Suara.com - Lindu, salah satu kecamatan di Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah. Masyarakatnya secara turun-temurun menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan budaya leluhur.
Sebagian besar mereka di wilayah itu masyarakat lokal Lindu dan Kulawi, salah satu suku terbesar di Kabupaten Sigi.
Dahulu, Lindu masuk Kecamatan Kulawi, kemudian terjadi pemekaran menjadi empat kecamatan, yakni Kulawi, Pipikoro, Kulawi Selatan, dan Lindu.
Masyarakat di empat kecamatan tersebut selama ini ramah terhadap lingkungan. Hutan di pinggiran pemukiman penduduk, termasuk di Kecamatan Lindu, terbilang cukup bagus, karena sejak dahulu kala sampai sekarang dijaga dengan baik.
Baca Juga: Belajar Keberagaman di Kampung Adat Asli Anak Rawa Penyengat Siak
Masyarakat Lindu baru dua tahun terakhir ini menikmati penerangan listrik dari PLN. Sebelumnya, mereka mengusir kegelapan malam dengan lentera. Sejak Desember 2019, listrik PLN beroperasi 24 jam di daerah itu.
Masyarakat yang mendiami lima desa di Kecamatan Lindu, yakni Puro'o, Langko, Tomado, Anca, dan Olu selama bertahun-tahun tidak sembarangan menebang pohon atau membuka lahan untuk berkebun, sebab wilayah itu dikelilingi kawasan hutan Taman Nasional Lore Lindu. Mereka membuka kebun, tetapi di luar kawasan lindung.
"Itu pun jika mereka menebang pohon atau kayu hanya untuk kepentingan bahan rumah saja," ujar Apner, salah seorang tokoh pemuda Desa Tomado.
Masyarakat setempat ramah terhadap lingkungan, sebab mereka menyadari bahwa sumber utama kebutuhan air bersih di wilayah itu berada di hutan.
Masyarakat tidak pernah menebang pohon, apalagi membuka lahan untuk berkebun di sekitar sumber air. Hal itu dilakukan mereka agar ketersediaan air bersih maupun untuk pertanian tetap terjaga kualitasnya.
Baca Juga: Mengenal Desa Adat Sade Lombok yang Terkenal Karena Tradisi Kawin Lari
Demikian pula halnya dengan hutan yang hingga saat ini berfungsi dengan baik.
Sepakat menjaga
Sebanyak 15 desa di Kabupaten Sigi dan Kabupaten Poso pada 28 Januari 2020 bersepakat menjaga dan melestarikan hutan serta alam di seputar Cagar Biosfer Taman Nasional Lore Lindu.
Kesepakatan bersama untuk menjaga kelestarian alam dan hutan di kawasan Cagar Biosefer Lore Lindu itu, disampaikan sejumlah kepala desa dan tokoh masyarakat serta lembaga adat dari Kabupaten Sigi dan Poso pada musyawarah besar atau dalam Bahasa Lindu, Libu Bete, di tepi Danau Lindu, Kabupaten Sigi.
Salah satu tokoh masyarakat dan adat di Dataran Lore Barat, Kabupaten Poso, Imanuel, mengatakan secara turun-temurun para leluhur memperlakukan hutan dan alam dengan baik.
Artinya, nilai-nilai kearifan lokal, seperti memelihara hutan dan alam, sudah diberlakukan secara adat dengan memberikan sanksi adat bagi masyarakat yang terbukti mengganggu keberadaan hutan dan alam sekitar.
Hingga saat ini, lembaga adat masih memegang teguh dan memberlakukan aturan-aturan adat bagi masyarakat dalam berbagai kegiatan, seperti penebang pohon pada zona-zona penyangga air. Sanksi denda bagi mereka yang mengabaikan larangan adat, berupa kerbau.
Begitu juga hal itu berlaku di wilayah Lindu dan kecamatan lainnya di Kulawi Raya.
Ketua Lembaga Adat Lindu, Nurdin, mengatakan lembaga adat memberikan sanksi bagi mereka yang melakukan perambahan atau menebang pohon dan melakukan pencemaran lingkungan. Sanksi itu sudah diberlakukan secara turun-temurun oleh nenek moyang mereka di Dataran Lindu.
"Dan sanksi adat diberlakukan sampai sekarang ini," kata dia.
Masyarakat di Dataran Lindu, selama ini memperlakukan hutan dan alam di kawasan Taman Nasional Lore Lindu dengan baik. Masyarakat tidak semena-mena membuka lahan atau menebang kayu, karena sanksinya memang ada dan diberlakukan hingga saat ini.
Namun, masyarakat Lindu meminta pemerintah menetapkan wilayah-wilayah hutan adat untuk dikelola masyarakat demi kesejahteraan dan peningkatan ekonomi.
Pemerintah tidak usah khawatir terkait dengan pemberian hutan adat kepada masyarakat. Mereka akan menjaga dan mengamankan serta tidak mengurangi fungsi kawasan konservasi, termasuk kawasan konservasi dan hutan lindung.
Kemitraan
Beberapa waktu lalu, lembaga adat Lindu dan Poso, khususnya Lore Barat, melakukan penandatanganan perjanjian kerja sama kemitraan konservasi dengan Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu. Perjanjian itu sebagai tanda keseriusan mereka menjaga dan melestarikan kawasan konservasi di wilayah masing-masing.
Penandatanganan perjanjian tersebut dilakukan 15 desa, masing-masing lima desa di Kecamatan Lore Barat, Ima Lindu, dan Nokilalaki. Penandatanganan kerja sama itu juga disaksikan Direktur Kawasan Konservasi Direktorat Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Diah Murtiningsih dan Bupati Sigi Mohammad Irwan Lapata.
Sebanyak desa yang melakukan kerja sama di Kecamatan Lindu, yakni Puro'o, Langko, Tomado, Anca, dan Olu.
Semua desa yang telah menandatangani perjanjian kerja sama dengan Balai Besar TNLL berkomitmen memelihara dan melestarikan hutan dan seluruh keanekaragaman hayati di kawasan konservasi.
Kepala Balai Besar TNLL Jusman membenarkan bahwa beberapa waktu lalu pihaknya menjalin kemitraan dengan lembaga adat di sejumlah desa di Kabupaten Sigi dan Poso.
Kemitraan itu, antara lain untuk menjaga dan melestarikan hutan serta alam sekitar sebagai sumber utama penyangga air bagi kebutuhan masyarakat, flora, dan fauna.
Masyarakat bersama Balai Besar TNLL mengolah dan menjaga kawasan konservasi Cagar Biosfer Lore Lindu.
Disebut dia bahwa kemitraan itu suatu program untuk membangun pengelolaan kawasan konservasi bersama dengan masyarakat sekitar.
Selain itu, komitmen masyarakat, lembaga adat, dan pemerintah daerah untuk bersama-sama menjaga dan melestarikan hutan serta alam sebagai sumber penghidupan manusia.
"Memang, kita harus akui bahwa kawasan konservasi harus memberikan manfaat bagi masyarakat sehingga akses itu diberikan kepada mereka," katanya.
Jika selama ini masyarakat telah merasakan manfaat kawasan konservasi di sekitarnya, sudah pasti mereka akan memelihara lingkungan hidup dengan baik.
Hal itu, sudah terbukti bahwa masyarakat di Lembah Bada, Kabupaten Poso dan Lindu secara turun-temurun ramah terhadap lingkungan hutan dan alam.
Pemerintah tentu patut memberikan apresiasi kepada masyarakat adat dan pemerintah daerah atas dukungan dan kepedulian terkait dengan kawasan konservasi.
Kawasan konservasi TNLL sebagian masuk wilayah administrasi Pemerintahan Kabupaten Poso dan sebagian lainnya Pemerintah Kabupaten Sigi.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ujar Diah, berterima kasih kepada masyarakat, tokoh adat, dan pemerintah daerah atas keikutsertaan menjaga kawasan konservasi.
Kawasan itu, bukan hanya aset pemerintah dan masyarakat Kabupaten Poso dan Sulawesi Tengah, tetapi aset bangsa dan negara.
Menurut dia, kemitraan konservasi kawasan itu semakin memperkuat optimisme bahwa kelestarian hutan dan alam tetap terjaga.
Bupati Sigi Mohamad Irwan Lapata mengatakan pemerintah dan masyarakat setempat, termasuk di Dataran Lindu, selama ini berkomitmen menjaga aset berupa hutan dan alam di daerah itu.
Kerja sama antara lembaga adat dan Balai Besar TNLL bukti bahwa masyarakat di kawasan itu menginginkan hutan dan alam tetap dijaga kelestariannya karena selama ini banyak memberikan manfaat bagi mereka.
Secara turun-temurun, kata dia, masyarakat setempat peduli terhadap kawasan hutan.
Oleh karena itu, ia meminta Balai Besar TNLL bersama-sama pemerintah daerah memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, khususnya pengusulan penetapan hutan adat bagi masyarakat di daerah itu.
"Saya berharap hutan adat yang telah diusulkan oleh masyarakat dan Pemerintah Daerah Sigi beberapa waktu lalu dapat disetujui," kata dia.
Pemerintah pusat, diharapkan, tidak ragu ketika hutan adat itu diberikan kepada masyarakat karena masyarakat bersama pemerintah daerah pasti menjaga seperti diharapkan pemerintah pusat.
Apalagi, di Kecamatan Lindu terdapat destinasi wisata Danau Lindu yang indah dan menarik. Banyak wisatawan mancanegara berkunjung ke Lindu.
Saat pagi hari, wisatawan bisa mendengarkan suara berbagai jenis burung, termasuk satwa endemik yang hanya hidup dan berkembangbiak di kawasan itu.
Saat memasuki pintu gerbang menuju Danau Lindu di Desa Sadaunta, Kecamatan Kulawi, di sepanjang perjalanan menyusuri hutan TNLL, wisatawan bisa menyaksikan berbagai satwa, terdiri atas burung dan monyet hitam (makaka) yang melompat dari satu pohon ke pohon lainnya.
Untuk sampai Danau Lindu, sekarang ini sudah bisa menggunakan mobil, meski medan masih cukup ekstrem, di mana saat hujan deras jalannya licin dan rawan tanah longsor. Struktur tanahnya labil dengan di sisi kiri dan kanan jalan berupa jurang cukup dalam.
Masyarakat Lindu saat ini menginginkan kualitas jalan ditingkatkan agar arus kendaraan lancar.
Kualitas jalan yang baik juga mendukung kelancaran distribusi berbagai kebutuhan masyarakat dan pemasaran hasil-hasil pertanian, perkebunan, dan danau.
Hutan dan alam yang lestari, tentu saja juga menjadikan para wisatawan semakin banyak yang mendatanginya. Hal itu juga yang membawa perekonomian masyarakat dan pendapatan daerah dari sektor pariwisata meningkat. [Antara]