tinggal kenal 1 binatang yaitu kodok," tuturnya.
"Ini satire yang bagus dari SBY bahwa ada racun tapi bisa jadi obat. Bagian ini yang gak dikenali istana dan jubir menteri pengasuh buzzer ini masih mengapa 'gak kami tidak menghina, melakukan profesi' tapi kita tahu bahwa kemampuan kekuasaan itu sangat diandalkan dari perbuzzeran," terang Rocky Gerung melanjutkan.
Pengamat politik itu lalu keras menyebut buzzer yang menghalangi opini publik. Oleh sebab itu, dia menyarankan agar pemerintah membuat SK tutorial cara mengkritik karena belum lama ini Presiden Jokowi minta masyarakat aktif memberi kritik,
"Gimana kalau presiden keluarkan SK tutorial cara mengeluarkan kritik," tandas Rocky Gerung.