Suara.com - Para pegiat hak asasi manusia menyambut keputusan pemerintah daerah Pakistan melarang apa yang disebut "tes keperawanan" dalam pemeriksaan korban-korban perkosaan.
Peraturan yang berlaku di Provinsi Punjab, akan mengakhiri praktik fisik memeriksa selaput dara dan pemeriksaan dengan memasukkan "dua jari".
Hakim Pengadilan Tinggi Lahore, Ayesha Malik, mengatakan tes itu merupakan "penghinaan" dan tidak "memiliki nilai forensik".
Keputusan itu diterapkan menyusul dua petisi yang diajukan di Provinsi Punjab oleh aktivis hak asasi manusia.
Baca Juga: Varian Baru Virus Corona Lebih Cepat Menular dan Punya 23 Mutasi
Para pegiat HAM telah lama menuntut diakhirinya tes keperawanan sebagai bagian dari evaluasi medis dalam kasus perkosaan, dengan mengatakan tidak ada landasan ilmiah.
Keputusan Senin (04/01) itu berlaku di Punjab namun bisa menjadi preseden di pengadilan tinggi lain.
Petisi serupa tengah diajukan di pengadilan tinggi Sindh.
- Tes keperawanan: Prosedur 'tes dua jari' yang dipertanyakan
- Usulkan tes keperawanan, Binsar Gultom 'perlu diuji kapabilitasnya sebagai hakim'
- TNI/Polri masih uji keperawanan? Pengakuan pensiunan polwan dan calon istri perwira
Sameer Khosa, kuasa hukum yang mewakili para pengaju petisi dalam kasus Lahore, mengatakan kepada BBC, ia telah "membuktikan secara jelas bahwa tes keperawanan tidak memiliki nilai forensik menyangkut kekerasan seksual apa pun".
Khosa mengatakan ia berharap pemerintah terkait akan "mengkaji ulang prosedur terkait putusan itu dan menghentikan tes keperawanan selamanya".
Baca Juga: Polisi Pakistan Tangkap 'Manusia Serigala', Warganet Malah Beri Dukungan
Seperti apa tes dua jari?
"Tes dua jari" dilakukan dengan memasukkan satu atau dua jari ke vagina perempuan untuk melihat adanya selaput dara. Secara teori, tes ini dilakukan untuk melihat apakah perempuan yang bersangkutan aktif secara seksual.
Sejumlah dokter mengeklaim bahwa tes itu dapat menentukan apakah seorang perempuan mengalami penetrasi untuk pertama kali dan tes digunakan untuk menilai apakah korban perkosaan berpengalaman secara seksual atau pernah melakukan hubungan seks.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut tes itu tidak memiliki manfaat ilmiah dan melanggar hak asasi manusia.
Dalam putusannya, Hakim Malik mengatakan tes itu sangat "mengganggu" dan "tidak berdasarkan pada pertimbangan medis dan ilmiah".
Masalah global
Pegiat hak perempuan telah lama memperjuangkan dihapuskannya praktik ini.
Mereka menyebut apa yang disebut tes keperawanan merupakan budaya patriarki karena menuding kesalahan ke perempuan bila ada serangan seksual.
Tak banyak kasus perkosaan yang dilaporkan di Pakistan karena para penyintas menghadapi stigma sosial.
Dalam kasus-kasus yang dilaporkan, hanya sejumlah kecil pelaku yang dihukum karena lemahnya hukum dan prosedur yang rumit.
September lalu, banyak kalangan yang marah setelah seorang perempuan di Lahore diperkosa beramai-ramai di depan anak-anaknya setelah mobilnya mogok di pinggir jalan.
Kasus itu menimbulkan gelombang protes di seluruh Pakistan dan menyebabkan presiden menyepakati RUU baru yang dirancang untuk mempercepat sidang kasus perkosaan.
Namun tes keperawanan berlanjut di Pakistan dan tetap legal di banyak tempat dan tak terpengaruh atas putusan di Lahore.
Praktik ini berjalan di kawasan Asia Selatan itu sejak zaman kolonial dan tercatat di paling tidak 20 negara di dunia, menurut data PBB dan WHO.
Dalam beberapa tahun-tahun terakhir, dua organisasi ini memperjuangkan agar praktik ini secara global diakhiri.
India melarang tes ini pada 2013 dan perintah pengadilan dikutip oleh Hakim Malik dalam putusan di Pakistan, Senin (04/01).
Bangladesh melarang tes keperawanan pada 2018.
Afghanistan melarang praktik ini pada 2018 namun Komisi HAM Independen negara itu mengatakan September lalu, perempuan masih dipaksa menjalani tes serupa.
'Puncak gunung es'
Menjawab putusan itu, Menteri Federal untuk Sains dan Teknologi, Chaudhry Fawad, menyambut dan menyebutnya sebagai "putusan penting".
https://twitter.com/Aimanfrizvi/status/1346094712348942337
Dalam utas Twitter, aktivis HAM, Aiman Rizvi menggambarkan bagaimana tiga tahun lalu, ia dan aktivis lain, Zainab Hussain - salah seorang pengaju petisi - membuat laporan video yang pada akhirnya memicu dibuatnya petisi di Punjab.
"Saya sangat berterima kasih kepada semua perempuan yang memperjuangkan langkah ini selama puluhan tahun dan kami akan terus melanjutkan perjuangan besok," tulis Rizvi.
"Namun bagi kita semua, jangan lupa, masalah ini baru pada puncak gunung es."