Suara.com - Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan bahwa bencana banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan disebabkan oleh lantaran curah hujan yang tinggi. Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), MR Karliansyah menegaskan, banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan disebabkan oleh anomali cuaca dan bukan soal luas hutan di DAS Barito wilayah Kalsel.
Karliansyah mencatat, berdasarkan data BMKG tanggal 9 sampai 13 Januari 2021 itu 461 mm selama lima hari. “Artinya, delapan hingga sembilan kali dari curah hujan yang normal,” ujar Karliansyah dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (19/1/2021).
DAS Barito Kalsel seluas 1,8 juta hektar hanya merupakan sebagian dari DAS Barito Kalimantan seluas 6,2 juta hektar. DAS Barito Kalsel secara kewilayahan hanya mencakup 39,3 persen kawasan hutan dan 60,7persen Areal Penggunaan Lain (APL) bukan hutan.
Kondisi wilayah DAS Barito Kalsel tidak sama dengan DAS Barito Kalimantan secara keseluruhan. Sangat jelas bahwa banjir pada DAS Barito Kalsel yaitu pada Daerah Tampung Air (DTA) Riam Kiwa, DTA Kurau dan DTA Barabai karena curah hujan ekstrim, dan sangat mungkin dengan recurrent periode 50 hingga 100 tahun.
Baca Juga: Formapshi Tegaskan Tuntutan Batalkan SK KLHK yang Restui Jalan Tambang
Daerah banjir berada pada titik pertemuan 2 anak sungai yang cekung dan morfologinya merupakan meander serta fisiografi-nya berupa tekuk lereng (break of slope), sehingga terjadi akumulasi air dengan volume yang besar.
“Faktor lainnya yaitu beda tinggi hulu-hilir sangat besar, sehingga suplai air dari hulu dengan energi dan volume yang besar menyebabkan waktu konsentrasi air berlangsung cepat dan menggenangi dataran banjir,” kata Karliansyah.
Apa yang dikemukakan Karliansyah ini sekaligus meluruskan pemberitaan beberapa media yang keliru menyatakan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengakui ada pengurangan luas hutan di Kalimantan dalam 10 tahun terakhir yang kemudian menyebar di media sosial. Kekeliruan antara lain karena yang dijelaskan adalah DAS Barito Kalsel, bukan DAS Barito Kalimantan secara keseluruhan.
Dan penjelasan lainnya juga perlu diberikan karena analisis yang dilakukan itu, menggunakan metode analisis kawasan hutan yang tidak sesuai standard dan tidak dengan kalibrasi menurut metode resmi yang dipakai.
“Kami meluruskan soal ini agar tidak terjadi simpang siur informasi di tengah bencana yang dirasakan masyarakat, sekaligus untuk dapat memberi rekomendasi yang tepat bagi para pengambil kebijakan, khususnya pemerintah daerah dalam mitigasi bencana,” ujar Karliansyah.
Baca Juga: Walhi Desak KLHK Batalkan Permen Soal Buka Hutan Untuk Program Food Estate
Seperti diketahui, banjir di Kalsel ini berdampak terhadap 11 dari 13 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan, dengan 3 wilayah diantaranya terdampak cukup besar yaitu Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Banjar, dan Kabupaten Tanah Laut.
Banjir terjadi di sepanjang DAS Barito, yang meliputi Daerah Tangkapan Air (DTA) Barabai, DTA Riam Kiwa dan DTA Kurau. Pada lokasi ini, infrastruktur ekologis yaitu jasa lingkungan pengatur air sudah tidak memadai, sehingga tidak mampu lagi menampung aliran air yang masuk.
Untuk itu KLHK memberikan rekomendasi kepada Pemda dan stakeholder lainnya, yaitu pembuatan bangunan konservasi tanah dan air (sumur resapan, gully plug, dam penahan) terutama pada daerah yang limpasannya ekstrim. Selain itu mempercepat dan memfokuskan kegiatan RHL di daerah sumber penyebab banjir, dan pembuatan bangunan-bangunan pengendali banjir.
''Perlu terobosan-terobosan terkait dengan konservasi tanah dan air, terkait dengan lansekap yang tidak mendukung. Serta pengembangan kebijakan konservasi tanah dan air, dan pengembangan sistem peringatan dini. Beberapa rekomendasi ini telah dijalankan dengan baik bersama Pemda,'' kata Karliansyah.
Pada kesempatan ini, Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH) Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK, Belinda Arunarwati Margono, juga menjelaskan sistem pemantauan hutan, peta tutupan lahan Kalimantan periode 1990 hingga 2019, dan hasil analisis tutupan lahan DAS Barito di Kalsel. Hasil analisis menunjukan bahwa penurunan luas hutan alam DAS Barito di Kalsel selama periode 1990-2019 adalah sebesar 62,8%, dengan penurunan hutan terbesar terjadi pada periode 1990-2000 yaitu sebesar 55,5%.
Belinda menjelaskan, dirinya menunjukkan peta tutupan lahan tersebut untuk meluruskan informasi yang berkembang liar di medsos perihal luas tutupan hutan Kalimantan, yang disebut sebagai penyebab utama banjir.
“Sebagai pemegang mandat pemantauan sumberdaya hutan, data yang ada ini riil, dan bukan prediksi atau estimasi seperti di medsos yang tidak bisa dipertanggungjawabkan,'' tegas Belinda.
Belinda juga menjelaskan bahwa untuk mendapatkan gambaran secara holistik tentang penyebab banjir, perlu dilakukan kajian untuk keseluruhan DAS utama di wilayah banjir. Kajian dilakukan terutama pada DAS Barito yang merupakan DAS utama, dengan perhatian khusus pada wilayah hulu DAS.
DAS Barito dengan luas total lebih kurang 6,2 juta ha melintasi empat provinsi yaitu Kalteng, Kalsel, Kaltim, dan Kalbar. Untuk luasan DAS Barito di Provinsi Kalimantan Selatan sendiri seluas lebih kurang 1,8 juta hektar atau setara 29 persen.
Berdasarkan data Ditjen PKTL KLHK Tahun 2019, kondisi hulu DAS Barito 80,8 persen tutupan hutan dengan proporsi 79,3 persen tutupan hutan alam dan sisanya 1,4 persen salah alah hutan tanaman. Sedangkan dari 19,3 persen penutupan bukan hutan alam, terdiri dari mayoritas semak belukar dan pertanian campur.
Lebih lanjut, seluas 94.5 persen total wilayah Hulu DAS merupakan Kawasan Hutan, dengan 83,3 rtutupan hutan alam dan sisanya 1,3 persen adalah hutan tanaman. Sementara 15,4 penutupan bukan hutan alam yaitu mayoritas semak belukar dan pertanian campur.
DAS Barito di Kalsel memiliki proporsi 39,3 persen kawasan hutan dan 60,7 persen Areal Penggunaan Lain (APL). Khusus untuk kawasan hutan yakni seluas 718.591 Ha, sebanyak 43,3 persen arealnya berhutan, dan 56,7 persen tidak berhutan.
“DAS disini ini memang didominasi lahan untuk masyarakat atau disebut Areal Penggunaan Lain yang bukan merupakan Kawasan Hutan,” tuturnya.
Sementara itu, Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian DAS (PEPDAS) KLHK M. Saparis Soedarjanto mengatakan pihaknya terus berupaya untuk mengurangi areal tidak berhutan melalui revegetasi atau penanaman pohon khususnya pada areal lahan kritis.
“Rehabilitasi DAS di Kalsel sangat massif dilakukan. Data kegiatan rehabilitasi dengan penanaman pohon tahun 2019-2020 di DTA Banjir Kabupaten Tanah Laut (DTA Kurau) seluas 155 ha, di DTA Riam Kiwa seluas 4.341 hektar, dan di DTA Barabai seluas 395,5 ha. Karena baru massif dilakukan beberapa tahun terakhir, mungkin belum terlihat jelas di peta, tapi nanti beberapa tahun lagi akan terlihat,” jelas Saparis.
Dalam catatan KLHK, kegiatan rehabilitasi di Kalsel juga termasuk yang intensif dan sistematis dilakukan bersama dengan kebijakan pemerintah daerah. Upaya lain untuk pemulihan lingkungan dilakukan dengan memaksa kewajiban reklamasi atas izin-izin tambang.
Dalam hal reaksi cepat penanganan banjir Kalsel, KLHK juga telah menurunkan satuan kerjanya untuk membantu masyarakat terdampak bencana. Diantaranya dengan menurunkan anggota BKSDA Kalsel dan Daops Manggala Agni membantu misi kemanusiaan.