Boy Rafli Amar ke Gus Miftah : Indonesia Masih Rawan Terorisme

Iwan Supriyatna Suara.Com
Jum'at, 18 Desember 2020 | 07:20 WIB
Boy Rafli Amar ke Gus Miftah : Indonesia Masih Rawan Terorisme
Gus Miftah.
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Berdasarkan data Global Terrorism Index tahun 2019 ancaman terorisme di Indonesia berada di peringkat ke-35 dari 138 negara yang terdampak terorisme.

Meskipun jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara seperti Filipina dan Thailand, Indonesia masih terbilang lebih baik.

Pada 27 November 2020 satu keluarga terdiri dari empat orang warga di Desa Lembantongoa, Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah dibunuh oleh teroris kelompok Mujahidin Indonesia Timur. Mereka juga membakar enam rumah warga.

Kelompok teroris itu dipimpin oleh Ali Kalora yang sudah lima tahun menjadi buron dan diyakini bersembunyi di pedalaman hutan Palolo, Sulawesi Tengah.

Baca Juga: Penelusuran Vonis Hakim, Ini 37 Anggota FPI Terlibat Terorisme

Ali Kalora merupakan penerus kepemimpinan Santoso yang berhasil dibunuh dalam baku tembak pada 18 Juli 2016.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar menerangkan, wilayah Sulawesi Tengah menjadi wilayah yang masuk dalam program prioritas karena menjadi episentrum kejahatan terorisme.

“Yang dilakukan pertama adalah kontra radikalisasi. Kedua, deradikalisasi. Di masa lalu Sulawesi Tengah seperti Palu dan Poso merupakan wilayah yang memiliki konflik sosial dan tentu upaya deradikalisasi telah dijalankan menjadi bagian program BNPT,” papar Komjen Pol Boy Rafli Amar kepada Gus Miftah dalam acara bincang-bincang di iNews ditulis Jumat (18/12/2020).

Menurutnya, terorisme adalah kejahatan yg bersifat transnasional dan trans ideologi. Terjadi proses radikalisasi, umumnya terjadi di kelompok jaringan teroris Al-Qaeda dan ISIS.

Terorisme di Indonesia, lanjut Boy Rafli, menjadi sebuah idiom dalam lingkup pengetahuan sosial yang sangat populer pada dekade 1990an dan awal tahun 2000 sebagai bentuk kekerasan agama. Memahami terorisme tidak bisa jika pondasi yang ditancapkan hanya mengacu pada agama semata.

Baca Juga: Anggota FPI Terlibat Aksi Terorisme, Ini Jejak Kasus 37 Pengikut Rizieq

Kepala BNPT juga menekankan, pendefinisian terorisme tidak akan lepas dari bias politik dan ideologi. Instabilitas politik, keamanan, dan lemahnya pemahaman keagamaan serta menurunnya wawasan kebangsaan dapat menimbulkan keinginan disintegrasi bangsa sehingga memicu lahirnya terorisme.

Gus Miftah yang memimpin dan mengasuh Pondok Pesantren Ora Aji, Yogjakarta itu juga memiliki catatan pada terorisme.

“Fenomena terorisme tidak terjadi karena suku dan agama atau ras tertentu saja, tetapi terorisme berpotensi ada di setiap individu tanpa melihat agamanya," ujarnya.

Sebuah agama sepatutnya tidak lah menjadi perdebatan dan alasan mencari pembenaran atas tindak kekerasan berkedok jihad. Selanjutnya Gus Miftah berpesan agar agama tidak untuk diperdebatkan tapi untuk diamalkan.

"Kalau diperdebatkan, semua orang akan mengatakan agamanya paling benar. Tapi kalau ada yang mengatakan semua agama itu benar, salah, yang benar adalah semua agama benar bagi penganutnya,” lanjut dia.

Dikenal dengan cara dakwah yang unik dan menyambangi komunitas-komunitas secara langsung, Gus Miftah kini juga memandu acara di layar kaca.

"Ngobrol Bareng Gus Miftah” yang hadir tiap Jumat malam, beberapa kali mengundang nara sumber yang tengah jadi perbincangan seperti Menteri BUMN Erick Thohir, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Syekh Ali Jaber, Ustaz Yusuf Mansur dan Deddy Corbuzier hingga Ade Londok.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI