Gaya Komunikasi Publik Obama dan Trump, Ini yang Dapat Dipelajari Indonesia

Chandra Iswinarno Suara.Com
Sabtu, 16 Januari 2021 | 18:51 WIB
Gaya Komunikasi Publik Obama dan Trump, Ini yang Dapat Dipelajari Indonesia
Barack Obama dan Donald Trump. [AFP]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Makna post-truth sesungguhnya adalah dikaburkannya publik dari fakta-fakta obyektif. Kini, orang hanya mendengar dan percaya pada apa ia mau dengar dan percaya. Orang kini makin enggan dan sulit untuk berpikir jernih dan bersikap netral. Sebuah sikap apatis yang sesungguhnya sangat berbahaya di tengah gempuran informasi akibat disrupsi teknologi digital.

Teknik ini pun sebenarnya merupakan warisan lama komunikator politik AS yang diungkap oleh Steve Tesich dalam artikelnya berjudul “The Goverment of Lies”, yang dimuat majalah The Nation tahun 1992.

Ia menggambarkan bagaimana skandal Watergate dan Perang Teluk Persia tetap dapat membuat tenang dan nyaman warga AS, meski dua insiden tersebut dipenuhi banyak kebohongan. Usai dua peristiwa itu, muncul anggapan bahwa opini publik dapat dibentuk via hoaks.

Sementara, perang narasi dan pembentukan opini yang dilancarkan oleh tim komunikasi Trump telah berkembang menjadi ujaran kebencian yang makin terinternalisasi di kalangan para pengusung white supremacist. Silang sengkarut ini menimbulkan keprihatinan dan membangkitkan kesadaran etika para pengguna, pemilik, serta pengelola media sosial.

Ilustrasi (Foto: shutterstock)
Ilustrasi (Foto: shutterstock)

Kini tumbuh cancel-culture atau pengucilan seseorang di ranah media sosial, sebagai bentuk sanksi sosial, apabila pendapat atau sikap seseorang dianggap tidak populer.

Operator media sosial dan perusahaan teknologi juga menunjukkan reaksi ‘deplatforming’ dalam bentuk penutupan akses, pencekalan akun, atau seleksi kata-kata kunci untuk menangkal ujaran kebencian, ajakan berbuat kekerasan, dan dorongan untuk melakukan makar. Ini dilakukan oleh Twitter yang akhirnya memblokir akun Twitter Presiden Trump @realDonaldTrump pada 9 Januari 2020 lalu.

Hal ini diharapkan dapat mengembalikan netralitas informasi, memulihkan obyektivitas perspektif, serta membebaskan pembuatan keputusan dan pemilihan sikap publik. Dan yang paling penting adalah: menyembuhkan hati nurani rakyat.

Pelajaran Penting untuk Indonesia

Tulisan ini sebenarnya mengingatkan kita akan pesan sederhana; bahwa seni komunikasi amatlah strategis dan bagaikan pisau bermata dua.

Baca Juga: Mengapa Keamanan di Gedung Capitol Bisa Ditembus?

Para praktisi komunikasi dan humas profesional, pers, serta operator media sosial, dan perusahaan teknologi, perlu bersikap lebih cerdas dan waspada jika kapasitasnya dimanfaatkan sebagai spin-doctor bagi gagasan-gagasan di luar amanah konstitusi, hingga akhirnya menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan.  

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI