Serangan Pendukung Trump ke Gedung Capitol Ingatkan Pemberontakan 1898

SiswantoBBC Suara.Com
Senin, 18 Januari 2021 | 15:43 WIB
Serangan Pendukung Trump ke Gedung Capitol Ingatkan Pemberontakan 1898
Kisah kudeta [BBC]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Amuk massa, kemarahan yang dipicu sejumlah politikus, penghancuran sebuah kota, hingga penjatuhan paksa pemerintahan yang sah.

Setelah pemilihan di tingkat negara bagian pada tahun 1898, kelompok supremasi kulit putih bergerak menuju ke pelabuhan Wilmington, di North Carolina, AS.

Wilmington saat itu merupakan kota terbesar di negara bagian North Carolina. Di pelabuhan tersebut, geng supremasi kulit putih itu menghancurkan usaha milik orang kulit hitam.

Kelompok itu juga membunuh orang-orang berkulit hitam dan memaksa pemerintah lokal yang baru saja terpilih, yang dijabat politisi dengan latar belakang warna kulit berbeda, untuk membubarkan diri.

Baca Juga: Bawa Senjata dan 500 Amunisi, Seorang Pria Ditahan Petugas Keamanan Capitol

Beberapa sejarawan menyebut peristiwa itu sebagai satu-satunya kudeta yang pernah terjadi dalam sejarah AS.

Pemimpin kelompok supremasi kulit putih dengan cepat mengambil alih kekuasaan pada hari pemberontakan itu. Mereka menerbitkan undang-undang baru untuk mencabut hak suara dan hak sipil penduduk berkulit hitam di North Carolina.

Hingga mereka wafat, orang-orang yang menggulingkan pemerintahan sah itu tidak menghadapi konsekuensi hukum apapun.

Peristiwa Wilmington kembali mencuat usai kelompok pendukung Donald Trump menyerbu gedung legislatif, Capitol Hill, 6 Januari lalu, untuk menghentikan pengesahan hasil pemilihan presiden.

Lebih dari 120 tahun setelah pemberontakan di Wilmington, kota ini sekarang masih berusaha berdamai dengan masa lalu mereka yang penuh kekerasan.

Baca Juga: Pengamanan Ekstra Ketat Jelang Pelantikan Presiden Baru AS

Setelah perang saudara di AS antara kelompok pro-persatuan dan kelompok konfederasi berakhir tahun 1865, praktik perbudakan di seluruh negara yang baru bersatu kembali itu dilarang.

Para politisi di Washington DC mengesahkan sejumlah perubahan konstitusi yang memberikan kebebasan dan hak kepada mantan budak. Tentara pun ditugaskan untuk menegakkan kebijakan ini.

Namun banyak kelompok warga di wilayah selatan AS membenci perubahan itu. Selama beberapa dekade setelah perang saudara, muncul gerakan untuk membatalkan kebijakan integrasi populasi kulit hitam ke masyarakat.

Pada tahun 1898, Wilmington adalah kota pelabuhan besar yang makmur. Populasi kelas menengah berkulit hitam di sana bertumbuh dan perlahan meraup kesuksesan.

Meski begitu, tak diragukan lagi bahwa setiap hari orang-orang keturunan Afrika-Amerika masih terus menghadapi prasangka dan diskriminasi.

Banyak bank, misalnya, menolak memberikan pinjaman kepada orang kulit hitam atau memberikan suku bunga yang lebih berat.

Namun 30 tahun setelah perang saudara, keturunan Afrika-Amerika di bekas negara bagian Konfederasi seperti North Carolina perlahan-lahan mendirikan bisnis, membeli rumah, dan menggunakan kebebasan mereka.

Wilmington bahkan menjadi rumah bagi apa yang dianggap sebagai satu-satunya 'surat kabar kulit hitam' di negara itu pada saat itu, Wilmington Daily Record.

"Keturunan Afrika-Amerika menjadi cukup sukses," kata profesor ilmu sejarah di Yale University, Glenda Gilmore, kepada BBC.

"Mereka menjalani pendidikan tinggi di universitas, tingkat melek huruf dan kepemilikan properti mereka meningkat," tuturnya.

Keberhasilan kelompok kulit hitam ini terjadi di seluruh negara bagian North Carolina, tidak hanya secara sosial tetapi juga politik.

Pada tahun 1890an, koalisi politik hitam dan putih alias kaum fusi yang mendambakan peleburan masyarakat memenangkan semua jabatan publik di seluruh negara bagian itu, termasuk kursi gubernur.

Pada tahun 1898, politisi fusionis berkulit hitam dan putih juga dipilih untuk memimpin pemerintah kota Wilmington.

Namun reaksi keras muncul terhadap situasi itu, salah satunya dari Partai Demokrat. Pada tahun 1890-an, profil Partai Demokrat dan Partai Republik sangat berbeda dengan citra serta kebijakan mereka sekarang.

Partai Republik, yang salah satu figur pentingnya adalah Presiden Abraham Lincoln, saat itu lebih condong pada kebijakan integrasi rasial setelah perang saudara. Mereka juga menginginkan unifikasi negara bagian.

Sementara itu, Partai Demokrat menentang banyak perubahan di AS. Mereka secara terbuka menuntut pemisahan berbasis rasial dan hak yang lebih besar untuk setiap negara bagian.

"Bayangkan partai Demokrat pada tahun 1898 sebagai partai kelompok supremasi kulit putih," kata LeRae Umfleet, pejabat urusan arsip nasional sekaligus penulis buku tentang pemberontakan Wilmington berjudul A Day of Blood.

Demokrat cemas kaum fusi, yang mencakup anggota Partai Republik berkulit hitam serta para petani miskin berkulit putih akan mendominasi pemilu tahun 1898.

Pemimpin Demokrat lantas meluncurkan kampanye pemilu yang secara eksplisit menjual gagasan supremasi kulit putih. Mereka menggunakan segala daya memenangkan pemilu.

"Itu adalah upaya kolektif dan terkoordinasi yang memanfaatkan media massa, melibatkan pembuat pidato, dan menggunakan taktik intimidasi untuk memastikan kaum supremasi kulit putih memenangkan pemilu 1898," kata Umfleet.

Milisi dari kelompok supremasi kulit putih dengan menunggang kuda menyerang orang-orang kulit hitam dan mengintimidasi calon pemilih.

Hal itu juga dilakukan milisi Red Shirts, kelompok yang dinamai demikian karena seragam mereka yang berwarna merah.

Ketika orang-orang kulit hitam di Wilmington mencoba membeli senjata untuk melindungi properti mereka, para pemilik toko yang berkulit putih menolak.

Para penjual senjata itu kemudian justru membuat daftar orang kulit hitam yang mencari senjata dan amunisi.

Sejumlah surat kabar ketika itu menyebarkan tuduhan bahwa orang-orang keturunan Afrika-Amerika ingin mendapatkan kekuasaan politik. Tujuannya, klaim informasi yang tidak terbukti itu, adalah agar laki-laki kulit hitam dapat berhubungan seksual dengan wanita kulit putih.

Muncul pula berbagai berita bohong bahwa laki-laki kulit hitam memperkosa perempuan kulit putih.

Alexander Manly, pemilik sekaligus penyunting berita di surat kabar Wilmington Daily Record, menerbitkan editorial yang mempertanyakan tuduhan pemerkosaan itu.

Manly juga berkata bahwa perempuan kulit putih dapat berhubungan dengan laki-laki kulit hitam atas kehendak bebas mereka sendiri.

Tulisan tersebut memicu kemarahan Partai Demokrat. Manly kemudian menjadi target kampanye kebencian para politisi Demokrat.

Dalam pidatonya sehari sebelum pemilu di North Carolina tahun 1898, politisi Demokrat, Alfred Moore Waddell, menuntut orang-orang kulit putih untuk "menjalankan kewajiban".

"Pergi ke tempat pemungutan suara besok, dan jika Anda menemukan orang kulit hitam keluar dari sana, katakan kepadanya untuk meninggalkan lokasi itu. Dan jika dia menolak, tembak dia," kata Waddell.

"Besok kita akan menang, termasuk jika kita harus meraihnya dengan senjata," ujar Waddell dalam pidatonya.

Dan Partai Demokrat akhirnya memang meraih kemenangan dalam pemilihan negara bagian. Banyak pemilih dipaksa meninggalkan tempat pemungutan suara dengan todongan senjata.

Sebagian mereka juga enggan menggunakan hak pilih karena cemas menjadi target kekerasan.

Namun politisi dari kelompok fusi kulit hitam-kulit putih tetap berkuasa di Wilmington karena pemilihan pejabat pemerintahan kota baru akan bergulir tahun berikutnya.

Dua hari setelah pemilihan negara bagian, Waddell dan ratusan orang kulit putih, bersenjatakan senapan dan senjata Gatling, pergi ke pusat kota dan membakar kantor surat kabar Wilmington Daily Record.

Mereka kemudian berpencar ke seluruh kota untuk membunuh orang kulit hitam dan menghancurkan bisnis mereka.

Massa kulit putih itu terus membesar seiring berlalunya hari.

Saat penduduk kulit hitam melarikan diri ke hutan di pinggiran kota, Waddell dan kelompoknya berbaris ke balai kota. Sambil menodongkan senjata, mereka memaksa seluruh pejabat pemerintahan Wilmington mengundurkan diri.

Sore itu, Waddell ditetapkan sebagai wali kota.

"Itu adalah pemberontakan besar-besaran melawan pemerintah negara bagian dan pemerintah lokal," kata Profesor Gilmore.

Dalam dua tahun kudeta itu, kaum supremasi kulit putih di North Carolina memberlakukan undang-undang segregasi baru. Mereka menghapus suara orang kulit hitam melalui tes melek huruf dan penerapan biaya untuk hak pilih.

Jumlah pemegang hak suara dalam pemilu dari kelompok keturunan Afrika-Amerika turun dari 125.000 orang pada tahun 1896 menjadi sekitar 6.000 tahun 1902.

"Orang kulit hitam di Wilmington tidak pernah membayangkan hal seperti ini akan terjadi," kata Profesor Gilmore.

"Ada seorang gubernur dari Partai Republik di negara bagian itu, anggota kongres mereka juga berkulit kulit hitam.

"Mereka mengira keadaan mereka sebelum itu telah berangsur membaik. Yang kita pelajari dari pemberontakan itu adalah ketika kondisi orang kulit hitam menjadi lebih baik, orang kulit putih akan lebih keras menghalanginya."

Deborah Dicks Maxwell adalah pimpinan cabang Asosiasi Nasional untuk Kemajuan Orang Kulit Berwarna [NAACP] di Wilmington. Walau lahir dan dibesarkan di kota itu, sampai berusia tiga puluhan tahun, dia tidak mengetahui kisah ini.

"Hal ini adalah hal yang diketahui orang-orang di Wilmington, tapi tidak banyak dibicarakan," katanya.

"Perisitwa ini tidak tercantum dalam kurikulum sekolah. Tidak ada yang mau mengakui peristiwa ini benar-benar terjadi," ujarnya.

Baru pada tahun 1990-an Wilmington mulai membahas masa lalu mereka. Pada tahun 1998, pemerintahan setempat memperingati 100 tahun penyerangan itu.

Dua tahun kemudian, mereka membentuk komisi untuk mengungkap berbagai fakta terkait peristiwa tersebut.

Sejak saat itu, otoritas kota Wilmington telah memasang penanda di sejumlah titik penting untuk memperingati peristiwa tersebut. Mereka juga membangun Tugu dan Taman Peringatan Peristiwa 1898.

Bagi Dicks Maxwell, langkah itu "kecil tapi penting".

Merujuk apa yang pernah terjadi di Wilmington, banyak warga dan sejarawan dari kota itu yang menyamakan serangan pendukung Trump ke Gedung Capitol dengan pemberontakan tahun 1898.

Dicks Maxwell dan lembaganya selama ini menyoroti apa yang mereka anggap sebagai kesamaan antara yang terjadi di Wilmington dan upaya menolak hasil pemilihan presiden tahun lalu.

"Pada hari itu, sebelum serangan ke Gedung Capitol terjadi, kami mengadakan konferensi pers untuk mengecam anggota kongres lokal yang mendukung Trump," ujarnya.

"Kami mengatakan bahwa akan ada kemungkinan kudeta dan kami tidak ingin kudeta lagi terjadi di negara ini," kata Dicks Maxwell.

Hanya beberapa jam usai jumpa pers itu, massa pendukung Trump menyerbu Gedung Capitol.

Christopher Everett adalah pembuat film dokumenter yang membuat film tentang pemberontakan tahun 1898, yang berjudul Wilmington on Fire.

Ketika Everett melihat penyerangan di Capitol, pikirannya melayang ke peristiwa yang pernah terjadi di Wilmington.

"Tidak ada yang dimintai pertanggungjawaban atas pemberontakan tahun 1898. Itu membuka segala penghambat, terutama di wilayah AS bagian selatan, untuk mencabut hak sipil orang keturunan Afrika-Amerika," ujarnya.

"Itu hal pertama yang terlintas di benak saya setelah pemberontakan di Gedung Capitol. Anda membuka penghambat terjadinya peristiwa serupa atau bahkan yang lebih buruk," kata Everett.

Kudeta tahun 1898 sebenarnya tidak ditutup-tutupi. Nama para pemrakarsa pemberontakan itu dijadikan nama berbagai gedung universitas, sekolah, dan bangunan publik di seluruh North Carolina.

Banyak laki-laki kulit putih, pada waktu itu, mengklaim ikutl bagian dalam serangan itu untuk meningkatkan kedudukan mereka di Partai Demokrat.

Beberapa dekade setelahnya, buku sejarah mulai mengklaim bahwa serangan itu adalah kerusuhan ras yang digagas populasi kulit hitam. Kelompok kulit putih justru disebut sebagai pihak yang menghentikan kericuhan itu.

"Bahkan setelah pembantaian itu, banyak orang-orang yang berpartisipasi dan menggagas pemberontakan dikenang secara abadi. Nama mereka dilekatkan pada patung dan bangunan di seluruh penjuru negara, terutama di North Carolina," kata Everett.

Charles Aycock, salah satu pencetus kampanye supremasi kulit putih, menjadi gubernur Carolina Utara pada tahun 1901. Patungnya berdiri di Gedung Capitol yang dimasuki para perusuh, 6 Januari lalu.

Everett tengah memfilmkan sekuel dokumenter untuk menelisik bagaimana Wilmington bergulat dengan masa lalu yang kelam.

"Banyak pemimpin lokal berusaha mengembalikan Wilmington ke era tahun 1897, ketika gerakan kaum Fusi kulit putih dan kulit hitam bekerja bersama dan menjadikan kota ini contoh terbaik yang bisa tercapai usai perang saudara," kata Everett.

Wilmington, menurut Everett, dulu adalah cerminan gerakan supremasi kulit putih dengan pemberontakan yang mereka lakukan.

"Tapi sekarang Wilmington juga bisa menjadi contoh untuk menunjukkan bagaimana kita bisa saling bekerja sama dan mengatasi noda yang pernah ditorehkan kelompok supremasi kulit putih," tuturnya.

REKOMENDASI

TERKINI