Suara.com - Sejumlah tenaga kesehatan mengaku khawatir menjadi yang pertama mendapat vaksin Covid-19, karena belum ada informasi terkait dengan keamanannya.
Sementara itu, Ikatan Dokter Indonesia justru akan mendorong tenaga kesehatan, termasuk para dokter menjadi contoh dari program vaksinasi Covid-19.
Di sisi lain, ketika produsen vaksin asal China, Sinovac, belum mengkonfirmasi tingkat efikasi vaksin (manfaat bagi individu yang menerima imunisasi), pemerintah meyakinkan bahwa tahapan vaksin sudah sesuai rencana termasuk melibatkan para ahli.
- Indonesia akan tambah penerima vaksin gratis Covid-19, epidemiolog minta digratiskan seluruhnya demi wujudkan 'herd immunity'
- Pemerintah Indonesia klaim mutu vaksin Covid-19 Sinovac 'sudah diakui WHO', bagaimana kesiapan vaksinasi?
- Nenek berusia 90 tahun menjadi orang pertama di dunia yang divaksin
Erni – bukan nama sebenarnya – adalah perawat salah satu rumah sakit rujukan Covid-19 di Jakarta.
Ia mengaku khawatir menjadi yang pertama mendapat vaksinasi karena belum ada jaminan keamanan terkait efek sampingnya.
"Kalau jadi bahan percobaan ya takut. Karena kan dibilang, itu tahap uji coba. Terus misalnya, saya punya komorbid (penyakit penyerta) yang berbahaya ... bisa terjadi bahaya ke saya," katanya kepada BBC News Indonesia, Senin (14/12).
Sejauh ini Erni belum mendapat informasi terkait vaksin yang akan disuntikkan ke dalam tubuhnya.
"Kayaknya harus dikasih tahu, vaksin itu seperti apa, kandungan-kandungannya, dan dampak-dampaknya," katanya.
Tenaga kesehatan (nakes) lain, Rukman – bukan nama sebenarnya – ikut menyatakan keraguannya untuk menjadi yang pertama disuntik vaksin Covid-19.
"Karena ini baru uji coba tahap pertama, terus orang pertamanya itu nakes nya dulu. Kalau ada yang pertama bukan nakes, ada yang berhasil ya nggak akan ragu," katanya.
Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Harif Fadhillah, menilai pemerintah perlu memberikan jaminan keamanan kepada nakes yang akan menerima vaksin.
"Ini mungkin kaitannya, pemerintah bisa meyakinkan masyarakat termasuk tenaga kesehatan, bahwa vaksin ini sudah aman, karena beberapa waktu yang lalu, pertentangan terhadap vaksin ini masih cukup sengit," kata Harif kepada BBC News Indonesia.
Harif juga meyakini pemerintah tak akan gegabah memberikan vaksin terhadap tenaga kesehatan yang ia sebut sebagai kelompok vital dalam penanganan Covid-19.
"Saya kira negara ini tidak akan gegabah memberikan vaksin pada kelompok-kelompok yang sangat kritis, yang artinya punya peran yang sangat kritis, sangat vital dalam konteks bukan hanya pandemi, saya ambil contoh diberikan kepada TNI-Polri, negara (memang) mau memberikan kepada TNI-Polri yang berakibat TNI-Polri lemah," kata Harif.
Tenaga perawat, kata Harif nantinya akan dilibatkan dalam teknis pemberian vaksin Covid-19.
Sejauh ini pihaknya telah dilibatkan pemerintah dalam pelatihan sebagai pemberi vaksin (vaksinator). "Termasuk perawat itu sudah ribuan," katanya.
Keragu-raguan tenaga kesehatan untuk mendapat vaksin Covid-19 ini muncul di tengah kisruh pemberitaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak disuntik vaksin Sinovac asal China.
Sebelumnya vaksin ini sudah didatangkan ke Indonesia pada 6 Desember 2020 lalu sebanyak 1,2 juta dosis, meskipun hasil uji klinis fase ketiga belum selesai dievaluasi.
Pemerintah memprioritaskan penyuntikan vaksin ini kepada tenaga kesehatan, aparat TNI-Polri, hingga aparatur sipil negara (ASN) dan mereka yang bekerja sebagai pelayan publik.
IDI dorong tenaga kesehatan jadi model penerapan vaksin
Dalam keterangan kepada BBC News Indonesia, juru bicara IDI Halik Malik mengklarifikasi kisruh pemberitaan yang menyebut IDI menolak disuntik vaksin.
"Sebaliknya, IDI mengimbau agar semua pihak mendukung upaya vaksinasi covid-19 di Indonesia dan yakin dengan vaksin yang ada karena sebelum digunakan semua platform vaksin yang ada itu telah melalui serangkaian proses penilaian oleh para ahli yang kompeten dan otoritas yang berwenang," kata Halik kepada BBC News Indonesia, Senin (14/12).
Halik juga mengatakan, IDI justru akan mendorong para dokter untuk menjadi model ideal atau contoh dari penerapan vaksin Covid-19.
"Jadi, tenaga kesehatan diharapkan bisa menjadi role model untuk pelayanan vaksinasi ke depan, karena mereka yang pertama divaksinasi, kemudian mereka yang memiliki keilmuan terkait vaksin dan pentingnya vaksinasi ini, mereka diharapkan bisa jadi komunikator yang handal di masyarakat," kata Halik.
Namun, sejauh ini diberitakan Bloomberg, perusahaan Biotech Sinovac belum merilis data efikasi terkait dengan uji fase III yang telah dilakukan di Bandung, Jawa Barat, yang melibatkan 1.620 relawan.
Perusahaan ini sedang fokus pada analisa data uji terakhir yang lebih besar di Brasil.
Juru bicara vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan pihaknya masih menunggu lampu hijau dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk mensosialisasi kemanjuran vaksin.
"Jadi nanti kalau BPOM sudah mengeluarkan (izin) berarti mutu dan keamanan sudah aman," katanya kepada BBC News Indonesia, Senin (14/12).
Siti melanjutkan proses rekomendasi vaksinasi secara luas kepada masyarakat luas juga akan melibatkan Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI). "Ini kan para ahli di bidang imunisasi. Jadi nanti sosialisasinya pasti," katanya.
Sejauh ini, kata dia, rencana vaksinasi covid-19 masih sesuai tahapan yang diperkirakan.
"Di sisi lain, ingin aman bermutu. Di sisi lain ingin cepat-cepat. Jadi kita sesuai tahapan-tahapan seperti itu, supaya betul-betul vaksinasi nasional yang kita lakukan itu benar-benar memenuhi persyaratan aman, bermanfaat dan memiliki efikasi yang baik sehingga tidak ada keragu-raguan termasuk para nakes," kata Siti.
Pemerintah diminta transparan
Sementara itu, Pakar biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo Utomo mengatakan keragu-raguan sejumlah tenaga kesehatan merupakan hal yang wajar.
Sebab, kata dia, uji klinis masih berlangsung dan belum ada pernyataan resmi dari BPOM.
"Itu tentu mereka [tenaga kesehatan] tidak ingin mempertaruhkan keselamatan dan kemanjurannya vaksin ini," kata Ahmad kepada BBC News Indonesia, Senin (14/12).
Oleh karena itu, ia meminta pemerintah untuk terbuka setiap kali ada informasi terkait perkembangan vaksin ini.
Sebelumnya, pemerintah Indonesia telah menetapkan enam jenis vaksin yang akan digunakan dalam program vaksinasi Covid-19 di Indonesia.
Enam jenis vaksin itu diproduksi oleh enam lembaga berbeda, yaitu PT Biofarma, AstraZeneca, Sinopharm, Moderna, Pfizer-BioNtech, dan Sinovac Biotech.
Penetapan itu tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor H.K.01.07/Menkes/9860/2020 tentang Penetapan Jenis Vaksin Untuk Pelaksanan Vaksinasi Corona Virus Disease 2019 ( Covid-19).
Berdasarkan kesepakatan antara Sinovac Biotech dan PT Bio Farma, perusahaan yang berbasis di Beijing ini berkomitmen memasok bahan curah vaksin ke Indonesia.
Pasokan ini bertujuan agar Bio Farma bisa memproduksi 40 juta dosis vaksin sebelum Maret 2021. Setelah itu, Sinovac akan kembali memasok bahan curah vaksin hingga akhir 2021.
Sementara itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) rencananya mengeluarkan emergency use of authorization (EUA) untuk vaksin Covid-19 pada pekan ketiga Januari 2021.
Kepala BPOM Penny K. Lukito mengatakan EUA bisa terbit bila syarat kelengkapan data sudah lengkap.
"Persyaratan sudah ditetapkan berdasarkan forum bersama WHO (Organisasi Kesehatan Dunia). EUA bisa diberikan saat pandemi asalkan ada data mutu, aspek keamanan dari hasil uji klinis fase satu dan dua yang sudah berjalan, serta interim analisis," kata Penny dalam sebuah konferensi pers virtual beberapa waktu lalu.