Suara.com - Pandemi Covid-19 telah memiliki banyak dampak dalam berbagai aspek kehidupan selama hampir setahun ke belakang. Bagi perempuan dan gender minoritas, kehadiran pandemi justru memberikan beban yang semakin berlapis bagi mereka.
Dalam diskusi bertajuk “Peran Jurnalis dalam Pemberitaan Dampak Pandemi Covid-19 yang Sensitif Gender” yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta pada 9 Februari 2021, Konsultan Isu Gender Tunggal Pawestri pun menjelaskan salah satu dampak yang timbul akibat pandemi adalah meningkat drastisnya angka kekerasan terhadap perempuan.
“Kekerasan berbasis gender meningkat sampai 63 persen, sedangkan kasus kekerasan berbasis gender online naik hampir 300 persen,” jelas Tunggal dalam keterangan pers AJI Jakarta.
“Angka ini bisa menjelaskan dua hal. Pertama, semakin berani orang untuk melaporkan kasusnya. Kedua, bisa juga selama ini memang seperti fenomena gunung es. Jadi kasus yang ada lebih tinggi, tetapi yang tercatat lebih rendah,” ujarnya.
Baca Juga: Selama Masa Pandemi, Provinsi Kaltim Kehilangan Investasi Rp 500 Triliun
Permasalahan ini telah banyak diperbincangkan di media massa. Namun, menurut Peneliti Media dari Remotivi, Purnama Ayu Risky, perbincangan dalam media massa masih bersifat tunggal dan sporadis. Selain itu, masih terdapat sejumlah masalah dalam pemberitaannya.
“Pemberitaan di media masih menyimpan segudang masalah, mulai dari validasi informasi yang buruk; inkonsistensi penggunaan diksi yang tak berperspektif penyintas,” ungkap Ayu.
Ayu pun menilai ada setidaknya tiga pendekatan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi ini. Pertama, media perlu menawarkan solusi struktural atau lebih menyeluruh.
Kedua, media tak bisa berhenti hanya dengan mengutip perkataan narasumber, tapi memberi konteks utuh dan penjelasan lebih lanjut. Terakhir, jurnalisme harus ambil bagian menjadi sarana pendidikan gender.
Evi Mariani selaku jurnalis senior isu kekerasan seksual pun menjelaskan bahwa para jurnalis, maupun media, perlu menyadari keistimewaan akses yang mereka memiliki untuk turut andil dalam perubahan kondisi ini.
Baca Juga: Catat! Inilah SE Baru Satgas COVID-19 Tentang Perjalanan Internasional
“Perlu disadari bahwa situasinya tidak adil untuk perempuan. Turut andil ini ini dilakukan dengan tetap menggunakan cara-cara jurnalistik, mematuhi kode etik dan UU Pers yang ada,” tegas Evi.
Evi juga menjelaskan pentingnya bagi media massa dan wartawan untuk menggunakan perspektif korban dalam peliputan isu kekerasan seksual. Dalam proses peliputannya, korban juga perlu untuk mengetahui konsekuensi-konsekuensi yang akan diterimanya, serta secara sadar menyetujui untuk diberitakan.
“Jika dia mendadak menolak, ya sudah hormati pilihannya,” ujar Evi.
Sementara itu, Anggota Dewan Pers Asep Setiawan juga menjelaskan bahwa saat ini, memang banyak peristiwa atau kasus kekerasan seksual yang diberikan secara tidak tepat. Menurutnya, wartawan perlu menyadari bahwa masalah kekerasan seksual adalah bagian dari pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
“Peristiwa kemanusiaan [termasuk pelanggaran HAM] perlu pendekatan professional dari wartawan,” kata Asep.
Dalam sambutannya, Sekretaris AJI Jakarta Afwan Purwanto mengharapkan peserta diskusi bisa menjadi agen pemberitaan sensitif gender di redaksi, agar kualitas pemberitaan semakin baik. Termasuk tentunya, melindungi para jurnalis dari kasus kekerasan berbasis gender yang hasil surveinya pernah dirilis oleh AJI Jakarta.