Suara.com - Ketua Harian Kompolnas Benny Mamoto membuat pernyataan menghebohkan dengan menyebut sekitar 37 anggota Front Pembela Islam (FPI) terlibat dalam jaringan teroris. Puluhan orang itu disebut-sebut bergabung ke dalam kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
Sekretaris Bantuan Hukum FPI Aziz Yanuar menampik tudingan tersebut dan menilainya sebagai sebuah taktik untuk penyematan stigma buruk terhadap FPI.
Kata Aziz, hal tersebut merupakan taktik yang digunakan untuk menyudutkan FPI sebagai organisasi penghasil teroris.
Bantahan Aziz tersebut diungkapkannya dalam acara Kompas Petang yang tayang di kanal YouTube Kompas TV, Minggu (20/12/2020).
Baca Juga: Polisi Razia Kotak Amal Masjid dan Musala, Takut Dipakai untuk Dana Teroris
"Kita mempertanyakan kapasitas dari Kompolnas untuk mempermasalahkan hal ini. Padahal Kompolnas itu kan tupoksinya memberi pertimbangan Presiden dan membantu Presiden untuk kebijakan Polri, bukan kebijakan FPI," ujar Aziz.
Dia menambahkan, tugas Kompolnas menjadi tumpang tindih sehingga menurutnya tidak berhak mengurusi organisasinya apalagi menuding anggotanya terjerumus dalam dunia terorisme.
Meski yakin anggotanya tidak terlibat dalam terorisme, Aziz mengaku tim hukum FPI belum sepenuhnya memeriksa apakah data yang disampaikan Kompolnas akurat atau tidak.
Namun jika benar ada anggota FPI yang jadi teroris, kata Aziz, pihaknya menyatakan bakal menjatuhkan sanksi tegas. Pasalnya, setiap anggota FPI dilarang melanggar ketentuan-ketentuan negara apalagi memiliki persenjataan.
Anggota FPI, imbuh Aziz, mengantongi Kartu Tanda Anggota (KTA) yang dikeluarkan resmi oleh FPI sehingga tidak bisa seseorang mengaku-ngaku atau cuma beberapa kali datang ke acara FPI, bisa dikatakan sebagai anggota.
Baca Juga: Diduga Danai Teroris, Polisi Cek Kotak Amal Masjid dan Musala di Malang
“FPI jelas, jangankan bicarakan terorisme, menggunakan dan membawa senjata saja dilarang, lalu teror macam apa yang dilakukan FPI,” tegas Aziz.
“Maka itu jangan mengeneralisir. Kita menduga arahnya agar FPI distigmakan terlibat terorisme, seperti itu kan, agar membentuk pandangan masyarakat. Padahal, kalau ada satu orang yang terlibat, itu sikap individu, bukan organisasi,” sambungnya.
Sementara itu di kesempatan yang sama, Direktur The Indonesia Intelligence Institute Ridwan Habib mengatakan sejauh ini FPI bisa diidentifikasi bukan sebagai organisasi teroris didasarkan sejumlah bukti dan ciri-ciri.
Pertama, munculnya nama Zainal Ansori, salah satu anggota JAD yang ditangkap Polisi pada 2017 lalu, belakangan disebut sebagai anggota FPI Lamongan.
“Padahal, saat ditangkap dia statusnya anggota JAD. Artinya dia mantan, bukan anggota. Coba dudukkan masalah ini secara objektif,” beber Ridwan.
Selain itu, FPI bisa dikategorikan sebagai organisasi terbuka di mana, mereka memiliki kantor-kantor cabang yang bisa diakses publik.
Selanjutnya FPI juga memiliki administrasi yang jelas seperti keanggotaan, alamat kantor dan yang lainnya.
“Maka itu kita tak bisa terapkan kasus 37 anggota FPI jadi teroris, seolah-olah FPI organisasi terorisme. Saya kira berlebihan kalau stigma seperti itu diberikan,” ucapnya.