Suara.com - Pentolan KAMI, Jumhur Hidayat kembali tidak dihadirkan dalam persidangan perkara penyebaran berita bohong atau hoaks. Dia harus kembali hadir secara virtual melalui sambungan Zoom lantaran masih mendekam di Rutan Bareskrim Polri.
Kuasa hukum Jumhur, Oky Wiratama mengatakan, pihaknya telah melayangkan surat kepada ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam surat itu, pihaknya meminta agar Jumhur bisa dihadirkan secara langsung di persidangan.
"Kami sudah melayangkan surat ke ketua PN Jaksel untuk memohon agar Jumhur dihadirkan secara offline, tatap muka, karena untuk mempermudah proses pembelaan," kata Oky, Kamis (28/1/2021).
Oky juga mengeluh lantaran tim kuasa hukum kesulitan untuk bertemu Jumhur di dalam tahanan. Setiap kali bertandang ke Rutan Bareskrim Polri, pihaknya selalu dipersulit.
Baca Juga: Sebut Cuma Berasumsi, Jumhur Pentolan KAMI Minta Hakim Tolak Dakwaan Jaksa
"Setiap kami ke Rutan Bareskrim Mabes Polri, kami selalu dihambat akses bantuan hukum. Tadi kan sempat bilang, tidak bisa ngobrol dengan kuasa hukum, karena memang begitu keadaannya, selalu dipersulit, ini kan sudah melanggar KUHAP," jelasnya.
Lebih lanjut, Oky juga meminta agar kliennya ditangguhkan penahanannya. Namun permohonan itu hingga kini hanya bertepuk sebelah tangan.
"Kedua kami juga mohon untuk ditangguhkan juga penahanannya, itu yang kami sampaikan, tapi belum ada respons," pungkas Oky.
Pembelaan Jumhur
Dalam pembelaannya, Oky yang mewakili Jumhur menyebut jika JPU tidak bisa menjelaskan lebih rinci soal sangkaan berita bohong atau hoaks. Dalam hal ini, JPU disebut hanya berasumsi dan tidak mampu menjelaskan soal pemberitaan yang dapat menimbulkan keonaran.
Baca Juga: Kuasa Hukum Jumhur Hidayat Sebut Dakwaan JPU Tidak Mengurai Unsur Keonaran
"Dalam dakwaanya penuntut umum menguraikan tulisan pada Twitter terdakwa, namun penuntut umum tidak menguraikan jenis jenis berita bohong maupun pemberitaan yang dapat menimbulkan keonaran di masyarakat," kata Oky di ruang sidang utama.
Oky menyatakan, JPU berasumsi terlalu jauh dalam menyebut jika Jumhur tidak mengerti isi UU Cipta Kerja. Kenyataannya, pada saat Jumhur mengunggah pernyataan di media sosial, draf UU Cipta Kerja telah disebar secara resmi oleh DPR.
"Penuntut umum dalam dakwaanya terlampau jauh berasumsi yang menyatakan bahwa terdakwa tidak mengetahui secara pasti isi dari undang-undang cipta kerja. Padahal saat terdakwa memposting kalimat tersebut, draf awal UU Cipta Kerja sudah disebar oleh DPR melaliu situs resmi DPR," jelasnya.
Oky menilai, dakwaan terhadap Jumhur tidak sah. Hal itu lantaran JPU mengubah surat dakwaan sebelum persidangan berlangsung.
"Bahwa Jaksa Penuntut Umum hanya bisa mengubah surat dakwaan yakni pada saat sebelum pengadilan menetapkan hari sidang atau setelah pengadilan menetapkan hari sidang selambat-lambatnya tujuh hari sebelum penetapan hari sidang dilakukan," sambungnya.
Untuk itu, Oky meminta pada majelis hakim untuk mengabulkan eksepsi Jumhur. Tak hanya itu, dia meminta agar hakim menyatakan dakwaan JPU batal demi hukum.
Dakwaan
Sebelumnya, Jumhur didakwa dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong atau hoaks yang menimbulkan keonaran melalui cuitannya di Twitter soal UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Jumhur juga dianggap dengan cuitannya membuat masyarakat menjadi berpolemik. Hal tersebut berimbas kepada aksi unjuk rasa pada 8 Oktober 2020 di Jakarta dan berakhir ricuh.
Bahwa terdakwa dalam menyebarkan informasi melalui akun Twitternya tersebut terdakwa memasukkan tulisan yang berisi kalimat-kalimat yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) yaitu golongan pengusaha dan buruh," tutup jaksa bacakan dakwaan.
Dalam dakwaan itu, Jumhur dijerat dengan dua pasal alternatif. Pertama, dia dijerat Pasal 14 ayat (1) jo Pasal 15 Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 1946 KUHP atau Pasal 45A ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) Undang-undang RI nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan dari UU RI nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.