Menjawab Keingintahuan Publik Soal Seperti Apa Rasanya Masuk RS Zona Merah

SiswantoBBC Suara.Com
Jum'at, 29 Januari 2021 | 12:23 WIB
Menjawab Keingintahuan Publik Soal Seperti Apa Rasanya Masuk RS Zona Merah
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Selasa, 26 Januari 2021, kasus positif virus corona di Indonesia telah melampaui satu juta orang. Seiring dengan angka itu, pemerintah menyebut ada pula tingkat kesembuhan yang naik.

Sementara Sekjen Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia Lia Gardenia Partakusuma mengatakan okupansi atau tingkat keterisian tempat tidur di rumah sakit di kota-kota besar sudah melampaui standar yakni antara 70 %-80 %. Adapun di daerah-daerah mencapai 90 %-100 %.

"Di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah itu sulit sekali. Kita temui sejumlah rumah sakit sudah 100 % hunian untuk ICU dan ruang isolasi. Kalau [ranjang] nggak ditambah belakangan ini, maka sudah penuh," imbuh Lia.

Lalu apa makna angka-angka itu bagi pasien, keluarga pasien, serta para tenaga medis?

Baca Juga: Oximeter, Pengertian dan Cara Bacanya

Tim BBC News Indonesia mendatangi salah satu rumah sakit rujukan Covid-19 milik pemerintah di wilayah Tanah Abang, Jakarta. Di rumah sakit itu, diperkirakan rata-rata puluhan orang calon pasien mengantre untuk mendapatkan satu ranjang perawatan.

Suara ketikan keyboard dari tangan seorang petugas yang membalas pesan dari puskesmas dan para dokter se-Jakarta tak henti-hentinya terdengar pada jam istirahat makan siang, ketika kami datang hari itu.

Bukti foto rontgen serta data kesehatan pasien Covid-19 yang akan dirujuk, mereka teliti satu per satu.

Sudah 10 bulan, pusat data di RSUD Tanah Abang, Jakarta, tak pernah sepi dan kini mereka terpaksa harus memilih dan memilah pasien.

"Antrean (calon pasien) yang sudah masuk datanya hingga Januari 2021 sudah ada 6.833 pasien," kata Direktur RSUD Tanah Abang Savitri Handayana.

Baca Juga: Kapasitas Makin Menipis, Pemprov DKI Bakal Tambah 5 RS Rujukan Covid-19

Rujukan itu berasal dari sejumlah rumah sakit swasta maupun pemerintah, termasuk Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet di Jakarta.

"Tidak hanya di Jakarta, pasien rujukan dari Serpong (Tangerang Selatan) dan Depok (Jawa Barat) juga terdata pernah masuk daftar tunggu di rumah sakit ini," kata Savitri.

Ia memperkirakan, "Minimal, satu ranjang telah ditunggu 10 calon pasien, sementara jika terjadi lonjakan, 20 calon pasien menanti satu ranjang kosong."

Itupun tak semua pasien dapat diterima karena terbatasnya ranjang dan tidak ada alat bagi pasien dengan kondisi tertentu.

Padahal Savitri sudah menambah kapasitas tempat tidur untuk pasien Covid dengan mengubah fungsi ruangan di rumah sakit yang ia pimpin.

Savitri mengijinkan kami, Silvano Hajid dan jurnalis video Dwiki Marta, untuk melihat secara langsung situasi di zona merah, ke tempat para pasien Covid-19 dirawat.

Memasuki zona merah

Agar bisa meliput di zona merah, kami harus mengikuti langkah demi langkah sesuai aturan. Seperti para tenaga kesehatan yang bertugas, kami juga harus memakai alat pelindung diri lengkap sesuai standar WHO (Organisasi Kesehatan Dunia).

APD itu pun harus dikenakan di ruang khusus.

Bersama seorang dokter bernama Ani Dwi Septyaningsih yang siang itu bertugas, kami mulai melangkah melewati lorong dengan garis hijau yang menandakan zona aman, kemudian berbelok ke arah lift yang sudah disekat rapat dan bergaris merah, tanda zona bahaya.

Seketika, kami menyaksikan ruangan berisi tujuh ranjang yang semuanya terisi. Pasien tua dan muda tengah dirawat di bekas ruang bersalin itu.

Dokter Ani lalu mendatangi pasiennya satu-persatu, menanyakan keadaan mereka dengan suara lantang dan nada ceria.

Ia mengaku sudah terlatih menyembunyikan lelahnya ketika sedang bertugas. "Harus penuh energi kalau bertemu pasien, supaya mereka juga semangat untuk hidup," kata dokter Ani.

Suaranya sedikit parau saat kami mewawancarainya.

Seorang pasien sesekali batuk, disusul pasien lain. Di ruang yang sama, salah satu pasien salat di atas ranjang dengan tangan yang masih tersambung selang infus. Masker menutupi wajah mereka.

Semua ruangan dengan total kapasitas 47 ranjang penuh terisi.

Di ujung lorong, terdapat ruang ICU yang ditempati seorang pasien usia lanjut. Matanya terpejam tetapi dia kesulitan bernapas. Suara napasnya terdengar tidak teratur dan kepayahan menghembuskan udara keluar dari hidungnya. Alat bantu pernapasan terpasang.

Dua orang perawat datang mencoba mengajak pasien itu berbicara. Hanya anggukan dan sepatah kata tak jelas yang keluar dari mulutnya.

Situasi seperti inilah yang menjadi tanggung jawab para petugas medis selama hampir satu tahun terakhir.

Pada Selasa (26/1), hari ketika kami mendatangi rumah sakit ini, angka kasus positif di Indonesia telah melampaui satu juta orang, dengan angka keterisian rumah sakit yang disebut pemerintah mencapai 70 %-84 % dalam rata-rata data nasional.

Meski sudah 10 bulan menghadapi pasien Covid-19, dokter Ani terus mengingatkan kepada semua orang bahwa situasi yang ia hadapi adalah "abnormal."

"Pasien-pasien saya mungkin hari ini keadaannya membaik dan bisa diajak berbicara, tetapi besok belum tentu. Besok bisa gawat, secepat itu keadaan bergulir menjadi kematian," katanya.

'Susah bergerak, pengap dan takut'

Silvano Hajid dan Dwiki Marta, Wartawan BBC News Indonesia

Memakai APD lengkap sesuai aturan yang telah ditetapkan WHO bukan perkara mudah. Lengah sedikit, virus tak kasat mata itu bisa menyusup.

Kami menyadari liputan ini berisiko sehingga perhitungannya harus matang termasuk meminimalisasi risiko berada di zona merah: ruang perawatan pasien Covid-19.

Liputan ini berlangsung selama lima jam, dua jam pertama berlangsung di zona hijau dan selanjutnya di zona merah.

Dwiki Marta, jurnalis video BBC News Indonesia, menuturkan bahwa dirinya tidak kuat berlama-lama mengenakan APD.

"Susah bergerak, pengap dan takut."

Akan tetapi, menurutnya, lelahnya tidak seberapa jika dibandingkan para tenaga medis yang sudah berbulan-bulan kewalahan merawat pasien Covid-19.

Pada jam ketiga peliputan, misalnya, keringat sudah mengucur dari badan kami. Tangan kami basah karena berlapis dua sarung tangan lateks, diikuti kucuran keringat yang mengalir hingga dasar sepatu bot. Pelindung mata sudah berembun, pandangan buram berlangsung hingga liputan usai.

Bertemu langsung dengan para pasien di ruang perawatan, termasuk ICU, membuat saya, Silvano Hajid, jurnalis multimedia BBC News Indonesia, juga makin menyadari penyakit ini tak kenal usia. Ruang penuh pasien Covid-19 berisi mereka yang berusia muda hingga senja.

Para pasien muda itu sesekali duduk di atas ranjang menenangkan dirinya usai batuk dan kesulitan bernapas. Selang infus menjulur dari samping tempat tidur mereka.

Protokol kesehatan. Ini menjadi kewajiban yang tak terhindarkan bila ingin sebisa mungkin tidak tertular. Kami pun wajib mematuhi deretan aturan dan protokol dalam peliputan ini.

Keluar dari zona merah, berbagai tindakan pencegahan juga kami lakukan, termasuk isolasi mandiri dan melakukan tes usap PCR.

Menjenguk dari kejauhan

Bagi keluarga pasien, situasi juga tidaklah mudah. Di tengah kecemasan yang melanda, mereka tak bisa mendampingi orang terkasih yang tengah dirawat karena virus corona.

Kami bertemu Sulistina siang itu. Ia duduk di ruang tunggu yang disediakan rumah sakit di bagian luar bangunan.

Ia baru saja menitipkan barang kepada petugas untuk ayahnya, Muhamad Samil, yang tengah dirawat.

Hanya melalui panggilan video di telepon genggamnya, Sulistina berbicara dengan ayahnya.

"Kemarin sudah dirontgen sama ambil darah, kan?" tanyanya.

Ayahnya menjawab, "Ya, ambil darah sudah dua kali."

"Ambil darah sudah dua kali? Oh ya mudah-mudahan paru-parunya tidak apa-apa," timpal Sulistina.

Namun Samil bilang, ia belum tahu karena belum melihat hasil rontgen.

Sulistina pun lalu hanya bisa berkata, "Ya makanya nanti ditanya, siapa tahu sudah keluar hasilnya, tanya ke dokter."

Samil tertular Covid-19 saat ia tengah dalam masa pemulihan setelah operasi tulang. Sebelumnya, Sulistina lah yang terus merawat sang ayah pasca-operasi itu, termasuk memapahnya berjalan.

Namun, kali ini Sulistina harus merelakan ayahnya dirawat orang lain.

"Ayah saya harus mandiri sekarang karena biasanya saya yang bantu dia berjalan, tapi karena Covid-19, saya tidak dapat melakukan apa-apa."

Lalu bagaimana Samil bisa tertular virus corona?

Kami menemui Samil di ruang perawatan atas izin rumah sakit, izin dirinya, dan izin putrinya, Sulistina. Saat itu Samil tengah berbaring di ranjang paling ujung.

Ia bangun perlahan untuk duduk dan menggerakan kakinya ke lantai. Tangannya meraih alat bantu jalan. Dia melatih diri untuk berjalan menuju kamar mandi yang jaraknya sekitar tiga meter dari ranjangnya.

"Saya harus bisa berdiri, karena perawat juga sibuk dengan pasien lainnya, tidak mungkin saya mengandalkan bantuan perawat terus-terusan," jelas Samil.

Koper ukuran sedang dan sedikit terbuka berisi pakaian untuk beberapa hari ke depan masih ada di atas ranjang tempat Samil berbaring sebelumnya. Dia baru menginap semalam di rumah sakit itu.

Samil ingat betul, pada 22 Desember 2020 sebelum ia menjalani operasi tulang, ia harus tes usap PCR terlebih dahulu. Kala itu dia dinyatakan negatif.

Sebulan berselang, lelaki usia 74 tahun ini mengetahui dua orang anaknya positif Covid-19.

"Setelah itu saya tes (Covid-19) dan dinyatakan positif, saya tidak bisa menduga dari mana saya bisa tertular," kata Samil.

Samil, Sulistina, dokter Ani adalah perwakilan dari penuturan-penuturan yang belakangan kerap kami dengar, dan mungkin juga Anda.

Orang-orang dekat yang tertular, rumah sakit yang penuh, kebingungan mencari tempat perawatan di tengah kondisi kritis pasien, tenaga medis yang kelelahan, serta sederet pengalaman lain yang berseliweran di telinga kita, juga di grup-grup percakapan di telepon genggam dan media sosial.

Penuturan tersebut nyata seiring dengan meningkatnya jumlah kasus positif, yang mencapai belasan ribu per hari di seluruh Indonesia, sebagaimana diumumkan pemerintah saban hari.

Dalam kesibukannya, dokter Ani melontarkan satu harapan, yakni semua kembali normal seperti dulu saat belum terjadi pandemi.

"Saya ingin bekerja tanpa APD, tanpa masker, dan tidak ketakutan bertemu pasien," katanya.

"Sekarang banyak rumah sakit dijadikan rumah sakit rujukan pasien Covid-19. Jika itu terus terjadi, pasien yang bukan Covid-19 pun akan kesulitan mendapat fasilitas kesehatan," katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI