Konflik Agraria Selama Pandemi: 139 Warga Dikriminalisasi, 11 Petani Tewas

Rabu, 06 Januari 2021 | 17:44 WIB
Konflik Agraria Selama Pandemi: 139 Warga Dikriminalisasi, 11 Petani Tewas
Ilustrasi---Konflik Agraria NTT, komunitas adat Baseipae menjadi korban kekerasan yang dilakukan aparat. (Twitter/@BPANusantara)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengungkap masih adanya kekerasan konflik yang terjadi di sektor agraria selama masa pandemi virus Corona (Covid-19). Tidak sedikit pula kasus yang terjadi melibatkan tindakan represif dari aparat keamanan. 

Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika mencatat terdapat 139 warga yang mendapatkan tindakan kriminalisasi, 19 warga dianiaya dan 11 lainnya meninggal dunia hanya karena mempertahankan hak lahannya. Mayoritas dari mereka harus melawan perusahaan-perusahaan yang tentu kekuatannya lebih besar. 

"Kalau kita ingat di awal Maret 2020 di awal pandemi ada dua petani di Sumatra Selatan yang harus tewas dua orang karena mempertahankan hak atas tanahnya berhadapan-hadapan dengan perusahaan," jelas Dewi dalam acara Laporan Konflik Agraria 2020 di Masa Pandemi dan Krisis Ekonomi secara virtual, Rabu (6/1/2021). 

Bukan hanya melawan perusahaan, mereka pun kerap mendapatkan kekerasaan dari aparat keamanan.

Baca Juga: Dihantam Pandemi Covid-19, Angka Kemiskinan Kota Malang Naik 4,44 Persen

Ilustrasi wawancara. Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika. [Dok. KPA / Olah gambar Suara.com]
Ilustrasi wawancara. Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika. [Dok. KPA / Olah gambar Suara.com]

Setidaknya KPA telah mencatat ada 46 kasus kekerasan yang dilakukan kepolisian, 22 kasus melibatkan TNI, 9 kasus mengikutsertakan Satpol PP dan kasus lainnya yang melibatkan preman perusahaan. Situasi itu disayangkan oleh pihak KPA karena belum ditanggapi serius oleh pemerintah. 

Di samping itu, Dewi juga menyinggung adanya penggunaan aturan untuk mengkriminalisasi petani, masyararakat adat maupun nelayan yang tengah memperjuangkan hak atas tanah dan wilayah hidupnya.

Aturan yang dimaksud yakni Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) serta Undang-undang Nomor 34 tahun 2014 tentang Perkebunan. 

Dewi menyebutkan penggunaan undang-undang tersebut menjadi modus lama yang kerap digunakan. 

"UU P3H ini UU yang seringkali menjerat petani yang ada di wilayah klaim kehutanan kemudian UU perkebunan. Nah ini adalah UU yang untuk merepresif, intimidasi sekaligus menangkap petani, masyarakat adat yang berkonflik dengan perusahaan swasta ataupun perusahaan negara," ujarnya. 

Baca Juga: 3M Saja Tak Cukup, Butuh Kampanye 5M untuk Atasi Covid-19 di Indonesia

Dewi mengatakan terdapat 40 kasus yang menggunakan UU Perkebunan, 37 kasus menggunakan KUHP serta UU P3H. 

"Misalnya UU P3H yang paling sering terjadi itu di Sulsel jadi sangat ironis karena UU ini bahkan seringkali diterapkan di lokasi yang sama padahal pernah dimenangkan petani tetapi kembali dilakukan kriminalisasi kepada petani yang lain di wilayah yang kurang lebih sama."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI