Dikudeta dan Ditahan, AI Desak Militer Myanmar Bebaskan Aung San Suu Kyi

Senin, 01 Februari 2021 | 14:30 WIB
Dikudeta dan Ditahan, AI Desak Militer Myanmar Bebaskan Aung San Suu Kyi
Seorang pekerja berdiri di belakang memorabilia yang diproduksi untuk mempromosikan partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Aung San Suu Kyi di sebuah percetakan di Yangon pada 2 September 2020. Ye Aung THU / AFP
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Amnesty International, kelompok legiat HAM, mendesak militer Myanmar membekasn Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dan tokoh sipil lainnya.

Aung San Suu Kyi, tokoh penerima nobel perdamaian yang lantas dikecam karena persoalan Rohingya, diculik bersama tokoh sipil lainnya dalam rangkaian kudeta militer, Senin (1/2/2021) dini hari.

"Penangkapan Aung San Suu Kyi, pejabat senior dan tokoh politik lainnya sangat mengkhawatirkan. Kecuali mereka yang ditahan dapat dituntut melakukan tindak pidana yang diakui menurut hukum internasional, mereka harus segera dibebaskan," jelas Ming Yu Hah, Wakil Direktur Regional Amnesty International dalam pernyataan tertulis yang diterima Suara.com.

Amnesty juga mendesak agar pihak militer Myanmar memberikan klarifikasi terkait penangkapan Aung San Suu Kyi.

Baca Juga: AS Desak Militer Myanmar Bebaskan Aun San Suu Kyi

Sebab, hingga Senin siang, junta militer belum melansir dasar hukum penangkapan para tokoh tersebut.

"Mereka juga harus menjamin bahwa hak-hak mereka yang ditangkap dihormati sepenuhnya, termasuk terhadap perlakuan buruk, dan bahwa mereka memiliki akses ke pengacara pilihan mereka sendiri dan keluarga. Mereka harus memastikan keberadaan mereka dan memberi mereka akses ke perawatan medis," sambungnya.

Sebelumnya, Liga Nasional untuk Demokrasi, partai yang berkuasa, melansir Aung San Suu Kyi diculik dan ditahan militer.

Myo Nyunt, juru bicara partai mengungkapkan, Presiden Win Myint dan para pemimpin lainnya juga ikut "diculik".

"Ini adalah momen yang tidak menyenangkan bagi orang-orang di Myanmar, adanya represi militer yang semakin parah."

Baca Juga: Kudeta Myanmar, Militer Klaim Ambil Alih Negara

"Penangkapan aktivis politik terkemuka dan pembela hak asasi manusia secara bersamaan mengirimkan pesan mengerikan, bahwa otoritas militer tidak akan menoleransi perbedaan pendapat apa pun di tengah peristiwa yang sedang berlangsung hari ini," sambung Ming Yu Hah.

Amnesty Internasional juga mendesak agar militer menahan diri karena "kudeta dan tindakan keras militer sebelumnya menyebabkan kekerasan skala besar dan pembunuhan di luar hukum oleh pasukan keamanan."

"Kami mendesak angkatan bersenjata untuk menahan diri, mematuhi hak asasi manusia internasional dan hukum humaniter dan agar tugas penegakan hukum dapat sepenuhnya dilanjutkan oleh kepolisian pada kesempatan sedini mungkin," jelas Amnesty International.

Amnesty Internasional juga menyayangkan adanya pemadaman layanan internet dan telepon sehingga "menimbulkan ancaman lebih lanjut bagi penduduk".

"Terutama saat Myanmar berperang dalam pandemi, dan karena konflik internal melawan kelompok bersenjata menempatkan warga sipil dalam risiko di beberapa bagian negara. Sangat penting bahwa layanan telepon dan internet lengkap segera dilanjutkan." pungkasnya.

Menurut laporan Amnesty International, internet dan telepon mati di beberapa bagian negara, termasuk di ibu kota, Nay Pyi Taw, kota terbesar, Yangon, serta Negara Bagian Shan dan Kachin serta wilayah Mandalay dan Sagaing.

Senin subuh, militer Myanmar mengambil alih kekuasaan dan mengumumkan kondisi darurat selama satu tahun.

Kudeta terjadi sebagai puncak ketegangan antara militer dan sipil sejak pemilu digelar November 2020.

Komisi Pemilihan Umum Myanmar (UEC) mengonfirmasi kemenangan Aung San Suu Kyi dalam pemilu. Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), partai besutan Suu Kyi, juga keluar sebagai pemenang pemilu dengan memeroleh 396 suara perwakilan.

Sementara militer dan partai afiliasinya, Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP), menuduh adanya ketidakberesan dan pelanggaran dalam pemilihan, namun tuduhan tersebut ditolak oleh UEC.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI