Suara.com - Militer Myanmar mendapat perlawanan dari rakyat, setelah melakukan kudeta awal pekan ini. Dalam kudeta itu, militer juga menahan Kanselir Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint serta anggota kabinet.
Perlawanan rakyat itu ditunjukkan dengan aksi-aksi massa di jalanan meski militer menerjunkan pasukan serta menerapkan jam malam.
Aksi-aksi rakyat itu didominasi secara teaterikal, yakni memukul panci dan wajar, serta membunyikan klakson mobil.
Petugas kesehatan di sejumlah kota besar juga merencanakan mogok kerja, sedangkan para aktivis menyerukan aparat sipil negara menolak bekerja untuk pemerintahan yang baru.
Baca Juga: Ada Kudeta Militer, Dua Pabrik Mobil Suzuki di Myanmar Berhenti Produksi
Namun sepertinya kontrol militer sangat kuat.
Seruan untuk membebaskan pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi bergema di Myanmar, yang hingga kini tidak diketahui keberadaannya sejak penangkapan pada Senin (01/02) dini hari.
Bersamaan dengan penahanan Suu Kyi, lebih dari 100 anggota parlemen ditahan oleh militer di akomodasi mereka di ibu kota, Nay Pyi Taw. Kini, sebagian dari mereka dikabarkan telah dibebaskan.
Militer mengambil alih kekuasaan pada Senin dini hari dan memberlakukan kondisi darurat selama setahun setelah menuduh partai Suu Kyi melakukan kecurangan atas kemenangan pemilu baru-baru ini.
Partai yang dipimpin Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) menuntut pembebasan Suu Kyi. Partai itu juga meminta militer untuk menerima hasil pemilu pada November, yang dimenangi oleh NLD dengan lebih dari 80% suara.
Baca Juga: Kudeta Militer di Myanmar Coreng Citra Demokrasi ASEAN
Akan tetapi, militer telah menunjuk komisi pemilihan dan kepala polisi baru. Padahal, komisi pemilihan sebelumnya tidak menemukan bukti kecurangan pemilu.
Myanmar, yang juga dikenal sebagai Burma, dikuasai oleh militer hingga 2011, ketika pemerintah sipil dilantik.
Apa yang terjadi saat ini di Myanmar?
Negara itu kini dalam kondisi tenang setelah kudeta, dengan pasukan militer berpatroli di semua kota besar dan jam malam diberlakukan. Sistem komunikasi sempat terganggu ketika kudeta terjadi namun berangsur membaik pada Selasa (02/02) pagi.
Saat malam tiba pada hari Selasa, klakson mobil dan pukulan panci masak terdengar di jalan-jalan Yangon sebagai tanda protes warga atas kudeta yang terjadi.
Kelompok pemuda dan pelajar juga menyerukan kampanye pembangkangan sipil, dan halaman Facebook untuk kampanye tersebut disukai oleh lebih dari 100.000 pengguna Facebook.
Dokter yang bekerja di rumah sakit pemerintah mengatakan mereka akan mogok kerja mulai Rabu (03/02) untuk mendorong pembebasan Suu Kyi.
Beberapa petugas medis menggunakan simbol sebagai protes diam-diam.
Setidaknya satu dokter telah berhenti bekerja sebagai bentuk protes, dengan mengatakan "kudeta semacam itu tidak dapat ditoleransi sama sekali".
Dr Naing Htoo Aung, seorang ahli anestesi berusia 47 tahun di Rumah Sakit Mongywa di Wilayah Sagaing, mengatakan kepada BBC Burma:
"Saya mengundurkan diri karena saya tidak bisa bekerja di bawah seorang diktator militer yang tidak peduli dengan negara dan rakyatnya. Ini adalah tanggapan terbaik yang bisa saya berikan pada mereka."
Dokter lain yang terlibat dalam kampanye menuntut pembebasan Suu Kyi, Myo Thet Oo, berkata kepada kantor berita Reuters: "Kami tidak bisa menerima diktator dan pemerintah yang tidak dipilih.
"Mereka bisa menahan kami kapan saya. Kami memutuskan untuk menghadapinya... Kami semua telah memutuskan untuk tidak datang ke rumah sakit"
Tampuk kekuasaan kini dipegang oleh Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing. Sebelas menteri dan deputi, termasuk di bidang keuangan, kesehatan, dalam negeri dan luar negeri, telah diganti.
Dalam pertemuan pertama kabinetnya pada Selasa, Min Aung Hlaing mengulangi bahwa pengambilalihan itu "tak terelakkan" setelah militer membuat tudingan adanya kecurangan pemilu.
Dimana Aun San Suu Kyi saat ini?
Hingga kini belum ada pernyataan resmi terkait keberadaan Suu Kyi setelah ia ditangkap pada Senin dini hari.
Namun, menurut sumber dari NLD mengatakan bahwa ia dan Presiden Win Myint menjalani tahanan rumah.
Suu Kyi - yang menghabiskan 15 tahun dalam penahanan sejak 1989-2010 - telah mendesak pendukungnya untuk "protes menentang kudeta" dalam sebuah sebuah surat yang ditulisnya sebelum ditahan.
Dalam surat itu, ia juga memperingatkan bahwa tindakan yang dilakukan militer dapat membawa negara itu kembali dibawah kekuasaan diktator.
Ia dilarang menjadi presiden karena ia memiliki anak yang lahir dari warga negara asing.
Namun, sejak kemenangan NLD dalam pemilu yang menentukan pada 2015, ia secara luas dipandang sebagai pemimpin de facto Myanmar.
Sekilas tentang Myanmar
Myanmar adalah negara dengan populasi 51 juta jiwa di kawasan Asia Tenggara, yang berbatasan dengan Bangladesh, India, China, Thailand dan Laos.
Negara itu dipimpin oleh pemerintah militer sejak 1962-2011.
Hampir semua ekspresi perbedaan pendapat dilarang dan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia yang parah menuai kecaman dan sanksi internasional.
Aung San Suu Kyi menghabiskan waktu bertahun-tahun berkampanye untuk reformasi demokrasi. Transisi demokrasi bertahap dimulai pada 2010, meskipun pengaruh militer masih cukup besar.
Pemerintahan yang dipimpin oleh Suu Kyi berkuasa setelah pemilu pada 2015.
Namun aksi represi militer terhadap Muslim Rohingya dua tahun kemudian, membuat ratusan ribu orang melarikan diri ke Bangladesh dan memicu memudarnya dukungan komunitas internasional terhadap Suu Kyi.
Kendati begitu, ia tetap populer di Myanmar dan partainya menang telak dalam pemilu 2020. Namun militer sekarang telah turun tangan untuk mengambil kendali sekali lagi.
Bagaimana reaksi dunia?
Presiden AS Joe Biden mengancam menjatuhkan kembali sanksi kepada Myanmar. Ia mengatakan militer semestinya tidak "mengesampingkan kehendak rakyat".
Departemen Luar Negeri AS kemudian menyatakan apa yang terjadi di Myanmar sebagai sebuah kudeta dan mengatakan akan mengkaji ulang kebijakan bantuan terhadap negara itu.
Selain AS, PBB, Inggris dan Uni Eropa juga mengutuk pengambilalihan kekuasaan oleh militer di Myanmar.
Menteri Luar Negeri Inggris, Nigel Adams, mengatakan ia berharap komunikasi via telpon dengan Suu Kyi yang dijadwalkan pada pekan ini bisa tetap berlangsung untuk memastikan keselamatannya.
Belum jelas seberapa besar pengaruh peringatan dari negara-negara Barat itu. Para pemimpin kudeta kemungkinan telah memperkirakan adanya sanksi yang akan dijatuhkan dan telah memasukan hal itu dalam rencana mereka.
China, yang sebelumnya menentang intervensi internasional di Myanmar, mendesak semua pihak di negara itu untuk "menyelesaikan perbedaan".
Kantor berita China Xinhua menggambarkan perubahan itu sebagai "perombakan kabinet".
Sementara, negara lain di kawasan Asia Tenggara, termasuk Kamboja, Thailand dan Filipina, mengatakan apa yang terjadi di Myanmar sebagai "masalah internal".