Suara.com - Gelombang pasang pandemi covid-19 di Indonesia masih menerpa, dan tidak ada satu pihak pun yang dapat memprediksi secara tepat kapan kondisi ini bakal berakhir.
Sejak kasus positif covid-19 pertama di Indonesia diumumkan awal Maret, hingga penghujung 2020 lebih dari 727.000 warga Indonesia terinfeksi corona.
Sementara sejumlah pemantau independen memperkirakan jumlah orang yang terinfeksi covid-19 lebih tinggi.
Kematian akibat penyakit ini pun masih terus bermunculan setiap hari. Saat liputan ini disusun, 21.703 orang di negara ini sudah kehilangan nyawa karena terpapar virus corona.
Baca Juga: Fraksi PDIP Sangsi Anies Memiliki Daftar Valid Penerima Vaksin Corona
Liputan ini digagas sebagai medium untuk mengenang orang-orang yang wafat setelah terinfeksi Covid-19. Mereka bukanlah sekadar data statistik, tapi lebih dari itu: para insan yang punya keluarga.
Para keluarga korban yang berbicara kepada kami satu suara bahwa pencegahan penularan virus corona harus dilakukan sesegera mungkin, tanpa perlu menunggu Covid-19 mengantar kepergian orang terdekat kita.
Upaya mengumpulkan testimoni ini 'berat', apalagi ketika tangis orang-orang yang kami wawancarai pecah saat membuka memori tentang anggota keluarga mereka. Namun kami yakin, merekalah yang sebenarnya menanggung beban berat selama pandemi ini.
Melalui visualisasi interaktif di liputan ini, Anda juga dapat turut mengirimkan penghormatan untuk anggota keluarga atau orang terdekat Anda yang wafat akibat Covid-19.
Abidah, Surabaya
Tanggal 2 Juni 2020, bapakku merasa pusing. Padahal hari itu kami janjian pergi ke mal. Akhirnya aku pergi dengan ibu. Setelah pulang, kondisi ibu turun, walau tidak seburuk bapak.
Baca Juga: Studi: Perempuan Menopause Berisiko Lebih Tinggi Alami Covid-19 Parah
11 Juni, bapak periksa ke dokter spesialis. Kata dokter, yang bermasalah lambung, ginjal, dan liver karena bapak mengalami obesitas dan punya penyakit diabetes.
Beberapa hari kemudian bapak dilarikan ke rumah sakit karena kondisinya semakin turun. Dalam perjalanan, bapak meninggal. Kami dapat kabar itu setelah salat ashar.
Awalnya kami tidak percaya bapak meninggal karena Covid-19, tapi akhirnya kami percaya.
Dua hari sesudah bapak dikuburkan, kami antar ibu ke rumah sakit rujukan. Hasil swab test ibu negatif. Tapi karena gejalanya sangat mirip Covid-19, ibu diisolasi di rumah sakit.
Ibu dirawat 11 hari. Kondisinya terus memburuk. Paru-parunya rusak total. Ibu tidak bisa bernapas. Sudah diberi ventilator, tapi itu tetap tidak membantu.
Banyak tetangga di sekitar rumah melarang aku datang ke pemakaman ibu. Aku baru kehilangan bapak, kok sekarang nggak boleh ke pemakaman ibu? Aku marah. Akhirnya puskesmas izinkan, tapi aku harus melihat proses pemakaman lebih dari 10 meter.
Hidupku hancur. Masih di bawah umur, kehilangan orang tua, dan waktu itu masih harus berjuang untuk sembuh karena aku juga positif Covid-19. Berat sekali. Aku hampir mencoba bunuh diri.
Eva Rahmi, Bogor
Saya merasa mama masih ada di rumah. Berat rasanya. Waktu itu saya pikir dalam beberapa hari kondisi mama akan membaik, ternyata malah meninggal tanpa sakit berkepanjangan.
Kita biasanya bisa merelakan kepergian seseorang kalau dia sudah sakit berbulan-bulan, sedangkan kemarin awalnya mama saya tidak sakit apa-apa.
Ada orang yang menuduh pandemi ini sengaja dibuat, tapi orang-orang itu tidak mengalami sendiri bagaimana dashyat virus ini.
Sangat berat untuk beranjak dari rasa kehilangan ini. Tapi saya yakin, yang terjadi dalam kehidupan ini sudah ditentukan. Saya harus pasrah, ikhlas, dan hanya bisa berdoa orang tua masuk surga.
Memang tidak segampang bicara ikhlas saja. Butuh proses. Seminggu pertama saya selalu nangis. Dua minggu setelahnya masih terus memikirkan. Kalau pulang ke rumah, saya menganggap mama masih ada.
Farida, Semarang
Dari tahun 2013 bapak sakit stroke ringan. Bapak sudah tidak bekerja.
Akhir Oktober kemarin, bapak merasa badannya sama sekali tidak enak. Karena nggak bisa jalan, kami minta dokter datang ke rumah. Dia bilang bapak tidak kena Covid-19, tapi radang tenggorokan dan gejala tifus.
Keesokan paginya, bapak tidak sadarkan diri, badannya kaku. Lalu ambulans jemput bapak. Karena saat tidur bapak kesulitan bernapas, dokter minta persetujuan ibu agar bapak dites Covid-19.
Hari itu juga bapak dinyatakan positif. Bapak masuk IGD. Malam harinya, dokter bilang bapak sudah dapat asupan makanan. Tensinya juga sudah tidak terlalu tinggi. Kami berpikir ada harapan bapak bisa pulih.
Bapak kemudian dirawat di ruang isolasi. Kami sama sekali tidak bisa bertemu bapak.
Dua hari kemudian, dokter bilang bapak sempat kritis. Dokter akhirnya pasang ventilator.
Karena sudah lama nggak bertemu bapak, ibu minta izin masuk ke ruang isolasi. Tapi ibu hanya diperbolehkan lihat bapak lewat jendela.
Siang itu, setelah lihat bapak, kami pulang ke rumah. Sekitar jam setengah satu siang, pihak rumah sakit mengabarkan bahwa bapak kritis.
Begitu kembali dan sampai di rumah sakit, dokter bilang bapak sudah meninggal dunia.
Mira Megasari, Bandung
Perjalanan kasus Covid-19 di keluarga kami berawal dari suami saya yang bekerja di salah satu bank. Kami tinggal satu rumah dengan orang tua kami.
Pada 6 November 2020, suami saya mengalami gejala, seperti demam dan batuk yang makin hari makin parah. Dia juga sariawan. Tiga hari kemudian, giliran saya yang mengalami gejala seperti badan lemas, demam, dan kehilangan daya penciuman.
Setelah beberapa hari, salah satu rekan kerja suami positif terkena Covid-19. Saya dan suami menjalani swab test, tapi hasilnya negatif.
Karena masih sakit, kami menjalani rontgen dan rapid test. Hasilnya suami saya reaktif. Saat swab test ulang, dia dinyatakan positif Covid-19.
Satu minggu sebelumnya, waktu saya dan suami sakit, ibu saya, Henny Rochaeni, juga demam tinggi, batuk, sariawan, muntah, dan diare.
Ibu mulai dirawat tanggal 21 November. Besoknya kondisi ibu semakin buruk. Dia sesak napas. Namun di rumah sakit itu tidak tersedia ventilator. Ibu harus dirujuk ke rumah sakit lain yang memiliki ventilator, seperti RS Hasan Sadikin.
Setelah saya cari-cari, semua rumah sakit itu penuh. Keadaan ibu semakin buruk karena sesak napas sangat berat waktu itu. Tanggal 23 November, ibu meninggal dunia.
Saya sama sekali tidak pernah membayangkan situasi ini akan terjadi karena ibu tadinya benar-benar sehat. Ibu tidak pernah sakit.
Perjalanan Covid-19 pada ibu saya hanya satu minggu. Tanggal 16 November awal mula ibu sakit dan tanggal 23 November ibu meninggal.
Saya sangat terpukul dan benar-benar kaget. Saya nggak menyangka ibu pergi secepat itu, tanpa kami bisa mengantarkannya pemakaman, tanpa kami bisa menggelar tahlilan karena setelah ibu saya meninggal, kami sekeluarga diisolasi.
Bapak juga sangat terpukul, apalagi bapak saat ini juga masih positif Covid-19.
Sejak awal, kami sangat percaya bahwa pandemi ini betul terjadi. Kami jarang sekali berinteraksi dengan orang lain. Kami selalu mengenakan masker.
Ibu bahkan sama sekali tidak pernah pergi dari rumah untuk rekreasi. Saya sangat kaget sekali, ternyata yang jadi korban itu ibu saya sendiri, yang hanya berdiam diri di rumah.
Muslikah, Tuban
Suami saya Maret lalu ikut pelatihan integritas Tenaga Kesehatan Haji Indonesia di Surabaya. [Menteri Agama pernah menyebut kegiatan ini menjadi salah satu klaster Covid-19 terbesar].
Sehari setelah pulang ke Tuban, suami saya ikut program penyuluhan gejala dan penularan Covid-19, ke warung dan pasar. Waktu itu di Tuban banyak yang tidak memakai masker, pemahaman masyarakat mungkin masih sangat awam.
Setelah penyuluhan suami saya kirim pesan, badannya meriang. Dia bilang, waktu pelatihan di Surabaya, ada pemateri yang baru pulang umrah.
Saya paham maksudnya, tapi saya bilang agar suami saya tidak berpikiran macam-macam.
Keesokannya dia bertugas sebagai petugas penelusuran kasus Covid-19. Dia mendata setiap orang baru datang ke kampung dari luar negeri atau luar kota.
Pekan depannya suami dan beberapa temannya yang sempat mengikuti pelatihan di Surabaya periksa ke dokter. Mereka mengalami gejala yang sama.
Oleh dokter, suami saya diberikan obat dan diminta jalani rawat jalan. Waktu itu memang keluhannya hanya badan yang masih pegal-pegal.
Tapi malam harinya dia mengeluh nyeri dada. Setelah rontgen, suami saya dimasukkan ke ruang isolasi.
Saat itu kondisi psikologi suami saya jatuh, mungkin karena dia sudah tahu gambaran penyakit ini. Tapi kondisinya sempat membaik.
Perawat izinkan saya dampingi suami, tapi dia menolak. Suami saya bilang saya lebih baik menjaga anak-anak di rumah.
Minggu dini hari, saya dapat pesan, suami minta saya menemaninya. Oleh pihak RSUD, saya diizinkan masuk ruang isolasi.
Dua hari berikutnya dokter memasang ventilator ke suami saya. Sesak nafasnya belum berkurang. Pekan depannya, suami saya meninggal.
Sampai sekarang saya belum bisa menerima kepergiannya. Tapi anak-anak yang membuat saya kuat.
Sebelum suami saya meninggal, dia minta saya mengikhlaskannya. Saya menolak. Saya bilang dia harus sembuh demi saya dan anak-anak.
Tapi hari itu, setelah salat subuh, saya bilang ke suami saya, saat ventilator sudah dilepas dari badannya. "Kalau memang sudah takdir Allah, saya harus ikhlas." Saya bilang itu waktu dia sesak napas.
"Tapi kalau kamu patah semangat dan putus asa, saya tidak akan pernah ikhlas," kata saya.
Suami saya waktu itu hanya tersenyum. Saya tahu karakternya, beban apapun akan dia simpan sendiri daripada membebani orang lain.
Perjuangan almarhum untuk keluarga kami sangat luar biasa. Dia sangat sayang pada kami. Apapun, kalau dia mampu, dia lakukan untuk keluarga.
Semua ayah mungkin bersikap seperti itu. Tapi lebih dari itu, dedikasinya sebagai perawat sangat luar biasa. Banyak orang di desa bilang, jika suami saya meninggal, seluruh desa akan ikut berkabung.
Kapan pandemi berakhir?
Walau vaksin Sinovac yang diimpor dari China telah tiba di Indonesia, pemerintah belum dapat memastikan kapan vaksinasi akan mulai bergulir.
Dalam salah satu program siaran mereka, Satgas Covid-19 menyebut perlu napas panjang untuk menangani pandemi Covid-19.
Pakar kesehatan masyarakat menyebut vaksinasi bukan satu-satunya jalan keluar menyetop pandemi. Apalagi, kata Pandu Riono, epidemiolog dari Universitas Indonesia, belum ada hasil penelitian yang secara sahih memaparkan efektivitas vaksin ini.
Pandu berkata, siasat dan ketegasan pemerintah mengubah pola perilaku warga, penelusuran kasus yang konsisten, hingga koordinasi antarlembaga harus diperkuat.
"Kasus positif sepertinya akan terus naik. Akhir tahun 2021 kemungkinan baru akan ada penurunan jika benar-benar ada perubahan penanganan pandemi. Gelombang pertama saja belum kita lalui," kata Pandu.
"Pencegahan terbaik sifatnya berlapis-lapis. Ada tanggung jawab negara dan individu. Ini harus berjalan sekaligus," ujarnya.
Sementara itu, di tingkat masyarakat, upaya perlindungan diri terhadap Covid-19 dianggap dijalankan secara setengah-setengah.
Juru Bicara Pemerintah Untuk Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, menyebut warga Indonesia tidak setia pada prinsip jaga jarak serta kewajiban memakai masker dan mencuci tangan.
"Terlihat terjadi perkembangan positif soal kepatuhan warga kabupaten dan kota dalam memakai masker. Jumlah daerah yang nilainya di bawah 60 persen atau masuk kategori 'tidak patuh' turun. Itu tanda-tanda yang baik," kata Wiku.
"Tapi kita harus tahu, perilaku masyarakat itu fluktuatif dari waktu ke waktu. Zonasi kepatuhan juga berubah-ubah. Jadi kita harus pastikan kedisiplinan masyarakat terjaga," tuturnya.
"Semua merasa kalau ada vaksin pandemi sebentar lagi selesai. Pengalaman itu belum terjadi karena semua negara masih mengalami pandemi.
"Vaksin ini salah satu tameng. Seperti keju Swiss, perlindungan terhadap Covid-19 itu berlapis. Vaksin belum tentu bisa melindungi seluruh masyarakat. Jadi 3M tetap harus dilakukan," kata Wiku.
---
Jurnalis BBC Indonesia di Bandung, Yuli Saputra; wartawan di Semarang, Margi Ernawati; berkontribusi untuk liputan ini. Materi visual interaktif dikerjakan oleh Leben Asa dan Davies Surya.