Suara.com - Ketika perusahaan di negara-negara Barat sudah lebih dulu mementingkan hak-hak karyawan LGBT, perusahaan Asia sepertinya belum bisa menentukan sikap dan masih berdiri di persimpangan jalan.
Terbukti, dalam survei yang dilakukan The Economist Intelligence Unit, 4 dari 10 pekerja jajaran eksekutif di Asia mengalami hambatan karier ketika terbuka dengan identitas seksualnya.
"Keterbukaan sebagai LGBT akan menghalangi karier seseorang," tulis EIU dalam rilisnya kepada Suara.com, Kamis (7/1/2021).
Dalam studi terbarunya, Pride and Prejudice: The next chapter of progress, EIU menampung pendapat 359 karyawan dari tujuh negara di Asia.
Baca Juga: Ramah LGBT, Sekolah di Jepang Kenalkan Seragam Tanpa Gender
Hasilnya, pemikiran konservatif masih berpengaruh secara luas dalam komunitas bisnis Asia, meskipun beberapa menunjukkan kemajuan untuk inklusi LGBT.
Sebanyak 3 dari 5 responden mengatakan dunia bisnis harus lebih memperhatikan orientasi seksual karyawan dan mendorong perubahan seputar keragaman dan inklusi LGBT.
Hampir setengah dari responden mengatakan tempat kerja yang ramah LGBT bisa menghadirkan peluang bisnis baru yang menjanjikan.
60 persen responden India percaya ada kemajuan yang sangat besar dalam hal keberagaman dan inklusi bagi kaum LGBT di perusahaan mereka.
Sementara setengah dari responden Indonesia, Hong Kong, dan Jepang mengatakn tidak ada atau hanya sedikit kemajuan yang telah dicapai dalam bidang ini.
Baca Juga: Pete Buttigieg, Calon Menteri Tranportasi LGBT Pertama Era Joe Biden
"Kontradiksi ini membutuhkan sorotan yang lebih terang tentang bagaimana perusahaan Asia menerima kaum LGBT, mengingat adanya kekhawatiran seputar pengungkapan orientasi seksual / identitas gender seseorang di tempat kerja," tulis EIU dalam rilis tersebut.
Sejauh ini hasil survei menyebut dua negara yang mendominasi Asia, China dan India menunjukkan perubahan yang lebih terbuka dalam menerima keberagaman LGBT.
"Seiring dengan pertumbuhan pengaruh geopolitik, pandangan perusahaan menjadi lebih selaras dengan karyawan. Kelompok muda dan dinamis yang mempromosikan hak-hak LGBT menjadi prioritas dibandingkan senior mereka."
Di Indonesia, mengakui keberagaman di tingkat perusahaan masih menjadi hal yang tabu, terbukti dari serangan warganet terhadap akun Unilever ketika mereka menyatakan dukungannya untuk gerakan LGBT.
Sikap perusahaan multinasional tersebut langsung disambut kecaman keras dari warganet Indonesia hingga muncul ancaman untuk memboikot produk Unilever.