Suara.com - Pesawat Sriwijaya Air SJ182 diduga tidak meledak sebelum membentur permukaan laut Kepulauan Seribu, saat kecelakaan hari Sabtu (9/1/2021).
Hal tersebut adalah kesimpulan awal Komite Nasional Keselamatan Transportasi atau KNKT berdasarkan data temuan, Selasa (12/1).
Dalam keterangan tertulis KNKT, pesawat tersebut masih terekam radar saat mencapai ketinggian 10.900 kaki pada pukul 14.40 WIB.
Namun, pada pukul 14.36 WIB, tercatat pesawat mulai turun dan data terakhir pesawat pada ketinggian 250 kaki.
Baca Juga: Beredar Diduga Rekaman Percakapan Pilot Sriwijaya Air Sebelum Jatuh
Terekamnya data sampai dengan 250 kaki, menurut KNKT, mengindikasikan bahwa sistem pesawat masih berfungsi dan mampu mengirim data.
"Dari data ini kami menduga bahwa mesin masih dalam kondisi hidup sebelum pesawat membentur air," kata Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono, yang mendapat data radar (ADS-B) dari Perum LPPNPI (Airnav Indonesia).
Data lapangan lain yang didapat KNKT dari KRI Rigel adalah sebaran serpihan pesawat memiliki besaran dengan lebar 100 meter dan panjang 300-400 meter.
"Luas sebaran ini konsisten dengan dugaan bahwa pesawat tidak mengalami ledakan sebelum membentur air" tutur Soerjanto.
Elemen ketiga yang menguatkan dugaan ini adalah temuan turbin dengan bilah kipas yang mengalami kerusakan.
Baca Juga: Begini Penampakan Kotak Hitam Pesawat Sriwijaya Air SJ 182
"Kerusakan pada fan blade menunjukkan bahwa kondisi mesin masih bekerja saat mengalami benturan. Hal ini sejalan dengan dugaan sistem pesawat masih berfungsi sampai dengan pesawat pada ketinggian 250 kaki" jelas Soerjanto.
Pada perkembangan lain, KNKT menyatakan menerima bantuan alat ping locator dari Singapura untuk mencari black box atau kotak hitam pesawat Sriwijaya Air Boeing 737-500 yang jatuh.
Pernyataan KNKT menyebutkan "peralatan ping locator yang sedang dioperasikan milik KNKT mengalami kendala teknis atau kerusakan alat... Jadi dengan pertimbangan tersebut dan agar kotak hitam cepat ditemukan maka bantuan peralatan sangat dibutuhkan."
Selain alat itu, Wakil Ketua KNKT, Haryo Satmiko mengklaim pihaknya memiliki peralatan, laboratorium dan personel yang mumpuni dan terlatih.
Namun demikian, pengamat penerbangan, Ruth Hana Simatupang, meminta KNKT agar sebanyak-banyaknya mengumpulkan data untuk disandingkan dengan fakta yang ditemukan ketika menganalisa. Kekurangan data akan membuat proses penyelidikan semakin lama.
Sejauh ini, Tim Inafis Polri berhasil mengidentifikasi satu jenazah korban pesawat Sriwijaya Air, melalui sidik jari.
Black box pesawat Sriwijaya Air Boeing 737-500 dengan nomor penerbangan SJ-182 berada di sekitar 140 meter dan 100 meter dari sekitar Pulau Lancang dan Pulau Laki.
Wakil Ketua KNKT, Haryo Satmiko, mengatakan pencarian peralatan vital tersebut menggunakan Kapal Baruna Jaya IV milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Kapal tersebut dibekali perangkat teknologi sinyal sonar yang mampu mendeteksi bentuk atau objek di permukaan laut sedalam 2.500 meter.
Dalam pelbagai kasus pencarian black box, kata Haryo Satmiko, pihaknya kerap mengandalkan kapal ini.
Secara kemampuan, klaimnya, KNKT mampu menyelidiki kecelakaan pesawat tanpa bantuan negara lain.
Kalaupun membutuhkan pertolongan, yang akan didatangkan adalah investigator dari perusahaan pembuat pesawat dan penyelidik dari negara asal penumpang berkewarganegaraan asing.
Dalam kasus Sriwijaya Air SJ-182, seluruh penumpang merupakan warga Indonesia. Maka, KNKT hanya akan mengundang investigator dari Boeing di Amerika Serikat untuk terlibat.
"Jadi kita bisa terima bantuan dari mereka (Boeing)," sambungnya.
Haryo Sujatmiko menjelaskan, KNKT memiliki waktu setahun untuk menuntaskan penyelidikan kecelakaan pesawat.
Dalam proses penyelidikan, setidaknya ada lima tahapan yang dilakukan. Mulai dari persiapan, turun ke lapangan, pengumpulan data, analisis, dan membuat kesimpulan atau laporan akhir.
Sejauh ini, KNKT berada di tahap kedua, yakni mengumpulkan data sebanyak mungkin dari pelbagai pihak untuk disandingkan dengan temuan dari black box.
Data yang hingga kini sudah dikantongi, menurut Haryo, di antaranya rekaman pembicaraan antara pilot Sriwijaya Air dengan petugas lalu lintas udara. Hal lain berupa puing-puing pesawat Sriwijaya.
Potongan bangkai pesawat itu nantinya diteliti apakah ledakan terjadi di udara atau di dalam air.
Adapun pengumpulan data dari maskapai, baru dilakukan Senin (11/01).
"Datanya mulai dari sisi pesawat, kru, sumber daya manusia," imbuhnya.
Ia juga menambahkan, jika black box telah ditemukan dan berhasil diangkat, proses selanjutnya adalah mengunggah informasi yang terekam di Flight Data Recorder (FDR) dan Voice Data Recorder (VDR).
"Kalau sudah lengkap semua data, terakhir menyesuaikan dengan black box, jantungnya dari semua data karena black box enggak akan bisa berbohong."
"Untuk membaca informasi black box ditambah dengan analisa perlu waktu setahun."
Pengamat penerbangan, Ruth Hana Simatupang, menyarankan KNKT agar mengumpulkan sebanyak-banyaknya data untuk disandingkan dengan informasi yang terekam dalam di FDR dan VDR.
Sebab data yang minim membuat proses penyelidikan semakin lama.
Ruth merujuk pada investigasi kasus jatuhnya pesawat Silk Air MI-185 di Sungai Musi pada 1997. Proses penyelidikan, katanya, memakan waktu hingga dua tahun karena kekurangan data.
"Pada waktu itu, tidak dapat suatu data yang mendukung pesawat itu jatuh di Sungai Musi karena kesengajaan atau salah satu alat pesawat yang rusak. Itu enggak berani menyimpulkan dan banyak spekulasi beredar di luar," kata Ruth yang juga mantan investigator KNKT ini.
"Makanya bagian paling sulit itu kalau kita kekurangan data. Karena analisis merupakan olahan data dan fakta saling berkaitan."
"Misalnya data apakah komponen mesin pesawat itu semuanya buatan Boeing atau bukan? Kalau ternyata dari Prancis atau dari Jerman, nah artinya harus memanggil investigator dari mereka."
"Jadi banyak pihak yang harus diperhitungkan nantinya."
Ruth juga meminta publik tidak menekan kerja KNKT agar segera membuka penyebabkan kecelakaan. Sebab hal itu akan memengaruhi kerja para investigator.
"Bekerja di bawah tekanan tidak baik. Biarkan mereka mengolah data dengan tenang, enggak usah diburu-buru."
Pada Senin (11/01) Basarnas menyebut sejumlah temuan dalam pencarian pesawat dan penumpang Sriwijaya Air SJ-182.
Kepala Basarnas, Marsekal Madya TNI Purnawirawan Bagus Puruhito, mengatakan temuan itu berupa 10 kantong berisi potongan atau bagian kecil dari badan pesawat dan 16 potong berukuran besar.
Selain itu, Basarnas juga telah mengumpulkan 18 kantong jenazah yang berisi bagian tubuh.
"Untuk 18 kantong jenazah dan enam pakaian sudah kami serahkan ke DVI (Disaster Victim Identification) Polri dan sedang diproses untuk diidentifikasi," ujarnya.
Adapun Tim Inafis Polri berhasil mengidentifikasi sidik jari jenazah atas nama Okky Bisma.
"Ante post mortem telah kerja hari ini, tim lakukan rekonsiliasi atau pencocokan data ante dan post hasil rekonsiliasi tersebut pada sore ini, tim dapat identifikasi salah satu korban kecelakaan, yaitu atas nama Okky Bisma," kata Kepala Biro Penerangan Mabes Polri, Rusdi Hartono kepada wartawan, Senin (11/01).