Suara.com - Sepuluh bulan sudah pandemi covid-19 melanda banyak negara termasuk Indonesia, membuat tenaga medis menurut sejumlah survei, mengalami kelelahan dan kecemasan.
Di Indonesia sendiri, kondisi seperti itu tampaknya belum bakal berubah untuk beberapa waktu ke depan.
Sebab, Indonesia kekinian justru mengalami tren peningkatan kasus aktif yang 'memburuk dan tidak dapat ditoleransi'.
"Burnout (kelelahan) terbanyak itu kalau dilihat dari kondisi yang sering dialami di Indonesia adalah lebih pada beban tugas yang berat, seperti bekerja long shift dengan baju hazmat," kata seorang psikiater di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Baca Juga: PMI Semprot Disinfektan Jalanan Protokol Kota Malang
Kondisi yang dikhawatirkannya bisa bertambah berat bagi tenaga medis bila pandemi terus berlangsung.
Seorang dokter spesialis gawat darurat di Jawa Timur, yang juga penyintas Covid-19 mengaku mengalami tekanan luar biasa selama pandemi. Namun ia berusaha terus bertahan.
Pada masa perayaan Natal tahun ini, ia pun bertekad akan tetap bertugas sebagai bentuk pelayanannya agar bisa 'mewartakan kabar keselamatan di saat orang-orang semua mengalami putus harapan'.
'Merasa berjuang sendirian'
Natal kali ini tidak akan sama bagi umat Kristiani, termasuk bagi Tri Maharani, dokter spesialis di unit gawat darurat sebuah rumah sakit di Jawa Timur.
Ia masih tetap bertugas saat perayaan Natal tiba di tengah masih terus mengalirnya pasien.
Baca Juga: Ahli Takut Mutasi Virus Corona Baru Bikin Vaksin Covid-19 Tidak Manjur
Meski ia tidak secara langsung bertanggung jawab menangani pasien Covid-19, sebagai dokter UGD, Tri Maharani tetap menangani pasien yang diduga mengidap penyakit akibat virus corona.
Sebagai tenaga kesehatan yang berada di garda terdepan penanganan pandemi, Maharani mengaku mengalami tekanan luar biasa tanpa henti selama hampir 10 bulan ini.
Bahkan, Maharani sempat terinfeksi Covid-19 dari seorang pasien.
Ia menggambarkan masa-masa ketika ia terinfeksi pada Juli 2020, sebagai masa-masa yang paling sulit.
Ia merasa berjuang sendirian.
"Saya ini sudah sakit. Sudah masuk ke ruang isolasi dan berjuang sendiri supaya anak buah saya tes usap tracing dan keluarga saya terus tes usap tracing. Nah, jadi, perubahan mentalnya itu terasa banget. Bagaimana saya betul-betul mengalami sebuah depresi yang berat karena merasa bahwa dalam perjuangan saya itu saya sendirian," kata Maharani kepada BBC News Indonesia.
"Nggak ada yang mem-backing karena semua orang takut," tambahnya.
Namun situasi itu, tidak membuat Maharani berhenti berjuang di tengah pandemi.
Setelah dinyatakan negatif Covid-19, Maharani kembali bertugas.
Ia bahkan membangun komunitas bagi para penyintas Covid-19 dan membantu meningkatkan kesadaran masyarakat di sekitarnya untuk melawan stigma terkait virus tersebut.
Maharani mengaku pilihan aktivitasnya itu bukan tanpa tantangan.
"Sebetulnya secara pribadi, hampir sembilan bulan itu lelah. Apalagi, tadi saya bilang, kami itu ada di dalam sebuah kondisi di mana ada kelelahan jasmani dan kelelahan mental, yang mungkin kami tidak bisa ngomong dengan banyak orang."
"Ketika kami membicarakan itu, semua orang bilang 'lho kamu kan tenaga medis, tenaga kesehatan. Itu kan sudah tugas kamu. Kamu harus pengabdian.' Dan sebagainya," tutur dokter asal Kediri itu.
Burnout Syndrome
Tekanan luar biasa dan rasa lelah yang diceritakan dokter Tri Maharani itu dialami pula oleh para tenaga kesehatan lainnya.
Menurut penelitian yang dilakukan Universitas Indonesia (UI), sebanyak 83% tenaga kesehatan Indonesia mengalami burnout syndrome derajat sedang dan berat selama masa pandemi Covid-19.
"Tingginya risiko menderita burnout syndrome akibat paparan stres yang luar biasa berat di fasilitas kesehatan selama pandemik ini dapat mengakibatkan efek jangka panjang terhadap kualitas pelayanan medis karena para tenaga kesehatan ini bisa merasa depresi, kelelahan ekstrim bahkan merasa kurang kompeten dalam menjalankan tugas," kata Ketua Tim Peneliti dokter Dewi Soemarko dalam penyataan tertulis UI di lamannya.
Penelitian UI ini sejalan dengan survei yang dilaksanakan RSCM di Jakarta.
Hervita Diatri, psikiater di rumah sakit itu mengatakan sebagian besar tenaga kesehatan mengalami distressed, atau kecemasan.
"Kalau data di rumah sakit saya menunjukkan bahwa, kalau distressed - itu kami sebutnya - ketakutan, cemas tapi bukan gangguan cemas, itu angkanya mencapai sekitar 71%," ungkapnya.
"Jadi, rasa tidak aman, yang mendominasi. Tapi kalau kemudian masuk ke gangguan, angkanya lebih kecil.
"Tetapi, kalau rasa takut yang tadi saya sampaikan itu terus menerus ada dan terus kemudian situasi tidak kunjung membaik, bahkan juga kemudian ditambah dengan fisik yang makin lemah, kami menduga, untuk kesehatan jiwa, bahwa risiko untuk teman-teman tenaga kesehatan mengalami gangguan yang lebih berat itu menjadi lebih besar," tambah Hervita.
Menurutnya kelelahan sudah terjadi sejak bulan keenam maupun ketujuh pandemi.
"Burnout terbanyak itu kalau dilihat dari kondisi yang sering dialami di Indonesia adalah lebih pada beban tugas yang berat. Beban tugas yang saya maksudkan adalah teman-teman ini bekerja long shift, dengan baju yang seperti itu, dengan hazmat," jelasnya.
'Tidak bisa diprediksi bisa terinfeksi'
Ketidaknyamanan bertugas dengan mengenakan alat pelindung yang lengkap itu dialami Zulfa Rachmawati, seorang perawat IGD di RSUD Bandung, salah satu rumah sakit rujukan Covid-19 di ibu kota provinsi Jawa Barat tersebut.
Zulfa terlibat langsung dalam penanganan pasien Covid-19 sejak Maret lalu.
Meski panjang sif tugas sudah dikurangi untuk menjaga stamina para petugas kesehatan, ia sempat kelelahan dan terinfeksi virus corona pada November lalu.
"Jadi ya kita memang nggak bisa prediksi sih, kalau misalnya kapan, atau kalau jam kerja kita lagi banyak dan saya terinfeksi, nggak kayak gitu. Karena sebenarnya kan udah ada alurnya sendiri. Mungkin kemarin itu karena kekebalan tubuh saya lagi turun aja, kecapean," kata Zulfa via telpon.
"Memang saat itu, saya lagi kurang enak badan dan saya jaga di ruangan itu (khusus bagi pasien yang dicurigai mengidap Covid-19) dan memang udah jadi risiko sih bagi saya.
Saya nggak nyalahin siapa-siapa, nggak nyalahin kerjaan, karena saya cape atau gimana. Nggak sih, saya nggak seperti itu," tambahnya.
Bahkan menurut Zulfa, baginya masa-masa yang lebih stress adalah saat awal pandemi, ketika informasi mengenai Covid-19 masih sangat terbatas dan koordinasi di IGD masih kurang memadai.
Kini ia lebih fokus pada menjaga keamanan diri, meski terkadang mengalami rasa jenuh.
"Kalau dibilang jenuh, mungkin karena repot aja - kalau dibilang repot itu kasar - ya memang repot karena bekerja dengan APD level 3 itu capek. Itu panas banget, pake goggle, face shield, hazmat, paka gaun di dalamnya, pakai cover shoes," tuturnya.
'Manifestasi kelelahan fisik dan kelelahan mental'
Merujuk pada situasi yang dialami para tenaga kesehatan serta penelitian dan survei mengenai 'tekanan' terhadap para tenaga kesehatan, juru bicara Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Halik Malik, mengharapkan kondisi tersebut bisa dikelola dengan lebih baik dengan dukungan lingkungan sekitar.
Apalagi pandemi masih terus berlanjut, yang berarti para tenaga kesehatan masih harus terus menghadapi situasi serupa.
"Hasilnya 82% itu yang ringan sedang, kemudian 1% itu masuk kategori berat [merujuk studi UI]. Ini kan sebetulnya gejala burnout,manifestasi kelelahan fisik dan kelelahan mental yang berkepanjangan," ujar Halik.
"Dan kami pikir itu bisa dikelola atau bahkan diantisipasi jika ada dukungan yang kuat atau dukungan yang besar dari masing-masing institusi pelayanan kesehatan dan juga pemerintah maupun masyarakat di sekitarnya," katanya.
Perjuangan panjang melawan Covid-19 masih belum berakhir setelah kasus pertama dikonfirmasi pemerintah Indonesia pada awal Maret 2020.
Hingga jelang tutup tahun, pemerintah mencatat penambahan kasus aktif mencapai tingkat yang 'tidak dapat ditoleransi', yakni 105.146 pasien per 22 Desember.
Angka kasus aktif yang menembus 100.000 hanya dalam waktu sebulan terakhir itu menunjukkan 'tren memburuk'.
Demikian pernyataan resmi Satgas Penanganan Covid-19 melalui juru bicaranya Wiku Adisasmito.
Sementara tingkat okupansi atau keterisian rumah sakit di berbagai dearah juga sudah mencapai 80%.
Medan perang itulah yang kini masih harus dihadapi para tenaga kesehatan di tengah 'kelelahan, kecemasan, burnout' yang menimpa dan mengintai mereka.
Dalam situasi itu, dokter Tri Maharani mengambil keputusan untuk terus melayani para pasien, termasuk saat Natal.
"Jadi saya juga tidak meliburkan diri Natal sampai tahun baru ini. Karena satu hal yang saya ketahui dalam perjuangan Covid-19 ini, ya pasti Tuhan ada, dan Tuhan tahu bagaimana saya berjuang di masa covid ini."
"Dan itu menurut saya adalah makna Natal yang sebenarnya, yaitu bahwa saya harus mewartakan kabar keselamatan lewat pelayanan saya dalam bidang medis kepada orang-orang, di saat orang-orang semua mengalami putus harapan," ujar Maharani.