Meskipun demikian, bila penyelam menemukan kotak hitam yang berisi data penerbangan, maka benda itu tetap harus dievakuasi.
Walaupun memang berdasarkan informasi Basarnas, TNI AL pada hakikatnya telah menemukan keberadaan benda penting tersebut.
Namun, saat ini kondisi di bawah laut kurang mendukung karena derasnya arus serta diperparah dengan kondisi lumpur sekitar 30 sentimeter di beberapa titik. Sehingga dikhawatirkan keberadaannya yang sudah diketahui itu malah berpindah.
Salah seorang penyelam pencari korban pesawat Sriwijaya Air Bripka Jefry Manik Bintara Unit (Banit) SAR Polisi Perairan dan Udara Polda Banten mengatakan kendala di lapangan ialah jarak pandang dan arus air yang cukup kuat terutama di atas.
"Jarak pandang itu maksimal satu meter di kedalaman 18 hingga 20 meter," kata polisi berdarah Batak tersebut.
Bahkan, di beberapa titik dipenuhi lumpur sehingga menyulitkan proses pencarian korban. Di samping itu, jika dipaksakan mendekat ke dasar maka semburan lumpur akan naik sehingga mengganggu penglihatan.
Polisi air yang ikut dalam pencarian tiga warga negara asing (WNA) yang hilang di perairan Pulau Sangiang pada November 2019 itu bercerita pengalaman dan kesiapan mental serta kesehatan berpengaruh saat misi kemanusiaan.
Bagi penyelam yang sudah beberapa kali menyelam mencari korban di laut lepas, biasanya lebih tenang dibandingkan dengan pemula. Bahkan, secara pribadi ia juga mengalaminya.
Salah satu hal yang membuat kepanikan ialah bila bertemu korban di dasar laut. Baik dalam kondisi utuh maupun tidak. Sebagai petugas, ia mengatakan pencarian korban merupakan misi kemanusiaan sehingga berharap besar bisa menemukan mereka dalam kondisi apapun.
Baca Juga: Benarkah Ini Rekaman Sriwijaya Air SJ182 Sebelum Jatuh? Cek Faktanya
Bagi mereka para penyelam, tak ada kata nyali ciut demi mencari dan menemukan serpihan pesawat serta korban Sriwijaya Air yang malang itu.