Suara.com - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menyatakan bahwa action plan untuk membebaskan Djoko Tjandra dari eksekusi pidana memang menyebutkan soal king maker.
"Menimbang bahwa dalam file action plan tersebut disebut sosok sebagai king maker, menimbang bahwa sosok king maker ditemukan dalam komunikasi chat menggunakan aplikasi whatsapp antara nomor Pinangki dengan Anita Kolopaking dan juga tertuang dalam BAP nama saksi Rahmat, berdasarkan bukti elektronik menggunakan aplikasi WA yang di persidangan isinya dibenarkan saksi Pinangki, Anita Kolopaking, dan Rahmat telah terbukti benar adanya sosok 'king maker' tersebut," kata ketua majelis hakim Ignatius Eko Purwanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (18/1/2021).
Hal itu terungkap dalam pertimbangan vonis untuk terdakwa Andi Irfan Jaya. Namun sosok king maker tersebut tidak juga terungkap.
"Menimbang bahwa majelis berupaya menggali siapa sosok 'king maker' tersebut dengan menanyakan kepada saksi-saksi terkait, karena sosok tersebut disebut dalam 'chat' yang diperbincangkan oleh saksi Pinangki pada pertemuan dengan Anita, Rahmat, dan saksi Djoko Tjandra pada 19 November 2019 di The Exchange Kuala Lumpur, namun tetap tidak terungkap dalam persidangan," kata hakim Ignatius.
Baca Juga: Sebut Saksi Keliru, Joko Tjandra: Nama Depan Saya Tak Pakai Ejaan 'D'
Dalam putusannya, majelis hakim menjatuhkan vonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 4 bulan kurungan Andi Irfan Jaya, karena terbukti membantu jaksa Pinangki Sirna Malasari menerima suap sebesar 500 ribu dolar AS sekaligus melakukan pemufakatan jahat.
Vonis tersebut lebih tinggi dibanding dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Agung yang meminta agar Andi Irfan divonis 2,5 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 4 bulan kurungan.
"Tuntutan jaksa penuntut umum dipandang terlalu rendah, sedangkan amar putusan dipandang adil dan tidak bertentangan dengan rasa keamanan masyarakat," ujar hakim Ignatius.
Andi Irfan Jaya selaku konsultan dinilai bertanggung jawab untuk membuat proposal aksi (action plan) untuk Djoko Tjandra, sehingga tidak harus menjalani hukuman pidana.
"Terdakwa selaku konsultan bertugas untuk meredam pemberitaan bagi Djoko Tjandra ketika kembali ke Indonesia sekaligus dipercaya sebagai pembuat action plan, misalnya untuk tindakan ini penanggung jawabnya siapa yang dituangkan dalam action plan dengan biaya 600 ribu dolar AS untuk terdakwa, sehingga unsur sengaja memberikan perbuatan pembantuan telah dipenuhi dalam perbuatan terdakwa," katanya.
Baca Juga: Dibantah Kejagung, Pinangki Tak Pernah Bocorkan Persembunyian Djoko Tjandra
Karena bertugas untuk mengurus urusan lain-lain, maka Andi Irfan mendapat janji memperoleh 600 ribu dolar AS.
"Down payment (DP) 50 persen berupa uang sebesar 500 ribu dolar AS benar telah diterima Pinangki Sirna Malasari melalui terdakwa, dan sebagian yaitu 50 ribu dolar AS diserahkan Pinangki kepada Anita Kolopaking sebagai DP 'lawyer' sesuai biaya kesepakatan untuk menyelesaikan masalah hukum Djoko Tjandra kepada Anita Kolopaking sebesar 400 ribu dolar AS dan urusan lain-lain untuk terdakwa sebesar 600 ribu dolar AS," kata hakim Ignatius.
Menurut hakim, dengan sisa uang muka sebesar 450 ribu dolar AS masih ada dalam penguasaan Pinangki, maka dikategorikan sudah ada pemberian kepada Pinangki selaku pegawai negeri.
"DP 50 persen sebesar 500 ribu dolar AS itu adalah bagian dari keseluruhan uang yang dijanjikan Djoko Tjandra yang dituangkan dalam "action plan" dengan bagian terdakwa sebesar 600 ribu dolar AS untuk urusan lain-lain adalah juga janji pemberian dari Djoko Tjandra kepada Pinangki, sehingga unsur menerima janji atau pemberian telah terpenuhi dalam perbuatan jaksa Pinangki," ujar hakim Ignatius.
Dalam dakwaan kedua alternatif kedua Andi Irfan Jaya didakwa melakukan pemufakatan jahat dengan Pinangki Sirna Malasari dan Djoko Tjandra, yaitu untuk memberikan uang sebesar 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan di Mahkamah Agung.
Tujuannya adalah agar pejabat di Kejaksaan Agung dan di MA memberikan fatwa MA melalui Kejaksaan Agung, sehingga Djoko Tjandra dapat kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana dengan cara-cara yang dilakukan sama seperti diuraikan dalam dakwaan pertama. [Antara]