Suara.com - Kepala Staf Presiden atau KSP Moeldoko menyatakan siap memperjuangkan nasib guru dan tenaga kependidikan honorer di seluruh Indonesia.
“Akan kami carikan formulanya sehingga ada perubahan, karena kami juga pernah perjuangkan honorer perawat,” kata Moeldoko di Gedung Bina Graha, Jakarta, Rabu (27/1/2021).
Moeldoko menyatakan siap memfasilitasi perjuangan guru dan tenaga kependidikan honorer non-kategori (GTKNHK 35+) untuk menjadi menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kontrak (P3K).
Delapan perwakilan guru dan tenaga kependidikan honorer dengan usia 35 tahun ke atas atau GTKNHK 35+ saat beraudiensi dengan KSP punya keinginan untuk menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kontrak (P3K).
Baca Juga: Moeldoko Sebut DPRD Punya Peran Strategis Dalam Penanganan Covid-19
Moeldoko yang didampingi Deputi II KSP Abetnego Tarigan menyadari, kontribusi dan pengabdian guru dan tenaga kependidikan honorer sangat besar bagi pengembangan sumber daya manusia.
Sayangnya, kata dia, selama ini masih banyak guru dan tenaga kependidikan honorer yang mendapat upah jauh dari standar. Bahkan, katanya, Presiden Joko Widodo pun prihatin dan sangat memperhatikan masalah ini.
Hal itu pula yang mendorong KSP menerima audiensi GTKNHK 35+ untuk merumuskan masalah dan mencari solusi bersama.
“Karena kami punya semangat yang sama untuk membantu nasib guru dan tenaga kependidikan honorer. Setelah pertemuan ini, GTKNHK bisa berkomunikasi secara intens dengan KSP untuk memperjuangkan apa yang diinginkan,” ujarnya.
Delapan perwakilan GTKNHK 35+ ini hadir dari berbagai provinsi, di antaranya Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, hingga Sulawesi Utara. Sebagian besar dari mereka telah menjadi guru dan tenaga kependidikan honorer lebih dari 15 tahun.
Baca Juga: Moeldoko: Jangan Lagi Ada yang Malu Kalau Tak Ikut Unjuk Rasa
Salah satunya Yudha Aremba, yang merupakan Ketua I GTKNHK 35+. Yudha yang merupakan guru honorer salah satu sekolah dasar (SD) di Jawa Timur sudah memasuki masa pengabdian selama 16 tahun dan hingga kini hanya mendapat upah Rp700 ribu per bulan.
“Sehingga masa muda kami habis untuk mencari kerja sampingan. Ini merupakan bentuk beratnya kami menjalankan kehidupan,” cerita Yudha di hadapan Moeldoko.
Dari pengalaman pengabdiannya itu, Yudha dan para anggota GTKNHK 35+ sempat menggelar rapat koordinasi nasional (rakornas) pada Februari 2020.
Pada Rakornas GTKHNK 35+ itu disepakati dua tuntutan kepada pemerintah, yakni permohonan pengangkatan sebagai ASN melalui keputusan presiden dan penaikkan upah untuk guru dan tenaga kependidikan honorer di bawah usia 35 tahun.
“Hasil rakornas tersebut juga akan didukung oleh kajian akademik beberapa profesor dan doktor terkait dengan keadaan kami di lapangan,” tutur Yudha.
Cerita lainnya datang dari Tinon Wulandari. Sebagai guru honorer di SMK, dirinya sempat bahagia saat mendengar kabar adanya rekrutmen untuk 1 juta orang melalui seleksi P3K. Namun pada kenyataannya, perempuan dengan sapaan Wulan ini merasa seleksi P3K tersebut tidak berpihak pada guru dan tenaga kependidikan honorer.
“Dalam perjalanannya, seleksi P3K itu untuk umum, tidak memperhitungkan masa bakti. Sehingga bagi kami guru dan tenaga kependidikan honorer usia di atas 35 tahun menjadi berat karena harus bersaing dengan yang lebih muda. Apalagi, selama ini kompetensi guru dan tenaga kependidikan honorer masih diragukan,” ucap Wulan.
Wulan juga memaparkan, dari rencana formasi P3K 1 juta orang yang melalui proses usulan dari pemerintah daerah, ternyata hanya terealisasi sekitar 467.000 orang.
Dari ini, Wulan melihat masih banyak pemerintah daerah yang tidak mau mengusulkan formasi karena terkait penggajian yang masih dilimpahkan ke anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
“Jadi, harapan kami tinggal kepres. Tapi kami kembalikan lagi keputusan itu pada pemerintah, karena kami yakin pemerintah punya pertimbangan khusus,” kata Wulan. (Antara)