Suara.com - Sebanyak empat pemuda asal Pinrang, Sulawesi Selatan, dipenjara setelah dinyatakan bersalah melakukan penghasutan melalui coretan di beberapa sudut kota. Mereka juga dituduh sebagai anarko.
Dalam proses interogasi di kantor kepolisian setempat, mereka mengklaim mengalami penyiksaan oleh aparat. Namun, klaim itu ditepis Kasat Reskrim Polres Pinrang, AKP Dharma Negara.
"Kalau pemukulan tidak ada. Saya lihat tidak ada itu," ujarnya.
- Demo tolak Omnibus Law di 18 provinsi diwarnai kekerasan, YLBHI: 'Polisi melakukan pelanggaran'
- UU Cipta Kerja: Lebih dari seribu orang di berbagai provinsi ditangkap usai unjuk rasa menentang omnibus law, polisi dituding antidemokrasi
- Ravio Patra dilepaskan polisi, aktivis sebut 'teror negara terhadap suara kritis'
Kamis sore, 19 November 2020. Tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Pinrang, Sulawesi Selatan, menyatakan Adnan Rahman, Arfandi, Ahmad Arfandi, dan Alif bersalah.
Baca Juga: Polrestabes Dalami Kaitan antara Penantang Polisi dengan Kelompok Anarko
"Menjatuhkan pidana penjara kepada para terdakwa tersebut masing-masing selama 6 (enam) bulan 25 (dua puluh lima) hari. Apakah terdakwa menerima?" tanya Hakim Ketua, Andi Aqsha, setelah pembacaan putusan.
"Terima, Yang Mulia," kata Adnan dan tiga kawan lainnya.
Sementara itu, di kursi peserta persidangan, Hj. Saidah (50 tahun) ibu dari Ahmad Arfandi, sudah sejak awal menegakkan punggungnya. Dia gelisah tapi tak bersuara.
Sidang selesai dan para anggota majelis hakim membubarkan diri. Mata Saidah sembab. Sambil berjalan, dia terus berucap dan seolah tak percaya hasil putusan itu.
"Bersalah ki ini anak-anak. Terbukti i kasian. Harusnya kan bebas i."
Baca Juga: 270 Orang Diamankan Polda Metro saat Demo Kemarin, Diduga Kelompok Anarko
Di Jalan Jenderal Katamso, rumah keluarga Adnan Rahman, puluhan rekan dari empat pemuda itu berkumpul.
Ridwan, kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, yang menjadi pendamping para terdakwa menjelaskan tentang vonis hakim.
"Jadi ada perbedaan pandangan. Menurut jaksa mereka ini terbukti melanggar pasal 15 UU No 1 tahun 1946. Sementara hakim mendakwanya dan terbukti melanggar pasal 160 ayat KUHP," katanya.
Dalam Replik, Jaksa Penuntut Umum menyatakan keempat orang tersebut telah melakukan tindak pidana, "melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan perbuatan yaitu menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau yang demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat."
Selama empat kali persidangan, sekali sepekan, wartawan Eko Rusdianto yang melaporkan untuk BBC News Indonesia menyaksikan persidangan secara virtual di PN Pinrang ini.
Hingga pembacaan putusan, permintaan terus diajukan untuk mendengar perihal pertimbangan majelis hakim dalam menentukan putusan. "Sidang kan masih berlanjut, nantilah setelah putusan," kata Andi Aqsah.
Selanjutnya, "kan sudah dibacakan. Nanti langsung bisa lihat di salinan putusan ya."
Di kantor Kejaksaan Negeri Pinrang pun demikian. "Ketua tim jaksanya lagi ke Makassar. Tapi kan sudah putusan, saya kira itu lah keputusannya," kata Kasipidum Andi Oddang Yakub.
"Saya juga heran, saya ini juga pernah mahasiswa. Nakal juga dulu, suka demo. Tapi setahu saya ini kalau sudah anarkisme begitu memang bahaya."
Bagaimana kasus ini bermula?
Empat hari sebelum hari Buruh pada 1 Mei 2020, sebuah jaringan pemuda membentuk Aliansi Pustaka Jalan Lasinrang. Mereka berdiskusi dalam sebuah grup Whatsapp. Salah seorang dari mereka membuka percakapan tentang May Day. Puluhan anggota grup itu merespons.
Di tengah perbincangan itu, mereka sepakat mengadakan diskusi tentang kondisi buruh di kampus Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Cokroaminoto Pinrang. Pada 1 April 2020, sekitar pukul 19.00, puluhan anak muda itu berkumpul. Adnan Rahman, 26 tahun, alumni Unversitas Muhammadiyah Makassar, menjadi salah seorang inisiatornya.
Alif (21 tahun) mahasiswa Universitas Islam Makassar dan Ahmad Arfandi (21 tahun) alias Dandi mahasiswa UIN Makassar juga ikut serta dalam diskusi malam itu.
"Nah ada beberapa teman-teman yang tergabung, ada beberapa juga teman-teman yang baru saya kenal. Terutama saudara Dandi dan saudara Alif," kata Adnan.
Diskusi itu berlangsung hingga pukul 22.00. Dan mereka sepakat untuk keesokan harinya dilakukan aksi protes, dengan aksi bisu. Kelompok kecil ini kemudian bekerja membuat pataka dan spanduk. Selesai pukul 24.00.
Usai pembuatan bahan untuk aksi, beberapa dari mereka masih melanjutkan bincang-bincang. Dan kemudian bubar secara terpisah. Adnan bersama Arfandi (25 tahun) alias Fandi mahasiswa STKIP Cokroaminoto, kemudian berboncengan mencari makan di sekitaran jalan Pisang.
Sisa cat semprot - warna merah dan hitam - dari pembuatan pataka dan spanduk, masih ada.
- Ratusan pelajar yang berdemo 'bisa sulit' dapat SKCK, polisi berdalih untuk beri 'efek jera'
- Demo mahasiswa: 'Anak saya babak belur, alasan polisi emosi petugas sedang tidak terkendali'
- Mabes Polri klaim ipar Edo Kondologit tewas dianiaya sesama tahanan, pegiat HAM sebut polisi tak bisa lepas tanggung jawab
Adnan memegang satu kaleng sisa pilox berwarna merah. Dia bergerak ke depan masjid Al-Munawir yang berhadapan dengan gerai makanan siap saji KFC. "Saya turun, saya coret (tulis). Di dinding tiang KAPITAL. Itu sekitar pas jam 1 (01.00)."
Dandi yang datang telat juga mengambil pilox dan menulis kata KAPITALIS di sisi lain tembok gerai itu.
Setelah tulisan pertama di KFC, mereka akhirnya terus bergerak. Tapi isi pilox warna merah yang sebagian sudah digunakan dalam pembuatan pataka habis. "Setelah Dandi menulis, dia bilang habis," lanjut Adnan.
Di depan pintu minimarket Alfmart, Dandi kemudian menulis 'Sej'. "Tadinya mau menulis Sejahterakan Buruh, tapi pilox habis," kata Dandi.
Akhirnya Adnan dan Fandi kembali ke kampus Cokroaminoto mengambil pilox warna hitam yang tertinggal di pot bunga. Mereka kemudian bertemu di kawasan simpang lima. Dan selanjutnya bergerak di depan Mall of Pinrang, hendak singgah di Kantor Partai Golongan Karya (Golkar) tapi masih ramai.
Selanjutnya mereka berbelok ke jalan poros Rappang melewati jembatan, lalu memutar ke Jalan Lasintang, dan berhenti di depan kantor Dinas Pekerjaan Umum. Fandi turun dan menulis kalimat 'Pendidikan Mahal'.
Lalu bergerak lagi di sekitaran Jalan Rappang, Dandi turun dan menulis 'Sejahterakan Buruh'. Setelah itu memutar, melewati kembali taman Lasinrang, melintasi beberapa kantor pemerintahan, lalu keluar di jalan poros utama. Di minimarket samping M Hotel, Dandi kembali menulis 'Sejahterakan Buruh'.
Andan masih memegang kaleng cat semprot warna merah yang sudah kosong. Lalu di perjalanan, dia membuangnya di depan gudang Bulog.
Perjalanan terakhir, kembali ke kantor Golkar, itu sekitar pukul 02.00 dan kondisi sekitar sudah hening. Dandi kemudian menulis kalimat 'Sejahterakan Buruh'. "Setelah itu (kami) pisah. Saya kembali ke kampus Cokroaminoto ambil motor karena tadi boncengan dengan Fandi. Fandi pulang ke rumah, saya pulang ke rumah," kata Adnan.
Tapi Dandi tidak langsung pulang. Isi kaleng cat semprot di tangannya masih tersisa. "Saya rasanya masih ada sisanya. Jadi saya belok jalan lain, saya kembali menulis," katanya.
"Dengan tulisan yang sama di tempat berbeda. Itu ada juga fotonya. Itu dekat-dekat gedung Golkar, itu ada ruko-ruko, itu 'Sejahterakan Buruh' dan logo circle A."
Awal penangkapan
Pada 1 Mei 2020, di depan Mall of Pinrang, kelompok yang mengatas namakan diri sebagai Aliansi Masyarakat Sipil, menggelar aksi bisu. Tanpa orasi. Mereka hanya membentangkan spanduk dan pataka yang dibuat malam sebelumnya. Mereka juga membagikan selebaran sebagai pernyataan sikap aliansi.
Aliansi, menjelaskan bagaimana perjuangan buruh untuk mendapatkan jam kerja layak.
Aksi protes itu berjalan damai sekitar 45 menit. Lalu keesokan harinya pada 3 Mei 2020, aliansi ini kemudian kembali menyelenggarakan pertemuan mengenai kondisi Pendidikan. Sebanyak 20 orang menghadiri diskusi itu dan berlangsung sekitar dua jam.
Seperti momentum Hari Buruh sebelumnya, mereka pun sepakat menggelar aksi pada Rabu, 6 Mei 2020.
Sekitar pukul 16.30 pada 6 Mei, mereka berkumpul di depan masjid Al-Munawir dan melakukan perjalanan menuju taman Lasinrang - jaraknya sekitar 200 meter. Beberapa waktu sebelum aksi dilakukan, Alif bersama rekannya membawa surat pemberitahuan ke kantor Polres Pinrang, yang direkam hingga pos jaga.
Pada aksi ini mereka hadir sebagai Aliansi Peduli Pendidikan. Saat Adnan berbicara menggunakan pengeras suara, tiba-tiba puluhan polisi datang menyambangi. Beberapa dari mereka memasuki kerumunan, dan memotret peserta aksi.
Adnan merasa ada yang salah. Empat orang polisi mendekatinya. Dengan nada tinggi polisi bertanya, mengenai isu aksi dan tuntutan aliansi. "Apa kau sudah menyurat atau tidak!," kata seorang Polisi.
"Sudah pak," kata Adnan
"Ehh, kau tidak tahu ini pandemi. Corona (Covid-19). Dilarang orang berkerumun," kata polisi, sebagaimana ditirukan Adnan.
Aksi itu akhirnya bubar. Rombongan berjalan kembali menuju masjid Al-Munawir. Tapi kemudian sirene mobil polisi berbunyi. Polisi dan aliansi saling debat. Alif yang berada dalam rombongan itu menganggapnya sebagai hal biasa.
Alif tak tahu, jika teman-temannya ditangkap. Hingga seseorang datang menyambangi dan memberikan kabar. Yang pertama kali ditangkap adalah Dandi.
"Pas mau naik motor, langsung ada tiba-tiba dari arah belakang. Ditangkap. Bagaimana kah itu, iya benar dicekik," katanya.
"Saya nda tahu berapa banyak. Karena itu banyak, ada yang pegang tangan kanan, tangan kiri, ada juga yang tarik leher, jadi nda bisa bergerak. Saya cuman bilang, ada apa ini pak? Kenapa kami di represif?"
"Ini mi anarko. Langsung bawa saja. Ambil," kata salah satu polisi, sebagaimana ditirukan Alif.
Adnan menghampiri kawannya, "Kenapa ada tindakan seperti ini pak."
"Ini anarko," jawab polisi singkat.
Dalam kerumunan yang sama, Fandi, juga bersiap bubar. Dia mendekati Dandi yang ditangkap. "Ini juga anarko," kata polisi menunjuk Fandi
"Maksudnya pak? Anarko bagaimana?," jawab Fandi.
"Itu bajumu huruf A,"
"Ikut saja. Jelaskan di kantor Polres."
Adnan, Dandi, dan Fandi akhirnya digiring ke kantor Polres Pinrang. Di tempat inilah mereka mengenang segala peristiwa yang memilukan.
Dipaksa mengaku
Di Polres Pinrang, setiap orang dihadapi satu penyidik. Adnan dihadapi oleh Kanit Resum Polres Pinrang, Iptu Sukri. Sebelum pengambilan keterangan untuk proses BAP, Adnan dan Fandi diantar ke rumah masing-masing. Tiga orang polisi menggunakan pakaian biasa membawanya menggunakan mobil.
Di rumah, Adnan diminta menunjukkan semua buku bacaannya. Polisi menyita puluhan buku bacaan.
Beberapa buku yang disita adalah buku babon dalam memahami realitas sosial. Seperti buku Seks dan Revolusi karya Jean Paul Sartre. Pemberontakan Petani Banten karya Sartono Kartodirdjo. Atau pula Kitab anti Bodoh karya BO Bennett.
Dua buku lainnya yakni Anarkisme dan Sosialisme yang ditulis G. V. Plekhandv serta buku Hati Nurani Seorang Demonstran karya Hariman Siregar dirampas dan dimusnahkan.
Sitaan lainnya, adalah milik Dandi yang pada saat penangkapan membawa tas. Isinya adalah buku ABC Anarkisme karya Alxander Berkman. Buku itu disebut pula "buku kecil" karena hanya ada 253 halaman.
Setelah itu, polisi juga membawa Fandi ke rumahnya dan menyita sepeda motor sebagai barang bukti. Sekitar pukul 22.30 mereka kembali ke kantor Polres Pinrang.
Adnan ditanyai apakah dia menulis 'Jangan Percaya Pemerintah' di tembok. Tapi Adnan menepisnya.
Di ruangan tersebut, ada pula Fandi. Tangannya dalam posisi saling silang ke depan dan dibebat lakban. Seorang polisi mulai memukul kepalanya dengan botol air mineral.
Fandi mulai mendapatkan tendangan. Sekitar tujuh orang polisi itu berbicara bergantian. Tiba-tiba sebuah tinju melayang dari arah kirinya, menghantam pipi. Ketika dia berusaha balik untuk melihat wajah si pelaku, polisi yang lain menariknya. Dan Fandi dihantamkan ke tembok. "Pas dibenturkan, saya berusaha angkat tangan. Seandainya tidak, hancur ini (menunjuk wajah)," katanya.
Usai dibenturkan ke tembok, Fandi terpelanting, kemudian kembali mendapatkan tendangan di perut. Dia memilih berbaring, seraya menarik nafas yang seolah hendak berhenti.
Leher bajunya kemudian ditarik kuat dan tinju pun mendarat di perutnya. "Akui," kata seorang polisi, sebagaimana ditirukannya.
Pengakuan itu menyelamatkan sesaat dari pukulan. "Saya sudah tidak tahan sakit. Jadi saya akui saja," katanya.
Polisi kemudian meminta Dandi untuk menampar Fandi yang menuduhnya. Kawannya tentu saja tak melakukan. Keduanya kemudian mengatakan polisi yang lantas menampar mereka.
Mereka juga mengatakan polisi meminta mereka mengaku.
"Sudah. Sekarang kau sudah mengakui itu saja," kata seorang polisi, sebagaimana ditirukan Dandi.
Ridwan, pengacara publik LBH Makassar, mengatakan keempat pemuda itu memaparkan dalam persidangan, kekerasan yang mereka alami saat proses penangkapan dan penyidikan.
"Adnan dkk, juga tetap ngotot menyampaikan dalam fakta persidangan, bahwa mereka mengalami kekerasan pada waktu itu. Berupa tendangan, kemudian pukulan, pada bagian muka. Seperti itu yang terungkap dalam fakta persidangan pada saat dikonfrontir," papar Ridwan.
Tuduhan anarko
Dandi adalah orang pertama yang mendapatkan kekerasan. Baju kaos bergambar perempuan memegang senjata dan terdapat simbol aksara A di dalam lingkaran kecil di depannya menjadikannya tersangka utama.
Di kendaraan polisi yang membawanya ke kantor Polres, beberapa polisi menghujaninya pertanyaan, tentang anarko.
Di kantor polisi sesaat setelah buka puasa, dan meneguk air dari galon. Seorang polisi bertanya. "Kau anarko?"
"Saya tidak tahu, apa itu. Saya tidak tahu pak," kata Dandi
Usai jawaban itu meluncur, dia langsung mendapatkan tamparan.
"Kalau sudah ditanya seperti itu, dijawab mengelak, langsung dipukul lagi, dibilang pembohong," kata Dandi.
Proses penyelidikan hingga jelang subuh. Sepanjang proses itu, Dandi tak bisa lagi menghitung berapa kali mendapatkan pukulan. "Yang pasti setiap pertanyaan itu, pasti ada pukulan."
Tak hanya pukulan, Dandi juga mengalami kekerasan fisik lainnya. Jelang dini hari, seorang polisi mengangkat sebuah kursi, dan salah satu kaki kursi itu diletakkan di punggung kaki Dandi.
Polisi yang kemudian bertanya menggoyangkan kursi dan mendudukinya. Proses itu memaksanya untuk mengakui semua aksi pencoretan.
Satu pekan sebelum sidang putusan, wartawan Eko Rusdianto mengunjungi Kantor Polres Pinrang dan meminta izin bertemu Iptu Sukri.
Sekitar 15 menit, Iptu Sukri berjalan memasuki kantor Polres. Dia menolak diwawancara dan meminta agar menemui atasannya, Kasat Reskrim AKP Dharma Negara.
Belakangan, dalam wawancara dengan wartawan Eko Rusdianto, AKP Dharma Negara membantah telah terjadi pemukulan.
"Kalau pemukulan tidak ada. Saya lihat tidak ada itu," katanya.
"Kalau di fakta persidangan mungkin. Kan saya tidak ikut dalam persidangan. Jadi fakta di persidangan kalau mereka dipukul, saya ndak dengar apa pernyataan dari para anak-anak, adik-adik ini," katanya.
Mengenai tuduhan anarko, AKP Dharma Negara mengatakan tudingan itu didasarkan pada coretan A yang dilingkari serta buku-buku yang disita.
"Setiap ada tulisan berbarengan dengan beberapa titik, pasti ada logo circle A. Nah itu lah anak-anak bilang anarko.
"Kita dapat buku anarkisme dan sosialisme. Buku-buku petunjuk seperti itulah. Nah dari HP-nya juga adalah petunjuk yang mengarah ke sana. Tapi mereka tidak menyebutkan anarko."
'Anarko tidak sama dengan komunisme'
Alwy Rachman - Budayawan dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanudin, Makassar
Kata anarko banyak dipakai untuk ragam keperluan. Sebagai satu -isme, anarko bisa ditelusuri di ragam sumber. Malah, banyak pemikir besar seperti Noam Chomsky disebut sebagai anarko.
Ada memang soal di media, karena anarki disetarakan dengan violence (kekerasan). Padahal, anarko sesungguhnya bagian dari intelektualisme yang mengambil posisi di luar keperluan pemerintahan.
Coba refleksi kehidupan keseharian kita. Apakah benar semua tindakan kita diatur oleh negara? Tentu saja, tidak kan?
Tindakan-tindakan yang tidak diatur oleh negara adalah bagian dari anarki. Kalau saya berdua dengan istri saya di kamar, kan tidak diatur oleh negara. Tindakan saya berdua di kamar, kan bermatra anarki. Dengan kata lain, kita tak mungkin hidup wajar tanpa anarki.
Sayangnya, sekali lagi, terutama di media, anarki sering disamakan dengan kekerasan yang merugikan orang lain.
Karena negara memang satu wilayah, sementara anarki juga satu wilayah. Jadi kedua wilayah ini tidak berada dalam satu kamar. Posisinya bertentangan secara diametral. Anarko tak sama dengan komunisme
Mengapa ada tulisan lain?
Yang tidak diketahui keempat pemuda itu, ada seorang mahasiswa tingkat akhir di Makassar yang melakukan coretan lain di dinding.
Dia menulis 'Sudah Krisis Ayo Menjarah', 'Negara = Pembunuh', 'Karena Corona, Agama Hilang', serta 'Jangan Percaya Pemerintah'.
"Saya yang tulis. Itu sekitar empat hari sebelum May Day," katanya sembari meminta agar identitasnya tidak dipublikasikan kepada wartawan Eko Rusdianto yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Mengapa dia menulis kata-kata itu? "Saya jengah dengan polisi yang banyak melakukan represi," katanya.
Dalam beberapa tulisan itu, dia membubuhi dengan huruf A dilingkari. Logo itu acapkali diidentikkan dengan anarkisme. Apakah dia seorang anarko?
"Bukan. Saya bukan penganut paham itu. Tapi apa salahnya menggunakan cara mereka untuk mengkritik," jawabnya.
Adnan Rahman, Arfandi, Ahmad Arfandi, dan Alif juga menolak disebut anarko.
"Kenapa saya dipenjara, saya cuman ingin menyampaikan pendapat. Apakah salah menulis Sejahterakan Buruh? Apakah salah menulis Kapitalis? Kenapa kita tidak merenung dan memikirkannya," kata Dandi.
"Kalau soal simbol A (circle A) itu, logo Avenger juga mirip. Saya suka logo itu karena identitas huruf nama depan saya. Suka. Tapi saya bukan seorang anarko," katanya.