"Akuntabilitas atas brutalitas polisi dalam penanganan aksi juga membutuhkan perhatian khusus. Polisi kerap bertindak brutal dalam menangani unjuk rasa seperti tolak Undang-Undang Cipta Kerja pada Oktober 2020, unjuk rasa mahasiswa dan pelajar saat gerakan #reformasidikorupsi pada September 2019 dan unjuk rasa protes Pemilu pada Mei 2019 tanpa konsekuensi hukum yang jelas dan akuntabel," kata dia.
Tindakan brutal terus terjadi lantaran tidak ada evaluasi menyeluruh dan minimnya pengawasan serta akuntabilitas terkait penggunaan kekuatan dalam menangani unjuk rasa. Sementara itu, faktor lainnya adalah tidak adanya penghukuman secara tegas baik secara pidana maupun etik bagi aparat yang melakukan tindak kekerasan ataupun atasan yang membiarkan tindakan tersebut.
Dengan demikian mereka berpendapat jika masalah ini tidak dievaluasi maka sulit untuk memiliki pemolisian demokratis di bawah kepemimpinan Listyo.
Setidaknya terdapat tiga indikator yakni pertama, melayani kepentingan elite, penguasa atau pemodal. Lalu kedua, tindakan pemolisian yang tak berdasarkan hukum atau penggunaan kekuatan yang eksesif dan ketiga, lemahnya pengawasan terhadap tindak pemolisian.
Atas penjelasannya tersebut, Koalisi Reformasi Sektor Keamanan mendesak Listyo sebagai calon tunggal Kapolri mengevaluasi kembali terkait rencana kebijakan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai pemolisian yang demokratis. Mereka juga meminta Listyo melakukan reformasi internal kepolisian secara keseluruhan dengan:
1. Membatalkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa;
2. Memastikan Polisi memposisikan diri secara netral dalam menyikapi dinamika sosial-politik-ekonomi masyarakat;
3. Mengevaluasi cara Polri mengeluarkan arahan kepada jajarannya dalam bentuk surat telegram yang membatasi kebebasan sipil seperti saat peristiwa penanganan aksi massa penolak UU Cipta Kerja; dan
4. Mengevaluasi penggunaan kekerasan secara eksesif dengan melakukan penegakan hukum dan akuntabilitas secara tegas kepada aparat kepolisian yang telah melakukan kekerasan eksesif dalam menangani aksi massa dan memperbaiki sistem pengawasan internal Polri.