Suara.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meragukan pengaduan tim advokasi enam laskar FPI yang tewas ditembak aparat bakal diterima oleh Mahkamah Internasional. Saat itu Komnas HAM menilai kasus penembakan laskar FPI belum memenuhi mekanisme pengaduan kasus ke Mahkamah Internasional.
Menanggapi itu, tim advokasi justru menganggap kalau Komnas HAM berada di posisi membela pelanggar HAM.
"Itulah bukti Komnas HAM sudah jadi pembela pelanggar HAM," kata anggota tim advokasi laskar FPI, Munarman saat dihubungi Suara.com, Selasa (26/1/2021).
Menurut Munarman, Komnas HAM juga kerap mengisi ruang debat publik dengan membela para pelanggar.
Baca Juga: Tragedi 6 Laskar FPI Dibawa ke Mahkamah Internasional, Ini Kata Komnas HAM
"Public discourse saja mereka isi dengan substansi menyemangati para pelanggar agar terus melakukan pelanggaran HAM yang berlanjut," ujarnya.
Sebelumnya, Komnas HAM mendengar wacana tim advokasi enam laskar Front Pembela Islam (FPI) untuk membawa kasus pembunuhan tersebut ke Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag, Belanda.
Menurut Komnas HAM, upaya dari tim advokasi tersebut bakal mengalami beragam hambatan karena sejumlah faktor.
Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik menjelaskan mekanisme yang diperlukan apabila hendak melakukan pengaduan ke Mahkamah Internasional. Selain untuk meluruskan tim advokasi itu sendiri, ia juga ingin agar penjelasannya dapat membuat masyarakat memahaminya.
"Hal Ini penting agar masyarakat tidak bingung dan mengetahui dengan jelas, terutama bagi keluarga keenam anggota laskar FPI yang tentu saja mengharap kejelasan dan keadilan atas kasus ini," kata Taufan dalam keterangan tertulisnya, Senin (25/1/2021).
Baca Juga: Ambroncius Nababan Dilaporkan, Polisi Imbau Masyarakat Tetap Tenang
Taufan lantas menerangkan kalau Mahkamah Internasional dibentuk dengan dua unsur penting di dalam pelaksanaan jurisdiksinya terhadap kasus-kasus kejahatan paling serius. Untuk kasus hak asasi manusia (HAM), yang dimaksudkan kejahatan paling serius terdiri dari kasus kejahatan genosida, kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang dan agresi.
Lalu, Mahkamah Internasional dibangun sebagai komplementari untuk melengkapi sistem hukum domestik
negara-negara anggota Statuta Roma.
"Mahkamah Internasional atau International Criminal Court (ICC) bukan peradilan pengganti atas sistem peradilan nasional suatu negara," ujarnya.
Dengan demikian, Mahkamah Internasional baru akan bekerja bilamana negara anggota Statuta Roma mengalami kondisi 'unable' dan 'unwilling'. Sesuai pasal 17 ayat 3 Statuta Roma, kondisi 'unable' atau dianggap tidak mampu adalah suatu kondisi di mana telah terjadi kegagalan sistem pengadilan nasional, secara menyeluruh ataupun sebagian.
Akibat kegagalan tersebut, sistem peradilan di negara tersebut tidak mampu menghadirkan tertuduh atau bukti dan kesaksian yang dianggap perlu untuk menjalankan proses hukum. Sementara 'unwilling' atau kondisi tidak bersungguh-sungguh menurut pasal 17 ayat 2 Statuta Roma adalah kondisi bila negara anggota dinyatakan tidak mempunyai kesungguhan dalam menjalankan pengadilan.
"Jadi, sesuai dengan prinsip primacy, kasus pelanggaran HAM berat tadi mesti melalui proses pengadilan nasional terlebih dahulu, Mahkamah Internasional tidak bisa mengadili kasus tersebut bila peradilan nasional masih atau telah berjalan atau bekerja,sebab Mahkamah Internasional tidak dirancang untuk menggantikan peradilan nasional," kata Taufan.
Mahkamah Internasional hanya akan bertindak sebagai jaring pengaman, apabila sistem peradilan nasional 'collapsed' atau secara politis terjadi kompromi dengan kejahatan-kejahatan tersebut sehingga tidak bisa dipercaya sama sekali.
Dengan demikian, Komnas HAM menilai adanya hambatan apabila tim advokasi enam laskar FPI membawa kasusnya ke Mahkamah Internasional. Hal tersebut lantaran, Indonesia bukan negara anggota Internasional Criminal Court (Mahkamah Internasional) karena belum meratifikasi Statuta Roma.
Karena itu, Mahkamah Internasional tidak memiliki alasan hukum untuk melaksanakan suatu peradilan atas kasus yang terjadi di wilayah jurisdiksi Indonesia, sebab Indonesia bukan
negara anggota (state party).
Lalu, unsur unable dan unwilling tidak terpenuhi karena saat ini kasus tersebut masih diproses, baik oleh kepolisian maupun lembaga negara independen yakni Komnas HAM RI.
"Dengan begitu, mekanisme peradilan Indonesia tidak sedang dalam keadaan kolaps sebagaimana disyaratkan pasal 17 ayat 2 dan ayat 3 Statuta Roma," ujarnya.