Natal di Sigi Usai Pembantaian: Kami Tetap Mengasihi Teroris MIT Ali Kalora

Reza GunadhaBBC Suara.Com
Jum'at, 25 Desember 2020 | 14:26 WIB
Natal di Sigi Usai Pembantaian: Kami Tetap Mengasihi Teroris MIT Ali Kalora
[BBC]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Biji-bji kopi berjatuhan di tanah, jagung di ladang pun sudah siap dipanen, namun tak ada tangan-tangan yang menuai.

ITULAH kondisi Dusun Lenowu di Desa Lembantongoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tenggara, yang ditinggal penduduknya setelah insiden pembantaian satu keluarga oleh teroris Mujahidin Indonesia Timur Ali Kalora, akhir November lalu.

Hanya ada sejumlah petugas keamanan yang mondar-mandir memanggul senjata laras panjang untuk mengamankan daerah tersebut.

Rumah-rumah yang sebelumnya dibakar kini sudah dibangun dan siap dihuni. Namun, warga belum berani menempati wilayah itu.

Baca Juga: Anggota FPI Jadi Teroris, Pernah Lindungi Gembong Teroris Noordin M Top

Suasana itu kontras dengan kondisi tahun-tahun sebelumnya. Sebelum Natal, biasanya warga mengadakan sejumlah kegiatan peribadahan.

Kini, mereka masih mengungsikan diri ke Pusat Desa Lembantongoa, yang jaraknya sekitar delapan kilometer dari lokasi kejadian.

'Masih takut'

Mece, 33, belum bisa berbicara banyak tentang peristiwa yang merenggut nyawa ayahnya, Yasa, dengan sadis.

Yasa dan tiga orang anggota keluarga lainnya dibantai hingga tewas oleh sekelompok orang, yang oleh pemerintah disebut dilakukan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora.

Serangan di Dusun Lenowu itu juga diikuti pembakaran sejumlah rumah warga. Salah satu yang dibakar adalah rumah yang biasa dipakai umat Nasrani setempat untuk beribadah.

Baca Juga: Terungkap! 37 Anggota FPI Jadi Teroris, Gabung ke JAD dan MIT

Ketika ditemui wartawan Eddy Junaedi yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, di Pusat Desa Lembantongoa, Mece hanya mengatakan dia berharap pembunuh ayahnya bisa ditangkap.

"Harapan kami supaya cepat ditangkap, supaya kami senang, tidak merasa takut lagi. Kami sudah berterima kasih pada pemerintah, warga-warga yang sudah membantu kami, kami mohon terima kasih sebanyak-banyaknya," kata Mece.

Keluarga Mece merupakan jemaat Gereja Bala Keselamatan di Desa Lembantongoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

Kejadian yang menimpa keluargannya tak hanya meninggalkan pengalaman traumatis bagi Mece, tapi juga umat Nasrani lainnya di desa itu.

Gereja Bala Keselamatan mengecam aksi penyerangan sekelompok orang teroris Mujahid Indonesia Timur pimpinan Ali Kalora terhadap jemaatnya di Pos Pelayanan Lewonu, Palu, Sulawesi Tengah. [dokumentasi]
Gereja Bala Keselamatan mengecam aksi penyerangan sekelompok orang teroris Mujahid Indonesia Timur pimpinan Ali Kalora terhadap jemaatnya di Pos Pelayanan Lewonu, Palu, Sulawesi Tengah. [dokumentasi]

Alvianus, salah seorang Nasrani di wilayah itu, yang cukup akrab dengan keluarga Yasa, juga masih mengalami trauma.

"Sesudah kejadian itu, kami masih banyak rasa takut. Warga selalu kumpul-kumpul di tempat ramai agar tidak takut," katanya.

Kini, mereka pun beribadah dengan bergantian.

Saat sebagian jemaat berdoa, yang lainnya bersiaga di luar bangunan untuk menjaga keamanan.

Pesan untuk tak mendendam

Menjelang Natal, pendeta Bala Keselamatan Desa Lembantongoa, Arnianto Mpapa, melihat kondisi jemaat yang masih terpukul dengan peristiwa itu.

Ia mengatakan terus berupaya memberi penghiburan dan pengajaran pada jemaat bahwa meski sulit, agama mengajarkan mereka untuk tidak mendendam.

"Kita arahkan mereka untuk tetap tinggal tenang, tidak perlu ada pikiran untuk membalas. Saya bicara tentang dasar keyakinan orang Kristen. Dasar keyakinan kami adalah pengajaran mengenai kasih."

"Kita kasihi siapa pun tak memilih siapa dia," ujar Arnianto.

Tema khotbahnya untuk Natal tahun ini, kata Arnianto, juga mengenai kasih.

"Dalam firman Tuhan disebutkan 'kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu'. Kami dituntut untuk mengasihi musuh. Tidak ada wewenang bagi kita memberi balasan. Kita diminta berdoa agar mereka [para pelaku] diberi kesadaran," kata Arnianto.

Lalu, apakah jemaat bisa memaafkan para pelaku?

Mece, putri korban yang meninggal hanya menjawab singkat.

"Semua manusia saling memaafkan," ujarnya.

Namun, bagi jemaat lain seperti Alvianus, memaafkan masih merupakan hal yang sulit. Ia hanya berharap bisa merayakan Natal tahun ini dengan aman.

"Kami selalu mendoakan agar kami diberikan kekuatan, serta mendoakan pihak polisi dan tentara yang sedang melakukan Operasi Tinombala agar diberikan kekuatan biar cepat menangkap para pelaku," ujarnya.

Dukungan umat Muslim - "Yang melakukan tindakan keji, tak wakili agama mana pun"

Arifin, salah seorang warga Desa Lembontongoa yang beragama Islam mengatakan bahwa pasca kejadian itu, warga langsung turun tangan membantu keluarga korban.

"Kami di sini sepakat bahwa yang melakukan tindakan keji itu tidak mewakili agama mana pun. Kami, sejak kejadian hingga hari ini, bersama dengan teman-teman lainya membantu keluarga korban dengan semampu kami," ucapnya.

Dengan keterbatasan materi yang ada, Arifin mengatakan warga non-Nasrani membantu para korban dengan ikut membangun rumah-rumah mereka yang hancur.

Dalam perayaan Natal sebuah gereja di desa itu, Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST), Jemaat Yarden, misalnya, umat Muslim ikut mengamankan acara yang diadakan tanggal 19 Desember itu.

"Kami warga yang Muslim bersama polisi dan tentara menjaga keamanan dan kenyamanan ibadah saudara kami yang beragama Kristen dalam menjalankan ibadah Natal.

"Kegiatan ini sudah berlangsung lama, sebelum kejadian itu," ucap Arifin.

Sarman, seorang Muslim di daerah itu, juga menceritakan kondisi toleransi warga.

Saat pemakaman korban pembantaian lalu, misalnya, jumlah umat Muslim yang hadir di pemakaman mendominasi, kata Sarman.

"Kerukunan sangat baik di daerah ini barangkali bisa dijadikan contoh. Kami tak pernah ada konflik," katanya.

Hal ini diamini pula pendeta Bala Keselamatan Arnianto Mpapa.

"Warga Muslim dan warga Kristen bercampur bersama sejak kejadian hingga pemakaman para korban. Kami di sini saling membantu dan itu hal yang luar biasa di Lembantongoa," katanya.

'Niat memantik perpecahan horisontal'

Penyerangan ini terjadi di tengah operasi yang dilakukan Satuan Tugas Operasi Tinombala untuk mengatasi kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT).

Menurut Noor Huda, pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, kelompok itu memilih momentum mendekati Natal untuk memperoleh dukungan yang lebih luas dan memantik perpecahan horisontal.

Menurutnya, serangan itu, harus dipandang serius oleh pemerintah karena kelompok itu mencoba membangkitkan luka lama sektarian.

Ia pun menyarankan pemimpin agama untuk saling menunjukkan solidaritas.

"Saya kira pemimpin agama dua kubu harus sama-sama berbicara bahwa terorisme tidak mengenal agama dan ras. Yang mayoritas harus tunjukan solidaritasnya, misalnya, dengan menjaga gereja," kata Noor Huda.

Tak mau tenggelam dalam duka

Di Desa Lembantongoa, Yospianda, seorang warga yang berusia 80 tahun mengatakan ia berharap Natal membawa hari-hari yang lebih baik di masa depan.

"Mudah-mudahan kita mendapat keselamatan, kesejahteraan dalam menghadapi Natal ini supaya bisa melangkah tahun 2021 dengan sukacita, jangan kita berduka terus, kita tanggalkan itu," ujarnya.

Ia juga mengimbau warga untuk tak lagi takut beraktivitas, seperti berkebun, karena banyaknya aparat keamanan yang menjaga daerah tersebut.

Yospianda juga mengatakan ia akan mengampuni pelaku yang menghabisi nyawa keluarga Yasa, yang dulu sering dibantunya untuk memetik hasil tanaman kopi.

"Dalam kitab suci dikatakan kita harus mengampuni satu sama lain. Saya memaafkan para pelaku, walau kami belum melihat mereka," pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI