Kisah Para Perempuan Uighur di Kamp

SiswantoBBC Suara.Com
Jum'at, 05 Februari 2021 | 15:50 WIB
Kisah Para Perempuan Uighur di Kamp
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Para perempuan Uighur telah diperkosa dan disiksa secara sistematis di kamp "pendidikan ulang" yang didirikan pemerintah China, menurut penuturan langsung sejumlah korban yang diperoleh BBC.

Peringatan: Rincian penuturan sejumlah perempuan mungkin dapat membuat Anda terganggu.



Pria-pria tersebut selalu mengenakan masker walaupun saat itu pandemi belum melanda, kata Tursunay Ziawudun, salah seorang perempuan Uighur.

Mereka memakai setelan resmi, namun bukan seragam polisi.

Baca Juga: Laporan tentang Pemerkosaan Wanita Uighur di Kamp China Bikin AS Gelisah

Mereka kadang datang ke sel-sel lewat tengah malam untuk memilih perempuan yang mereka inginkan dan membawanya melewati lorong menuju ke sebuah "kamar gelap", yang tidak ada kamera pengawas.

Selama beberapa malam, menurut Ziawudun, para pria ini menyekapnya.

"Mungkin ini adalah luka yang tidak akan pernah saya lupakan selamanya," kata Ziawudun.

"Saya bahkan tidak ingin menceritakan kisah ini langsung dari mulut saya."


Tursunay Ziawudun menghabiskan waktu selama sembilan bulan di dalam sebuah kamp rahasia yang luas di wilayah Xinjiang, China.

Baca Juga: Bukti Baru Etnis Uighur Kerja Paksa di Ladang Kapas Xinjiang, China

Berdasarkan estimasi independen, lebih dari satu juta pria dan perempuan ditahan di kamp-kamp yang disebut China sebagai "tempat pendidikan ulang" bagi orang-orang Uighur dan etnik minoritas lainnya.

Kelompok hak asasi manusia mengatakan pemerintah China secara bertahap mencabut kebebasan beragama dan kebebasan lainnya dari orang Uighur, yang berujung pada sistem pengawasan massal, penahanan, indoktrinasi, dan bahkan sterilisasi paksa.

Kebijakan tersebut berasal dari Presiden China, Xi Jinping, yang mengunjungi Xinjiang pada tahun 2014 setelah serangan teror separatis Uighur.

Tak lama kemudian, menurut rangkaian dokumen yang bocor ke New York Times, dia memerintahkan pihak berwenang setempat untuk mengatasinya "benar-benar tanpa ampun".

Bulan lalu, pemerintah AS mengatakan bahwa tindakan China merupakan aksi genosida. China mengatakan berbagai laporan tentang penahanan massal dan sterilisasi paksa merupakan "kebohongan dan tuduhan tidak masuk akal".

Mengalami penyiksaan dan pemerkosaan

Orang-orang yang menjadi sumber informasi dari dalam kamp tahanan memang jarang ditemui.

Namun, ada beberapa mantan tahanan dan mantan seorang penjaga tahanan mengatakan kepada BBC bahwa mereka mengalami atau melihat bukti terjadinya pemerkosaan massal, pelecehan seksual, dan penyiksaan secara terorganisir.

Tursunay Ziawudun, yang melarikan diri dari Xinjiang setelah dibebaskan dan kini berada di Amerika Serikat, mengatakan para perempuan tersebut dikeluarkan dari sel "setiap malam" dan diperkosa oleh satu pria China atau lebih yang menggunakan penutup wajah.

Dia mengaku dirinya disiksa dan kemudian diperkosa beramai-ramai sebanyak tiga kali. Setiap kali terjadi, dua atau tiga pria melakukan perbuatan itu.

Ziawudun sebelumnya sudah mengungkapkan kepada media, namun hanya media dari Kazakhstan, di mana dia "ketakutan dipulangkan lagi ke China", katanya.

Dia yakin jika dirinya mengungkap kekerasan seksual yang dia lihat dan alami, kemudian dipulangkan ke Xinjiang, dia bakal dikenai hukuman lebih berat dari sebelumnya. Dan dia merasa malu, tuturnya.



Mustahil untuk memverifikasi penuturan Ziawudun sepenuhnya karena China menerapkan aturan ketat bagi para wartawan di negara itu. Namun dokumen perjalanan dan catatan imigrasi yang dia berikan kepada BBC menguatkan kisahnya.

Gambaran Ziawudun tentang kamp di daerah Xinyuan - dikenal oleh kaum Uighur sebagai daerah Kunes - sesuai dengan citra satelit yang dianalisis oleh BBC.

Uraiannya tentang kehidupan sehari-hari di dalam kamp, serta cara dan metode pelecehan, juga sesuai dengan laporan lainnya yang diungkapkan para mantan tahanan.

Dokumen internal dari sistem peradilan daerah Kunes dari 2017 dan 2018, diberikan kepada BBC oleh Adrian Zenz, seorang peneliti kebijakan China di Xinjiang.

Dokumen ini berisi rencana terperinci dan pengeluaran yang dihabiskan untuk "transformasi lewat pendidikan" terhadap "kelompok-kelompok utama" - eufemisme umum di China untuk indoktrinasi kaum Uighur.

Dalam salah satu dokumen Kunes, proses "pendidikan" ini digambarkan sebagai sebuah proses "mencuci otak, membersihkan hati, memperkuat kebenaran dan melenyapkan kejahatan".

Bertugas membantu menyekap para tahanan perempuan

BBC juga mewawancarai seorang perempuan Kazakh dari Xinjiang yang ditahan selama 18 bulan di kamp tersebut.

Dia mengklaim dirinya dipaksa menelanjangi perempuan-perempuan Uighur dan memborgol mereka, kemudian meninggalkan mereka dengan para pria China. Setelah itu, dia membersihkan kamar, katanya.

"Tugas saya adalah melucuti pakaian mereka dari atas pinggang dan memborgol mereka sehingga mereka tidak bisa bergerak," tutur Gulzira Auelkhan, sembari menyilangkan pergelangan tangannya di belakang kepala untuk memperagakan.

"Lalu saya meninggalkan perempuan-perempuan itu di kamar dan seorang pria akan masuk - beberapa pria China dari luar atau polisi. Saya duduk dan diam di balik pintu, dan ketika pria itu meninggalkan kamar, saya mengantar perempuan itu untuk mandi."

Pria-pria China itu "akan memberi uang untuk memilih narapidana paling cantik dan muda," katanya.

Beberapa mantan tahanan di kamp tersebut menggambarkan bahwa mereka dipaksa untuk membantu penjaga atau menghadapi hukuman.

Auelkhan mengatakan dia tidak berdaya untuk melawan atau menghalangi.

Ketika ditanya apakah ada sistem perkosaan yang terorganisir, dia mengatakan: "Ya, itu pemerkosaan."

"Mereka memaksa saya masuk ke kamar itu," katanya. "Mereka memaksa saya menelanjangi para perempuan tersebut dan menahan tangannya lantas keluar dari kamar."

Beberapa perempuan yang dikeluarkan dari sel saat malam hari, menurut Ziawudun, tidak pernah kembali lagi. Sedangkan yang dipulangkan kembali ke dalam tahanan, diancam untuk tidak berbicara apapun kepada tahanan lainnya tentang apa yang telah terjadi pada mereka.

"Anda tidak bisa memberi tahu siapa pun apa yang terjadi, yang Anda lakukan hanya berbaring diam-diam," katanya. "Mereka memang bermaksud untuk menghancurkan semangat setiap orang."

Kepada BBC, Zenz menuturkan bahwa berbagai kesaksian yang dihimpun dalam kisah ini adalah "bukti paling mengerikan yang pernah dia lihat sejak kekejaman dimulai".

"Kejadian ini semakin menegaskan apa yang telah kita dengar sebelumnya," katanya. "Hal ini juga semakin menguatkan bukti terperinci tentang pelecehan dan penyiksaan seksual pada tingkat yang jelas lebih besar dari yang kami duga."



Penyiksaan tiada henti

Orang-orang Uighur adalah kelompok minoritas Turki yang sebagian besar beragama Islam. Populasi mereka mencapai sekitar 11 juta jiwa di Xinjiang, barat laut China.

Wilayah itu berbatasan dengan Kazakhstan dan juga rumah bagi etnis Kazakh. Ziawudun, 42 tahun, adalah orang Uighur. Suaminya adalah seorang Kazakh.

Pasangan itu kembali ke Xinjiang pada akhir 2016 setelah tinggal selama lima tahun di Kazakhstan. Mereka diinterogasi pada saat kedatangan dan paspor mereka disita, kata Ziawudun.

Beberapa bulan kemudian, dia diberitahu oleh polisi untuk menghadiri pertemuan bersama warga Uighur dan Kazakh lainnya. Kelompok itu lantas ditangkap dan ditahan.

Masa awal penahanannya relatif mudah, katanya, dengan akses telepon dan makanan yang layak.

Setelah sebulan dia menderita sakit maag dan dibebaskan. Paspor suaminya dikembalikan dan dia kembali ke Kazakhstan untuk bekerja, tetapi pihak berwenang menyimpan paspor Ziawudun, menjebaknya di Xinjiang.

Berbagai laporan menyebut, China sengaja menahan para kerabat orang Uighur agar mereka tidak bersuara. Pada 9 Maret 2018, ketika suaminya masih di Kazakhstan, Ziawudun mengaku diperintahkan untuk melapor ke kantor polisi setempat.

Dia diberitahu bahwa dia membutuhkan "pendidikan lebih lanjut".

Sebagaimana diceritakannya, dia diangkut kembali ke kamp dirinya ditahan sebelumnya di daerah Kunes, namun tempat tersebut sudah mengalami perkembangan, katanya.

Bus-bus berjejer di luar kamp dan "tak henti-hentinya" menurunkan tahanan-tahanan baru.

Perhiasan para perempuan tersebut disita. Anting-anting Ziawudun direnggut, kata dia, sehingga telinganya berdarah. Dia digiring ke sebuah ruangan dengan sekelompok perempuan lainnya.

Di antara mereka ada seorang perempuan tua yang nantinya akan berteman dengan Ziawudun.

Para penjaga kamp melucuti hijab perempuan tua tersebut, kata Ziawudun, dan meneriakinya karena mengenakan gaun panjang.

"Mereka melucuti semua pakaian perempuan tua itu, hingga dia hanya memakai celana dalam. Dia sangat malu sehingga dia mencoba menutupi dirinya dengan lengannya," kata Ziawudun.

"Saya menangis menyaksikan cara mereka memperlakukannya. Tangisnya seperti hujan."



Para perempuan itu diperintahkan untuk menyerahkan sepatu dan pakaian mereka, kata Ziawudun, lalu digiring ke blok-blok tahanan.

Tidak banyak yang terjadi selama satu atau dua bulan pertama. Mereka dipaksa untuk menonton berbagai program propaganda di dalam tahanan dan rambut mereka dipangkas dengan paksa.

Lalu polisi mulai menginterogasi Ziawudun tentang suaminya yang tidak hadir, katanya, lantas dia didorong hingga jatuh ke lantai karena melawan dan bagian perutnya juga ditendang.

"Sepatu bot polisi itu keras sekali dan berat, jadi awalnya saya pikir dia memukuli saya dengan sesuatu," katanya. "Kemudian saya menyadari bahwa dia menginjak-injak perut saya. Saya hampir pingsan - saya merasa bagian perut saya panas."

Seorang dokter kamp memberitahunya bahwa dia mungkin mengalami pembekuan darah. Ketika teman-teman satu selnya meminta aparat memperhatikan bahwa dia mengalami pendarahan, para penjaga menjawab normal bagi perempuan mengalami pendarahan, kata Ziawudun.

Menurut Ziawudun, setiap sel dihuni 14 perempuan, dengan ranjang susun, jeruji di jendela, baskom, dan toilet jongkok. Ketika pertama kali dia melihat para perempuan dibawa keluar sel malam hari, dia tidak paham mengapa itu terjadi. Dia mengira mereka dipindahkan ke tempat lain.



Lalu pada suatu hari di bulan Mei 2018 - "Saya tidak ingat tanggal pastinya, karena Anda tidak ingat tanggal berapa di dalam sel" - Ziawudun dan teman satu selnya, seorang perempuan berusia 20-an tahun, dibawa keluar pada malam hari dan diserahkan kepada seorang pria China yang memakai masker wajah, katanya. Teman satu selnya dibawa ke ruang terpisah.

"Begitu dia masuk, dia mulai berteriak," kata Ziawudun. "Saya tidak tahu bagaimana menjelaskan kepada Anda, saya pikir mereka menyiksanya. Saya tidak pernah berpikir bahwa mereka memperkosanya."

Perempuan yang membawa mereka kembali ke dalam sel memberitahu pria-pria tersebut bahwa Ziawudun mengalami pendarahan baru-baru ini.

"Setelah perempuan itu melaporkan soal kondisi saya, pria China itu mengumpat padanya. Pria bertopeng itu berkata, 'Bawa dia ke kamar gelap'.

"Lantas perempuan itu membawa saya ke sebuah ruangan di sebelah gadis lainnya dibawa masuk. Mereka membawa tongkat listrik, saya tidak tahu apa itu, dan tongkat itu didorong ke dalam alat kelamin saya, menyiksa saya dengan sengatan listrik."

Penyiksaan terhadap Ziawudun pada malam pertama di kamar gelap itu akhirnya usai, katanya, dan dia dikembalikan lagi ke dalam sel.

Kira-kira satu jam kemudian, teman satu selnya dibawa kembali.

"Gadis itu jadi berbeda, dia tidak mau berbicara dengan siapa pun, dia hanya duduk diam menatap seolah-olah dalam keadaan kesurupan," kata Ziawudun. "Banyak orang di dalam sel itu yang kehilangan akal sehatnya."



Di antara deretan sel itu terdapat ruang-ruang kelas. Para guru didatangkan untuk "mendidik kembali" para tahanan - sebuah proses yang menurut para aktivis dirancang untuk menghilangkan budaya, bahasa, dan agama kaum Uighur dan etnik minoritas lainnya. Proses tersebut mengindoktrinasi mereka ke dalam budaya arus utama China.

Qelbinur Sedik, seorang perempuan Uzbek dari Xinjiang, termasuk di antara sejumlah guru bahasa Mandarin yang dibawa ke kamp dan dipaksa memberikan pelajaran kepada para tahanan. Sedik sendiri sudah meninggalkan China dan berbagi tentang pengalamannya kepada semua orang.

Kamp perempuan "diawasi dengan ketat", kata Sedik kepada BBC. Tapi dia mendengar cerita - tanda-tanda dan rumor pemerkosaan. Suatu hari, Sedik dengan hati-hati mendekati seorang polwan China yang dia kenal di kamp.

"Saya bertanya kepadanya, 'Saya sudah mendengar beberapa cerita mengerikan tentang pemerkosaan, apakah Anda tahu tentang itu?' Dia lantas mengajak saya makan siang di halaman belakang sambil mengobrol.

"Lalu saya pun pergi ke halaman belakang, di sana tidak ada kamera pengawas. Dia berkata 'Ya, pemerkosaan telah menjadi budaya. Pemerkosaan itu dilakukan beramai-ramai dan polisi China tidak hanya memperkosa mereka tetapi juga menyetrum mereka. Mereka menjadi sasaran penyiksaan yang mengerikan'," kata Sedik mengulang perkataan polwan tersebut.

Malam itu Sedik tidak tidur sama sekali. "Saya memikirkan putri saya yang belajar di luar negeri dan saya menangis sepanjang malam."



Dalam kesaksian terpisah kepada Uyghur Human Rights Project, Sedik mengatakan dia mendengar tentang tongkat listrik yang dimasukkan ke dalam organ perempuan untuk menyiksa mereka - seperti pengalaman yang pernah dikisahkan Ziawudun.

Ada "empat jenis sengatan listrik", kata Sedik - "kursi, sarung tangan, helm, dan pemerkosaan di bagian anal dengan tongkat".

"Jeritannya terdengar hingga ke seluruh gedung. Saya bisa mendengarnya saat makan siang dan kadang-kadang saat saya di kelas."

Seorang guru lainnya yang dipaksa bekerja di kamp, Sayragul Sauytbay, mengatakan kepada BBC bahwa "pemerkosaan adalah hal biasa" dan para penjaga "memilih gadis dan perempuan muda yang mereka inginkan dan membawanya pergi".

Dia menyaksikan seroang perempuan usia antara 20 dan 21 tahun diperkosa beramai-ramai di depan 100 tahanan lainnya untuk memaksa mereka mengaku.

Setelah itu, di depan semua orang, polisi bergantian memperkosanya," kata Sauytbay.

"Selagi melakukan perbuatan ini, mereka mengamati tahanan dari jarak dekat dan menarik siapapun yang melawan, mengepalkan tinju, memejamkan mata, atau melihat ke arah lain. Mereka dibawa untuk dihukum."

Sementara itu, para perempuan muda ini menangis meminta tolong, kata Sauytbay.

"Benar-benar mengerikan," ujarnya. "Saya merasa sudah mati. Saya sudah mati."



Tidak diberi jatah makanan jika gagal menghapal

Di kamp di Kunes, hari-hari Ziawudun berlalu menjadi berminggu-minggu lalu berbulan-bulan. Rambut para tahanan dipotong, mereka pergi ke kelas, menjalani tes medis yang tidak dapat dijelaskan, minum pil, dan disuntik paksa setiap 15 hari dengan "vaksin" yang menyebabkan mual dan mati rasa.

Para perempuan dipaksa memasang KB spiral atau disterilkan, kata Ziawudun, termasuk perempuan yang baru berusia sekitar 20 tahun.

Sterilisasi paksa terhadap orang Uighur telah meluas di Xinjiang, menurut penyelidikan baru-baru ini oleh Associated Press. Pemerintah China mengatakan kepada BBC bahwa tuduhan itu "sama sekali tidak berdasar"

Selain intervensi medis, para tahanan di kamp Ziawudun menghabiskan waktu selama berjam-jam menyanyikan lagu-lagu patriotik Tiongkok dan menonton program acara patriotik di TV tentang Presiden China Xi Jinping, katanya.

"Saya lupa memikirkan kehidupan di luar kamp. Saya tidak tahu apakah mereka mencuci otak kami atau apakah itu efek samping dari suntikan dan pil, tetapi saya tidak dapat memikirkan apa pun selain berharap perut kenyang. Kekurangan makanan di sana parah. "

Para tahanan tidak akan mendapat jatah makanan jika mereka tidak bisa menghapal bagian-bagian dari beragam buku tentang Xi Jinping secara akurat, menurut seorang mantan penjaga kamp yang berbicara kepada BBC melalui tautan video dari sebuah negara di luar China.

"Suatu kali kami membawa orang-orang yang ditangkap ke kamp konsentrasi, dan saya melihat semua orang dipaksa untuk menghapal buku-buku itu. Mereka duduk berjam-jam mencoba menghafal teks, setiap orang memiliki buku di tangan mereka," katanya.

Mereka yang gagal dalam ujian, menurut mantan penjaga kamp, dipaksa memakai tiga warna pakaian berbeda tergantung apakah mereka gagal satu, dua, atau tiga kali. Mereka kemudian dikenakan berbagai tingkat hukuman yang sesuai, termasuk dipukul dan tidak diberi jatah makanan.

"Saya memasuki kamp-kamp itu. Saya membawa para tahanan ke kamp-kamp itu," katanya. "Saya melihat orang-orang itu sakit dan sengsara. Mereka pasti mengalami berbagai jenis penyiksaan. Saya yakin tentang itu."



Tidak mungkin untuk memverifikasi kesaksian penjaga secara independen, tetapi dia memberikan dokumen yang tampaknya menguatkan masa kerjanya di kamp tersebut. Dia setuju untuk berbicara tapi namanya disembunyikan.

Penjaga itu mengatakan dia tidak tahu apapun tentang pemerkosaan di area sel. Ditanya apakah penjaga kamp menggunakan sengatan listrik, dia berkata: "Ya. Mereka melakukannya. Mereka menggunakan instrumen setrum itu."

Setelah disiksa, para tahanan dipaksa untuk membuat pengakuan atas berbagai pelanggaran, menurut penjaga tersebut. "Pengakuan-pengakuan itu saya simpan di hati," katanya.

Foto serta semboyan-semboyan Presiden Xi menghiasi dinding-dinding sel. Dia menjadi pusat dari program "pendidikan ulang".

Xi adalah arsitek kebijakan terhadap kaum Uighur, kata Charles Parton, mantan diplomat Inggris di China dan kini menjadi peneliti senior di Royal United Services Institute.

"Kebijakan ini sangat terpusat dan langsung ke puncak pimpinan. Tak diragukan lagi bahwa ini adalah kebijakan Xi Jinping." kata Parton.

Menurut Parton, Xi atau pejabat tinggi partai lainnya mungkin tidak mengarahkan atau mengizinkan pemerkosaan atau penyiksaan, kata Parton. Tetapi mereka "pasti mengetahuinya".

"Saya pikir mereka hanya menutup mata. Perintah sudah dikeluarkan untuk menerapkan kebijakan ini dengan sangat tegas, dan itulah yang terjadi."

Hal tersebut membuat "tidak ada pembatasan". "Saya tidak melihat bahwa para pelaku perbuatan ini akan menahan diri".

Berdasarkan pemaparan Ziawudun, para pelaku ini memang tidak mengekang diri.

"Mereka tak hanya memperkosa tetapi juga menggigit seluruh tubuh, saya tidak tahu apakah mereka manusia atau hewan," katanya sambil mengusap air matanya dengan tisu dan terdiam untuk menenangkan diri.

"Mereka tidak menyisakan bagian tubuh, mereka menggigit di mana-mana meninggalkan bekas yang mengerikan. Sangat menjijikkan untuk dilihat.

"Saya sudah mengalaminya tiga kali. Dan bukan hanya satu orang saja yang menyiksa, bukan hanya satu predator. Setiap kali menyiksa, mereka terdiri dari dua atau tiga orang."

Ada seorang perempuan yang tidur di sebelah Ziawudun di dalam sel, yang ditahan karena melahirkan terlalu banyak anak. Dia menghilang selama tiga hari dan ketika dia kembali tubuhnya dipenuhi dengan bekas luka yang sama, kata Ziawudun.

"Dia sampai tidak bisa berkata apapun, dia memeluk saya dan menangis tersedu-sedu."

Pemerintah China tidak menanggapi langsung pertanyaan dari BBC tentang tuduhan pemerkosaan dan penyiksaan. Dalam sebuah pernyataan, seorang juru bicara mengatakan kamp-kamp di Xinjiang bukanlah kamp penahanan tetapi "pusat pendidikan dan pelatihan kejuruan".

"Pemerintah China melindungi hak dan kepentingan semua etnis minoritas secara setara," kata juru bicara itu, seraya menambahkan bahwa pemerintah "sangat mementingkan perlindungan hak-hak perempuan".



Ziawudun dibebaskan pada Desember 2018 bersama dengan orang lain yang memiliki pasangan atau kerabat di Kazakhstan - perubahan kebijakan yang masih belum sepenuhnya dia pahami.

Negara mengembalikan paspornya dan dia melarikan diri ke Kazakhstan. Kemudian, dengan dukungan dari Uyghur Human Rights Projectr, dia bertolak ke AS.

Dia mengajukan permohonan untuk tinggal di sana. Kini dia tinggal di pinggiran kota yang tenang tidak jauh dari Washington DC bersama pemilik rumah dari komunitas Uighur setempat.

Kedua wanita itu memasak bersama dan berjalan-jalan di sekitar rumah. Saat berada di dalam rumah Ziawudun meredupkan nyala lampu karena ketika di kamp tahanan dia disoroti lampu terang.

Seminggu setelah dia tiba di AS, dia menjalani operasi pengangkatan rahimnya - akibat diinjak-injak di kamp. "Saya kehilangan kesempatan untuk menjadi seorang ibu," katanya. Dia ingin suaminya ikut dengannya di AS. Untuk saat ini, dia berada di Kazakhstan.

Beberapa saat setelah dibebaskan, sebelum dia bisa kabur, Ziawudun menunggu di Xinjiang. Dia melihat yang lainnya sudah dibebaskan. Dia melihat pengaruh kebijakan itu terhadap rakyat. Tingkat kelahiran di Xinjiang anjlok dalam beberapa tahun terakhir, menurut penelitian independen - efek yang oleh para analis digambarkan sebagai "genosida demografis".

Banyak yang kecanduan alkohol, kata Ziawudun. Beberapa kali, dia melihat bekas teman satu selnya pingsan di jalan— perempuan muda yang diambil dari sel pada malam pertama, yang berteriak di ruang sebelah.

Perempuan itu sudah kecanduan alkohol, kata Ziawudun - dia "seperti orang yang hidup segan dan habis oleh perkosaan".

"Mereka mengatakan orang-orang dibebaskan, tapi menurut saya semua orang yang meninggalkan kamp itu sudah habis."

Dan itu, katanya, memang sudah direncanakan. Pengawasan, penahanan, indoktrinasi, dehumanisasi, sterilisasi, penyiksaan, pemerkosaan.

"Tujuannya menghancurkan semua orang. Dan semua orang tahu itu."

Foto-foto karya Hannah Long-Higgins

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI