Suara.com - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bersama Kemenkumham dan DPD RI menyetujui 33 rancangan undang-undang (RUU) masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2021.
Terkait itum The Indonesian Institute, Centre for Public Policy Research menilai jumlah RUU tersebut hanya mencerminkan kepentingan kuantitas.
Peneliti Bidang Politik TII, Rifqi Rachman, belajar dari Prolegnas Prioritas 2020, hanya ada tiga dari 37 RUU yang akhirnya berhasil diundangkan dalam satu tahun.
"Jumlah keseluruhan RUU yang ada di daftar Prolegnas Prioritas 2021 masih mencerminkan orientasi pada kuantitas. Hal ini selalu menjadi persoalan klasik lembaga legislatif," kata Rifqi dalam keterangan tertulisnya, Jumat (15/1/2021).
Baca Juga: Baleg DPR Sahkan 33 Prolegnas Prioritas 2021
Kemudian kondisi krisis kesehatan karena Covid-19 yang masih berlangsung juga tidak dipertimbangkan oleh pihak DPR RI saat membahas Prolegnas Prioritas 2021.
"Padahal hal itu berdampak kepada teknis pelaksanaan rapat-rapat yang dilakukan oleh anggota legislatif yang banyak menggunakan medium daring. Tentu ini akan berdampak pada berkurangnya efekivitas rapat yang berlangsung," kata Rifqi.
Kemudian Rifqi juga memberikan catatan untuk DPR RI terkait pembahasan Prolegnas Prioritas 2021. Yang pertama ialah setiap tahapan yang berlangsung dalam memformulasikan RUU semestinya menghadirkan kepastian akan transparansi dan akuntabilitas, termasuk soal aksesibilitas pada pembaharuan informasi di laman resmi DPR RI.
Menurutnya di laman resmi Prolegnas masih sering tertinggal dalam mengunggah informasi terbaru dari proses formulasi RUU.
Rifqi mencontohkan pada rapat yang dilakukan oleh Panja RUU PDP. Laman dpr.go.id masih belum mencatatkan rapat terakhir yang berlangsung pada 12 Januari 2021 lalu.
Baca Juga: Gempa Mamuju-Majene, Ketua DPR Minta Operasi Tanggap Darurat Secara Total
"Hal ini tentu membuat proses pengawasan publik pada tahapan perbaikan substansi RUU sulit untuk dihadirkan," ujarnya.
Lebih lanjut, Rifqi juga menilai kalau terbukanya ruang partisipasi bagi masyarakat adalah hal penting lain yang juga perlu dipastikan keberadaannya. Hal tersebut termasuk pada pilihan-pilihan yang diambil DPR dalam merespon kritik masyarakat, bahkan yang diekspresikan melalui aksi massa.
"Institusi legislatif sepatutnya mengakomodir pandangan yang muncul, serta melindungi proses penyampaiannya. Tidak justru menghalangi kritik yang hadir, misalnya melalui demonstrasi, dengan memasang barikade anggota kepolisian di hadapan para demonstran," tuturnya.
"Adanya sejumlah RUU yang menarik perhatian masyarakat, seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, pasti menghadirkan dialog yang seringkali terbentuk dalam posisi pro dan kontra. Pada momen seperti inilah, DPR justru harus hadir dan menjadi wadah yang menerima pandangan semua posisi."