Suara.com - Ekonom senior Rizal Ramli menyebut demokrasi Indonesia mengalami kemunduran dan kini telah berubah menjadi demokrasi kriminal.
Pernyataan itu disampaikan oleh Rizal Ramli saat Fadli Zon bertanya tentang bagaimana demokrasi di Indonesia dari masa ke masa, mengalami kemajuan atau malah sebaliknya.
"Kemunduran luar biasa, sebetulnya bertahap dari demokrasi yang bagus awal reformasi, berubah jadi demokrasi prosedural, belakangan malah jadi demokrasi kriminal," terang Rizal Ramli seperti dikutip Suara.com dari tayangan dalam Kanal YouTube Fadli Zon Official.
Bukan tanpa sebab, ada yang mendasari Rizal Ramli berkata demikian, yakni politik uang di setiap kontestasi politik dari mulai ranah paling bawah sampai pada pemilihan kepala negara.
Baca Juga: Varian Baru Virus Corona Inggris Sudah Terdeteksi di Australia & Singapura
Rizal Ramli menyinggung keberadaan cukong yang seringkali berada di belakang pemimpin guna meraup keuntungan berlebih.
"Jadi bupati butuh uang Rp 50 miliar, jadi Gubernur 100-300 Miliar, Presiden apalagi. Nah rata-rata ini gak pada punya uang, ada cukong yang bayarin. Cukong memilih, membantu menghire, bayar poster, kampanye, dan sebagainya," kata Rizal Ramli.
"Begitu orang (pemimpin) terpilih, dia malah lupa kewajiban, tambah bangsat," imbuhnya tegas.
Melihat fenomena yang terjadi belakangan ini, Rizal Ramli berharap akan ada perubahan demokrasi menjadi lebih bersih dan amanah.
Rizal Ramli menguraikan kesalahan tafsir UU ITE yang kini menurut dia justru dipakai untuk menjerat lawan politik pemimpin. Padahal tujuan utama pembentukan UU ITE bukan untuk itu.
Baca Juga: Refly Harun: Demokrasi Negeri Ini Mulai Mencekam
"UU ITE lebih gawat dari UU Subversif zaman Soeharto. Orang salah ngomong dikit bisa langsung dipenjara. Ini penyelewengan UU ITE, UU ITE itu untuk kejahatan di sektor financial," terang Rizal Ramli.
"Kini (UU ITE digunakan untuk) memenjarakan oposisi. Yang lain-lain kan udah ada Kuhap, dan sebagainya, dan itu kasus perdata. UU ITE salah ngomong di Sosmed langsung ditangkap. Mereka menyalahgunakan untuk meringkus oposisi," sambung dia.
Lebih lanjut, saat berbincang-bincang dengan Fadli Zon, Rizal Ramli juga menyoroti kepemimpinan. Dia membandingkan dengan pemerintahan berideologi komunis.
Rizal Ramli mengatakan, Pancasila tidak memiliki sistem seleksi leadership atau kepemimpinan yang unggul.
Oleh sebab itu, tidak ada salahnya untuk mengambil pelajaran dari pemerintahan komunis agar Indonesia memiliki pemimpin dengan karakter baik seperti memiliki visi ke depan tanpa banyak pencitraan.
"Kita yang mengaku Pancasila tidak punya sistem seleksi leadership yang unggul karena dasar kita feodal, nepotisme. Degan sistem rating, kita bisa menentukan pimpinan yang bagus. Kita ubah seleksi kepemimpinan supaya Indonesia jadi raksasa," tukas Rizal Ramli.
Menyoal pencitraan para petinggi negara, menurut Rizal Ramli hal itu sah saja selagi masih wajar. Sebab, kata dia pencitraan berlebihan adalah jalan menuju kemiskinan dan kemunduran.
"Tapi jangan pilih (pemimpin) yang cuma pencitraan, karena itu modal ke arah kemiskinan dan kemunduran, pemimpin harus ada karakter, strategi, leadership, baru pencitraan. Mau dibawa ke mana Indonesia? Kita perlu pemimpin visi ke depan, karakter kuat, leadership perlu pencitraan yes tapi bukan pertama," tandas Rizal Ramli.