Suara.com - Kuasa hukum Jumhur Hidayat -- terdakwa kasus penyebaran berita bohong atau hoaks -- terus berupaya menghadirkan kliennya dalam ruang sidang. Sejak sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan, Jumhur hanya hadir secara virtual melalui sambungan Zoom dari Rutan Bareskrim Polri.
Oky Wiratama, salah satu pengacara Jumhur mengatakan, pihaknya sempat menanyakan permohonan tersebut pada majelis hakim saat sidang tadi. Pasalnya, banyak sekali kendala yang terjadi ketika pentolan KAMI itu hanya hadir secara virtual.
"Karena seperti yang teman-teman lihat, sangat kesulitan kan terdakwa untuk mendengar siapa yang berbicara, dan itu juga menyulitkan kami selaku kuasa hukum, dalam pembelaan," kata Oky di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Oky mengatakan, selama Jumhur tidak dihadirkan di ruang sidang, proses pembelaan terhadap kliennya tidak dapat berjalan secara maksimal. Di sisi lain, majelis hakim hingga kini belum memberi kejelasan terkait permohonan tersebut.
Baca Juga: Kasus Hoaks, Jaksa Minta Hakim Tolak Eksepsi Jumhur Hidayat
"Karena kami tidak bisa maksimal kalau terdakwa tidak bisa dihadirkan langsung ke persidangan. Namun tadi majelis hakim belum memutuskan untuk meng-iyakan atau tidak. Keputusannya nanti minggu depan," sambungnya.
JPU Minta Hakim Tolak Eksepsi Jumhur
Jaksa Penuntut Umum (JPU) meminta majelis hakim untuk menolak nota keberatan atau eksepsi yang dilayangkan oleh Jumhur Hidayat. Dalam jawaban atas eksepsi Jumhur, JPU meminta agar majelis hakim untuk menerima surat dakwaan terhadap Jumhur. Tentunya, dakwaan tersebut juga diklaim telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang.
"Menetapkan bahwa seluruh eksepsi yang diajukan penasehat hukum terdakwa Jumhur Hidayat ditolak, setidak-tidaknya tidak dapat diterima," kata JPU di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Sejurus dengan hal tersebut, JPU juga meminta agar majelis hakim melanjutkan perkara ini pada tahap berikutnya. Dengan demikian, persidangan akan kembali dilanjutkan pada Kamis (11/2/2021) pekan depan dengan agenda putusan sela.
Baca Juga: Klaim Teliti Susun Dakwaan, Jaksa: Keberatan Terdakwa Jumhur Tak Beralasan
Poin Jawaban JPU
Dalam jawabannya, JPU mengurai satu persatu poin-poin eksepsi yang dibacakan oleh kuasa hukum Jumhur pada sidang pekan lalu. Poin tersebut adalah surat dakwaan yang tidak sah, penangkapan serta penahanan terhadap Jumhur cacat secara formil, dan serta dakwaan JPU dinilai tidak cermat.
Mengenai surat dakwaan yang tidak sah, JPU mengklaim telah meminta pada Ketua Majelis Hakim untuk melakukan perubahan dakwaan yang kemudian disetujui oleh Ketua Majelis Hakim. Bahkan, persetujuan itu sudah terjadi sebelum dakwaan terhadap Jumhur dibacakan dalam sidang perdana.
"Dengan demikian dalil Penasehat Hukum terdakwa terkait dengan surat dakwaan tidak sah karena JPU mengubah surat dakwaan tanpa permohonan ke Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak dapat diterima dan harus dikesampingkan," kata JPU.
Mengenai dalil penangkapan serta penahanan terhadap Jumhur cacat secara formil, JPU mengklaim jika penyidikan telah dilakukan sesuai ketentuan hukum. Tentunnya, lanjut JPU, upaya pemeriksaan hingga penahanan terhadap Jumhur sudah merujuk pada KUHAP.
"Dan selama penyidik melakukan kewenangannya tersebut tidak keberatan baik dari terdakwa maupun Penasehat Hukumnya," sambung JPU.
Untuk itu, JPU juga meminta agar majelis hakim tidak menerima keberatan kubu Jumhur mengenai hal itu. Pasalnya, keberatan kuasa hukum tidak mempunyai alasan yang masuk akal.
"Dan kami mohon Majelis Hakim untuk tidak menerima dan mengesampingkannya," papar JPU.
Tak hanya itu, JPU juga mengklaim jika surat dakwaan terhadap Jumhur sudah cermat. JPU mengatakan, dakwaan telah disusun dengan memperhatikan unsur pasal yang didakwakan.
"Dakwaan tersebut kami susun secara teliti, penerapan hukumnya sudah tepat karena unsur dan pasal yang didakwaan telah sesuai dengan uraian perbuatan terdakwa dapat dipertanggungjawabkan," kata JPU.
Tak hanya itu, JPU mengklaim bahwa surat dakwaan telah disusun berdasarkan hasil penyidikan yang sah. Pasalnya, dakwaan disusun secara jelas dengan menyebutkan fakta dari rangkaian peristiwa serta peran Jumhur dalam melakukan tindak pidana.
"Dengan demikian, keberatan penasihat hukum terdakwa, tidak beralasan dan karenanya kami mohon majelis hakim untuk mengesampingkan dan menolak keberatan penasehat hukum terdakwa," sambungnya.
Sebar Hoaks
Sebelumnya, Jumhur didakwa dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong atau hoaks yang menimbulkan keonaran melalui cuitannya di Twitter soal UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Lewat cuitanya itu, Jumhur juga dianggap membuat masyarakat menjadi berpolemik. Hal tersebut berimbas kepada aksi unjuk rasa pada 8 Oktober 2020 di Jakarta dan berakhir ricuh.
Dalam dakwaan itu, Jumhur dijerat dengan dua pasal alternatif. Pertama, dia dijerat Pasal 14 ayat (1) jo Pasal 15 Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 1946 KUHP atau Pasal 45A ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) Undang-undang RI nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan dari UU RI nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.