Suara.com - Selama lebih dari dua dekade, warga eks pengungsi Timor Timur hidup dalam penuh keterbatasan tanpa kepastian tentang hak atas tanah yang mereka tinggali.
Khawatir dengan masa depan anak cucu, mereka berunjuk rasa menuntut kepastian status lahan yang mereka tempati.
Dalam unjuk rasa pekan lalu, sebanyak empat warga eks-pengungsi Timor Timur ditetapkan sebagai tersangka. Mereka dituduh terlibat penyerangan dan pengrusakan mobil polisi di Desa Tuapukan, Nusa Tenggara Timur.
Melalui demonstrasi pada Jumat (10/12) - bertepatan dengan Hari HAM Sedunia - mereka menuntut kepastian hak atas tanah yang mereka tempati selama lebih dari dua dekade.
Baca Juga: Jokowi Diingatkan Punya Saingan Baru: Tak Ingin Papua seperti Timor Timur
Sebanyak enam warga terluka, satu di antaranya diduga kena tembak, sebagai imbas dari kekerasan yang diduga dilakukan aparat polisi. Namun polisi membantah dan memastikan anggotanya "tidak ada sama sekali melakukan upaya-upaya represif".
- Masyarakat adat Besipae di NTT yang 'digusur' dari hutan adat Pubabu: 'Kami hidup di bawah pohon'
- Klinik transgender Dili: nasib LGBT di Timor Leste lebih baik dibanding di Indonesia?
- Kembalinya anak Timor Leste yang ‘diambil paksa’ oleh TNI
Warga eks pengungsi Timor Timur, Juana de Araujo Fernandes, berharap pemerintah "melihat" kondisi hidup tak layak yang dialami pengungsi eks Timor Timur yang tersebar di sejumlah daerah di NTT.
"Kami hanya minta pemerintah supaya melihat kami eks Timtim ini. Kami hidupnya sengsara, makan minum saja setengah mati. Dan tolong berikan hak atas tanah, status yang jelas saja. Hanya mau itu, tuntutan kita hanya itu saja," tutur Juana kepada BBC News Indonesia, Selasa (15/12).
Pemerintah NTT mengatakan akan "duduk bersama" dengan pemerintah pusat untuk menentukan kepastian hukum atas tanah di lahan yang ditinggali pengungsi Timor Timur yang disebutnya "sudah menjadi warga negara Indonesia" itu.
Ratusan ribu warga Timor Timur - kini bernama Timor Leste - eksodus ke Indonesia pada saat referendum Timor Timur digelar pada 1999. Mereka adalah warga Timor Timur yang memilih Indonesia menjadi tanah airnya.
Baca Juga: Dampak Hubungan antara Indonesia dan Australia: Pelepasan Timor Timur
Mereka tersebar di beberapa kamp pengungsi, seperti yang ada di Noelbaki, Naibonat, Haliwen, Ponu dan Tuapukan.
Namun 21 tahun kemudian, nasib sebagian dari mereka masih terkatung-katung.
Tinggal di rumah beratap daun lontar dan dinding bebak lapuk
Salah satu dari mereka adalah Juana de Araujo Fernandes, perempuan berusia 26 tahun yang pada usia 3 tahun dibawa oleh ayah dan ibunya mengungsi ke Kupang dari Timor Timur, yang kini telah berganti nama menjadi Timor Leste.
Ia tak ingat di daerah mana di Timor Timur ia berasal, yang ia tahu dirinya dan enam saudaranya yang lain dibawa "lari" oleh ayah dan ibunya ke Kupang pada 1999, ketika provinsi ke-27 Indonesia itu menggelar referendum.
Sejak saat itu, ia tinggal di kamp pengungsi Tuapukan hingga kini.
"Ketika kita datang, tempat tinggal kita ini semuanya rumput, kaya hutan. Jadi kita semua sama-sama bersihkan, habis itu kita tempati. Kita bikin seperti tenda, pakai terpal, kita tinggal sama-sama," tutur Juana, menceritakan pengalaman hidupnya ketika pertama kali tiba di kamp pengungsi itu.
"Dari situ, kita semua mulai cari-cari kayu untuk dipotong [untuk dijadikan] tiang, bikin rumah. Tapi rumah-rumah atap daun," ujarnya kemudian.
Rumah yang dibangun seadanya itu dihuni oleh dua keluarga, yakni keluarga ayah dan keluarga kakak Juana.
Ketika menikah, Juana memutuskan untuk hidup terpisah, meski masih di dalam area kamp pengungsi.
"Saya dan suami berusaha bagaimana caranya kita bangun rumah. Jadi kita pergi potong kayu, bikin rumah sendiri. Tapi atapnya atap daun, bebak juga bebak lapuk," terang Juana.
Bebak adalah anyaman batang daun gewang untuk dinding rumah
"Atap daun, lantai tanah, tidurnya masih di lantai. Bentang tikar, kasur di bawah," katanya kemudian.
Rumah berukuran 6 kali 5 meter, itu ditinggali Juana, suami dan dua anaknya.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Juana sempat bekerja sebagai buruh tani. Setelah mendapat pinjaman modal, ia berjualan sayur mayur di pasar terdekat.
Namun, ia mengaku penghasilannya kadang tak mencukupi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Kadang kalau tidak ada uang kita pergi utang. Kadang kita bersihkan kebun orang, kita dibayar, baru kita tutupi utang kita."
"Dari hasil tani, kalau hujan turun kita bisa berkebun, bikin sawah. Kalau hujan tidak ada, sawah tidak ada, tergantung hujan," kata Juana.
Keterbatasan hidup di kamp pengungsi Tuapukan, juga dialami oleh Misaqui de Jesus Agustinho.
Sejak usia 6 tahun, pria yang lahir di Dili, Timor Leste, ini tinggal di kamp itu bersama ayah, ibu dan empat saudaranya.
Awalnya, ketika pertama tiba di kamp pengungsi ia harus tidur di bawah tenda bersama para pengungsi lain.
Namun, pada 2002, status pengungsi dihapus oleh UNHCR. Artinya, tak ada lagi bantuan dari organisasi pengungsi PBB itu.
"Sesudah itu kita mulai hidup cari kayu untuk buat rumah darurat sementara," ujar pria yang akrab dipanggil Oky ini.
"Kita potong kayu untuk dibuatkan tiang untuk rumah. Daun lontar dijadikan atap kita. Karena kita tidak bisa membeli alat-alat, bahan bangunan, jadi kita memakai apa yang ada di lingkungan kita," ujar Oky.
"Dan sampai sekarang kita masih hidup di rumah beratapkan daun lontar, dengan [dinding] bebak-bebak yang hampir lapuk."
Seperti diketahui, pada 22 Desember 2002, UNHCR telah mendeklarasikan cessation of status, atau penghapusan status pengungsi bagi warga Timor Timur yang ada di Indonesia.
Langkah serupa diikuti oleh pemerintah Indonesia pada 2005.
Sayangnya, penghapusan status pengungsi itu tak menuntaskan persoalan warga eks pengungsi. Sebab, lahan yang mereka tempati bukanlah milik mereka.
Ketika di Dili, kata Oky, keluarganya mendapat penghasilan dari bercocok tanam di lahan yang ia miliki. Namun di pengungsian, mereka terpaksa menjadi buruh tani lantaran tak lagi memiliki lahan untuk digarap.
Ia menuturkan, saat ini ada lebih dari 250 keluarga yang tinggal di Tuapukan dengan satu rumah dihuni oleh dua - tiga keluarga.
'Seorang petani akan mati kalau tidak ada tanah'
Keresahan akan kepastian status tanah, memicu unjuk rasa menuntut hak atas tanah yang mereka tinggali di NTT, selama dua dekade terakhir itu.
Demonstrasi yang digelar bertepatan dengan Hari HAM Sedunia pada 10 Desember lalu, merupakan demonstrasi kedua setelah sebelumnya demonstrasi digelar di bulan September.
"Selama 21 tahun hidup dalam ketidakjelasan ini, sampai kita turun ke jalan itu merupakan sebuah refleksi yang panjang akan masa depan kami dan masa depan anak cucu kami," kata Oky, menjelaskan alasan dibalik unjuk rasa itu.
"Seorang petani akan mati kalau tidak ada tanah, terus bagaimana kalau kami tidak punya tanah untuk kami garap dan bisa makan dan minum," kata Oky.
Sementara, upah sebagai buruh tani, menurut Oky, tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Imbasnya, generasi kedua dan ketiga warga eks pengungsi Tim Tim kini terpaksa meninggalkan sekolah demi membantu orang tua mereka memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Secara tidak langsung masa depan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik akan hilang dan sumber daya manusia mereka menjadi lemah.
"Kalau sumber daya manusianya menjadi lemah maka secara tidak langsung sepuluh atau tiga puluh tahun ke depan kami akan tersisihkan dalam peradaban ini."
"Dan kami tidak akan bersaing dalam bidang apapun, maka 10 - 20 tahun ke depan penyumbang kemiskinan yang terbesar adalah WNI eks Tim Tim yang dulunya menjadi contoh nasionalisme untuk Indonesia," kata Oky.
Adapun saat ini NTT merupakan provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi ketika setelah Papua dan Papua Barat, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).
Sayangnya, unjuk rasa pekan lalu berujung ricuh. Oky menyebut hal itu dipicu oleh pemukulan yang dilakukan anggota polisi. Masa aksi yang tidak terima "merespons tindakan provokasi" polisi sehingga terjadi aksi "saling lempar-melempar".
"Dalam kerumunan yang pertama tembakan pertama bunyi, kawan kita keluar dengan lompat-lompat kakinya," kata Oky.
Enam warga disebut terluka dalam aksi unjuk rasa itu, termasuk seorang perempuan, yang terluka di bagian kelapa sebelah kanan. Salah satu di antara korban diklaim tertembak di lutut bagian kanan.
Privanto Soares, yang disebut kena luka tembak oleh Oky, kemudian dibawa oleh Acasio Soares dan Abel de Almeida Pinto ke rumah sakit. Namun dalam perjalanan, mereka dihentikan oleh pihak kepolisian.
Oleh polisi Privanto dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara, sementara dua temannya yang lain langsung dibawa menuju kantor polisi. Tak lama kemudian, Privanto juga ditahan oleh polisi.
Sehari kemudian, Denonanto Saramento ditangkap polisi dalam perjalanannya menuju tempat kuliah kerja nyata (KKN).
Keempatnya kini ditetapkan sebagai tersangka kasus penyerangan dan pengrusakan pada Senin (14/04).
Keempat tersangka dijerat pasal 170 ayat 1 dan 2, serta pasal 216 KUHP dengan ancaman hukuman tujuh tahun penjara.
Polisi juga tengah mengembangkan penyidikan guna menangkap otak dibalik aksi massa dan penyerangan terhadap polisi.
- Se'i hingga sambal luat: Cerita pemuda asal NTT perkenalkan kekayaan kuliner daerahnya
- 'Pemusnahan' orang yang dicap PKI di Maumere: Pegiat seni bangkitkan 'ingatan' melalui teater
Polres Kupang juga menyatakan dalam kerusuhan yang terjadi di Tuapukan pekan kemarin, tidak ada anggota polisi yang mengeluarkan tembakan ke arah warga sebagaimana kabar yang beredar luas di media sosial.
Adapun Kapolres Kupang, AKBP Aldinan Manurung, membantah anggotanya melakukan kekerasan dan memastikan anggotanya sama sekali tidak melakukan upaya represif.
"Kita tidak ada sama sekali melakukan upaya-upaya represif. Sekali lagi, tidak represif, seperti yang disebutkan ada korban luka tembak, atau luka apa, tidak ada. Hasil visum menyatakan itu bukan tembak," ujarnya dalam konferensi pers Senin (14/12).
Apa akar masalah status tanah itu?
Peneliti Farid Abdul Alkatiri, yang pernah meneliti tentang akses tanah dan kendala legitimasi eks pengungsi Timor Timur di Belu, NTT, mengatakan hak atas tanah adalah masalah yang jamak dialami oleh warga eks pengungsi di NTT.
Pasca-referendum, banyak warga Timor Timur memilih untuk mengungsi ke wilayah Indonesia. Mereka adalah warga yang memilih pro-integrasi dengan Indonesia ketimbang merdeka dalam referendum.
Sebagian besar menetap di Belu, sebagian lainnya di Kupang. Pengungsi di Kupang berasal dari bagian timur Timor Leste, sementara yang dekat kawasan perbatasan menetap di Belu, yang berbatasan dengan Timor Leste.
Farid menuturkan empat persoalan utama yang dihadapi oleh para pengungsi eks Timor Timur, yakni kesehatan, pendidikan, kesejahteraan dan masalah data.
"Banyak yang tidak bisa menjelaskan sejauh mana persisnya jumlah pengungsi pada saat itu, bahkan sampai hari ini, karena banyak faktor yang melatar-belakangi," kata Farid.
Masalah lain yang memperburuk problem eks pengungsi Timor Timur, kata Farid, pemerintah daerah yang tak menyangka jumlah pengungsi akan mencapai ratusan ribu.
Kala itu, pemerintah memperkirakan hanya 20.000 jiwa yang akan mengungsi. Sebab, konflik yang terjadi diperkirakan hanya skala kecil saja karena keyakinan pemerintah bahwa opsi pro-integrasi akan menang.
"Tetapi kan berbalik, kurang lebih 250.000 jiwa pengungsi yang masuk ke Indonesia. Sekitar 100.000 ada di Kabupaten Belu," kata dia.
Ia melanjutkan, pemerintah daerah yang kewalahan menyiapkan lahan kamp pengungsi, menggunakan lahan milik masyarakat lokal untuk lokasi kamp pengungsian. Sebagian besar menempati tempat itu sampai hari ini.
"Dari situ kemudian muncul konflik lahan. Masyarakat adat yang memiliki lahan lebih luas juga nimbrung dalam persoalan ini karena sebagian besar wilayah mereka ditempati pengungsi," kata Farid.
Dijelaskan Farid, sebagian besar lahan di Belu dikuasai oleh lembaga adat, sehingga pemerintah daerah meminjam lahan itu selama beberapa tahun untuk ditinggali oleh pengungsi.
"Poin ini tidak diketahui oleh pengungsi. Pengungsi merasa bahwa lahan yang telah ditempati, diberikan oleh pemerintah daerah dan menjadi milik mereka. Itu menjadi pemicu konflik," katanya.
Sebagian besar pengungsi kemudian secara swadaya membeli lahan yang dimiliki oleh warga lokal. Namun, menurutnya cara ini tidak menyelesaikan persoalan.
"Mereka di kamp-kamp ini berkelompok, etnis lain nggak bisa nimbrung. Jadi sesama etnis saja, etnis yang minoritas sedikit mengalami kendala untuk berswadaya," kata dia.
Masalah lain yang melingkupi persoalan hidup eks pengungsi Timor Timur, lanjut Farid, mereka kerap kali dijadikan "komoditas politik" dalam pemilihan kepala daerah. Suara mereka kerap ditukar dengan janji kepastian tentang hak atas tanah.
Dari sekitar 250.000 ribu pengungsi Timor Timur di Indonesia, ada yang kemudian memilih kembali ke asal mereka di Timor Leste. Sedangkan yang lain mengikuti program transmigrasi yang ditawarkan pemerintah.
Pemerintah akan 'duduk bersama'
Kepala Humas Provinsi NTT, Marius Jelamu, mengatakan akan "duduk bersama" dengan pemerintah pusat untuk menentukan kepastian hukum atas tanah di lahan yang ditinggali pengungsi Timor Timur yang disebutnya "sudah menjadi warga negara Indonesia" itu.
"Perlu kebijakan negara, dalam hal ini untuk pengadaan lahan bagi para saudara-saudara kita yang eks Timor Timur itu. Tentu kalau mengharapkan pemerintah daerah tidak mungkin karena APBD kita sangat terbatas," kata Marius.
Ia memperkirakan saat ini ada sekitar 120.000 warga eks pengungsi Timor Timur yang tersebar di seluruh NTT.
Adapun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyatakan akan membangun rumah secara bertahap untuk warga eks Timor Timur di NTT.
Rencana pembangunan rumah untuk warga eks Timor Timur tersebut merupakan tindak lanjut dari kunjungan Presiden Joko Widodo ke NTT, tahun lalu.
Dirjen Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR Khalawi Abdul Hamid, menjelaskan pembangunan rumah rumah baru untuk warga eks pengungsi Timor Timur akan dimulai di Belu.
"Pembangunan akan dilakukan secara bertahap, dimulai dari tahun 2020 sebanyak 100 unit di Kecamatan Raihat (Desa Tohe), tahun 2021 sebanyak 100 unit di lokasi yg sama, dan tahun selanjutnya disesuaikan dengan ketersediaan dan kesiapan lahan oleh Pemda," jelas Khalawi.
Berdasarkan usulan Pemerintah Kabupaten Belu, kata Khalawi, jumlah warga baru yang perlu ditangani rumahnya sebanyak 475 keluarga yg pada saat ini menempati tempat tinggal sementara yang tersebar di 4 lokasi pengungsian.
Empat kamp pengungsian itu berada di lahan milik Kodim 1605 Belu sejumlah 162 keluarga, lahan milik Polres Belu sejumlah 119 keluarga, lahan Stadion Haliwen milik Pemda Belu sejumlah 108 keluarga dan lahan sepanjang bantaran Sungai Talau sejumlah 86 keluarga.
Namun, Farid Abud Alkatiri merekomendasikan bantuan yang diperlukan oleh warga eks pengungsi Timor Timur ialah pemberdayaan, terutama di sektor pertanian.