Suara.com - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai kasus kematian enam laskar Front Pembela Islam (FPI) sulit dibawa ke pengadilan internasional. Sebab, Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma.
Hal itu disampaikan oleh Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Muhammad Isnur dalam diskusi daring bertajuk 'Menimbang Peluang Pengadilan Internasional Usut Peristiwa KM 50' pada Senin (8/2/2021).
Menurut Isnur, kasus kematian enam laskar pengawal Habib Rizieq Shihab itu hanya akan bisa dibawa ke pengadilan internasional apabila Indonesia telah meratifikasi Statuta Roma.
"Kalau menggunakan mekanisme ini (pengadilan internasional) agak berat. Karena harus meratifikasi dulu," kata Isnur.
Baca Juga: Sebut Tragedi 6 Laskar FPI Pelanggaran HAM Berat, Pengacara: Tersistematis!
Isnur mengungkapkan bahwa pihaknya sempat mendorong pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Statuta Roma. Hanya saja hingga kekinian hal tersebut belum terealisasi.
Menurut Isnur, pengadilan internasional sendiri hanya dapat mengadili perkara pelanggaran HAM berat seperti genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi.
"Indonesia tahun 2000 membentuk pengadilan HAM. Indonesia hanya adopsi dua hal saja. Kalau di Roma Satuta ada empat, di indonesia hanya dua, yaitu genosida dan kejahatan kemanusiaan," bebernya.
Tim advokasi enam laskar FPI sebelumnya mengklaim telah melaporkan peristiwa berdarah di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek ke Pengadilan Kriminal Internasional atau International Criminal Court (ICC). Laporan itu dilayangkan ke Office of The Presecutor ICC pada 19 Januari 2021 lalu.
Baca Juga: Listyo jadi Kapolri, Busyro Soroti Kekerasan Polisi Termasuk 6 Laskar FPI