Suara.com - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menyinggung soal pemberitaan penetapan seorang pesohor atau artis menjadi tersangka kasus pornografi. AJI mendesak media massa untuk tidak diskriminatif serta patuh terhadap kode etik jurnalistik (KEJ) dalam pemberitaan kasus yang berkaitan dengan Undang-undang Pornografi.
Berita penetapan tersangka pesohor berinisial GA itu menyedot perhatian publik setelah sebelumnya penyebar video berinisial PP dan MN sudah terlebih dahulu menjadi tersangka.
Namun, AJI Jakarta justru menyayangkan kalau media tidak berimbang dalam penyajian narasumber sehingga cenderung hanya mengejar klik bait dan bersifat eksploitatif.
Pada pemantauan AJI Jakarta, kebanyakan media hanya mengutip keterangan dari satu sumber saja tanpa menyertakan narasumber lainnya. Padahal menurut Pasal 1 KEJ dikatakan bahwa wartawan Indonesia mesti bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Baca Juga: ICJR soal Video Syur GA dan MYD: Jika Bukan Komersil Mereka Korban
Akibatnya, tersangka yang mestinya merupakan korban dari kekerasan seksual berbasis online justru mendapat objektivikasi hingga disebutkan secara gamblang nama terangnya, yang dapat merugikan pribadinya ataupun lingkungan terdekatnya.
Imbasnya, tersangka yang semestinya merupakan korban dari kekerasan seksual berbasis online justru mendapat objektivikasi hingga disebutkan secara gamblang nama terangnya, yang dapat merugikan pribadinya ataupun lingkungan terdekatnya.
Selain itu, AJI Jakarta juga melihat adanya pelanggaran Pasal 8 KEJ atas pelarangan menulis berita berdasarkan prasangka dan diskriminasi atas dasar gender.Pasalnya, korban yang tidak semestinya mendapatkan ketidakadilan atas gender sebagai perempuan, malah yang relatif mendapat sorotan lebih besar untuk mendulang pembaca.
AJI Jakarta juga mengingatkan agar media tidak mencampuradukkan fakta dan opini yang menghakimi dalam pemberitaan, sesuai dengan KEJ Pasal 3. Termasuk juga berpotensi melanggengkan stigmatisasi seperti penyebutan "asusila", "video syur" hingga menyebut urusan privat rumah tangga korban yang bisa mengundang ujaran-ujaran dan stigma.
Lebih jauh, Ketua Divisi Gender, Anak dan Kelompok Marginal AJI Jakarta, Nurul Nur Azizah berharap agar media tidak menyebutkan identitas anak berkaitan dengan kehidupan personal korban yang berpotensi menjadikannya turut menjadi korban.
Baca Juga: Save Gempi Menggema, Bagaimana Hak Asuhnya?
"Padahal, kedua tersangka merupakan korban kekerasan berbasis gender online (KBGO), yang videonya disebarkan oleh pelaku yang tidak bertanggung jawab yang sudah tertangkap sebelumnya," ujar Nurul keterangan tertulis yanh diterima Suara.com, Rabu (30/12/2020).
Nurul juga menyoroti dengan pasal yang disangkakan kepada kedua korban yakni Pasal 44 Undang-Undang Nomor 44 tentang Pornografi. Menurutnya, pasal tersebut juga masih berpotensi menjadi pasal karet karena mengatur ranah privat. Dalam hal ini, kedua tersangka merupakan korban dari kekerasan seksual berbasis online.
Berangkat dari hal tersebut, media massa dinilainya perlu bersikap kritis dan 'menjernihkan', bukan justru tampil dengan narasi yang diskriminatif.
"Sebab, sebagaimana tercantum dalam UU Pers Pasal 3 ayat 1, media tak hanya sebagai sumber informasi, tapi juga punya fungsi pendidikan," tuturnya.
Ia juga menambahkan agar media mesti hati-hati dan kritis dalam pemberitaan. Selain itu, juga perlu terus berpegang pada KEJ untuk menjaga profesionalisme hingga kepercayaan publik.
"Pemberitaan media memiliki dampak besar, apalagi di era digital, jejaknya tak pernah hilang. Jangan sampai, karena pemberitaan yang diskriminatif bisa jadi trauma seumur hidup," pungkasnya.