Suara.com - Berlin kini mendapat tekanan dari para pakar dan politisi karena dianggap tak mengamankan cukup dosis vaksin virus corona untuk program vaksinasi. Sementara di Indonesia, program vaksinasi akan berjalan 15 bulan.
Para pakar dan politisi Jerman mengkritik pemerintah di Berlin terkait kebijakan mengamankan pasokan vaksin yang cukup, dalam program vaksinasi massal virus corona di negara itu.
Sebagai bagian dari skema pengadaan vaksin Uni Eropa, pasokan vaksin buat Jerman bergantung kepada izin yang diberikan regulator di tingkat Eropa.
Namun ternyata, UE membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan negara-negara lainnya seperti Inggris, AS, dan Kanada untuk memberikan lampu hijau.
Baca Juga: Mengapa Posko Covid-19 di Daerah Harus Diaktifkan Lagi?
Sejauh ini hanya vaksin BioNTech-Pfizer yang diizinkan untuk digunakan di negara-negara anggota UE.
Secara keseluruhan UE hanya memesan sebanyak 300 juta dosis vaksin selama musim panas, meskipun banyak alternatif vaksin lainnya yang diyakini tersedia bagi mereka.
Frauke Zipp, dokter ahli saraf yang juga penasihat Akademi Ilmu Pengetahuan Leopoldina, mengkritik parlemen Jerman karena kurangnya rencana yang matang terkait pengadaan vaksin.
“Saya menganggap situasi saat ini sebagai kegagalan besar,“ katanya kepada surat kabar Jerman Die Welt, Sabtu (02/01).
“Mengapa mereka tidak memesan lebih banyak vaksin selama musim panas demi mengamankan pasokan?“
Baca Juga: Kepala Daerah Diminta Alokasikan Dana untuk Bikin Posko Covid-19
BioNTech tingkatkan produksi
BioNTech sebelumnya menyatakan, mereka sedang berusaha meningkatkan produksi vaksin setelah mendapat tekanan untuk menambah pasokan buat Uni Eropa.
Sementara itu Menteri Kesehatan Jerman, Jens Spahn, menanggapi gencarnya kritik, membantah anggapan bahwa pemerintah lamban dalam menyiapkan program vaksinasi massal di sana.
“Semuanya berjalan persis seperti yang direncanakan,“ kata Spahn dalam siaran lewat stasiun TV swasta RTL.
Spahn menjelaskan, pihak pemerintah telah mengantisipasi kurangnya pasokan vaksin dan "memprioritaskan" siapa yang akan disuntik vaksin pada akhir Januari.
Menteri Luar Negeri Luksemburg, Jean Asselborn, juga membela strategi yang telah disiapkan UE.
Ia mengklaim bahwa Komisi Eropa telah mengamankan hampir dua miliar dosis vaksin dari enam produsen berbeda. Kepada surat kabar Jerman Rheinische Post, Karl Lauterbach, pakar kesehatan yang juga anggota Partai Sosial Demokrat (SPD) menyesalkan minimnya pembelian vaksin Moderna oleh UE.
“Sudah jelas sejak awal vaksin Moderna memiliki tingkat keampuhan yang tinggi dan dapat digunakan oleh dokter.“
Bagaimana dengan Indonesia?
Pemerintah Indonesia sendiri sejak hari Minggu (03/01) telah mendistribusikan vaksin corona produksi perusahaan Cina, Sinovac Biotech, ke 34 provinsi di Indonesia.
Bio Farma sebagai distributor akan melibatkan berbagai pihak mulai dari pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dan puskesmas.
Total saat ini Indonesia telah menerima tiga juta dosis vaksin Sinovac. Meski begitu, Sinovac belum memberikan klaim efikasi atau keampuhan vaksinnya dalam melawan virus corona.
Brasil, salah satu negara tempat pelaksanaan uji klinis vaksin Sinovac sejatinya telah menyelesaikan uji klinis tahap III.
Tingkat efektifitas vaksin Sinovac di sana disebut melewati ambang batas 50 persen.
Namun, ilmuwan enggan mempublikasikan hasil studi lengkap uji klinis tersebut.
Kepada DW Indonesia, pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko Wahyono, mengatakan bahwa pemerintah harus memastikan keamanan vaksin Sinovac.
“Vaksin ini harus dipastikan aman dan tingkat efektivitasnya di atas 90 persen. Jadi semua vaksin yang diproduksi pabrik besar farmasi itu efikasinya di atas 90 persen,“ ujar Miko, menambahkan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga harus segera mengeluarkan sertifikasi halal.
Masih tunggu BPOM Walau tahap pendistribusian sudah dimulai, proses pemberian vaksin Sinovac masih harus menunggu izin penggunaan darurat atau emergency use authorization (EUA) yang dikeluarkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Bio Farma lewat juru bicaranya mengaku distribusi vaksin Sinovac tetap dilakukan karena "mengingat kondisi geografis Indonesia yang luas dan terdiri dari kepulauan."
“Perlu waktu dan perencanaan yang baik melakukan distribusi vaksin ke 34 provinsi di seluruh Indonesia sehingga apabila izin penggunaan darurat sudah dikeluarkan oleh BPOM, pelaksanaan vaksinasi dapat segera dilakukan,“ kata juru bicara Vaksinasi Vaksin COVID-19 PT Bio Farma Bambang Heriyanto saat dihubungi DW Indonesia, Senin sore (04/01).
Lebih lanjut Bambang meminta semua pihak optimis dalam menunggu evaluasi hasil uji klinis vaksin Sinovac yang dilakukan BPOM.
Data efikasi pasca tiga bulan penyuntikan dan pengambilan darah relawan uji klinis tahap III vaksin Sinovac di Bandung menjadi acuan BPOM dalam mengeluarkan EUA.
“Sebaiknya tidak usah berspekulasi. Marilah kita bersama-sama optimis untuk hasil yang terbaik dari uji klinik yang dilakukan BPOM agar kita bisa segera memulai proses vaksinasi bertahap,“ kata Bambang.
Vaksinasi perlu waktu 15 bulan juru bicara Vaksinasi Vaksin COVID-19 Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmizi pada hari Minggu (03/01) menyampaikan, proses vaksinasi di Indonesia akan memakan waktu 15 bulan.
Total ada 181,5 juta orang yang akan diberikan vaksin virus corona. Program vaksinasi akan dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama yakni mulai pertengahan bulan Januari 2021 hingga April 2021 dengan prioritas "1,3 juta tenaga kesehatan dan 17,4 juta petugas publik yang ada di 34 provinsi."
Sementara tahap kedua akan dilakukan mulai April 2021 hingga Maret 2022 dengan jumlah sisa penerima dari tahap pertama. rap/as (dari berbagai sumber)