Suara.com - Penetapan tersangka terhadap pentolan FPI Habib Rizieq Shihab terkait perkara pelanggaran protokol kesehatan dalam acara pernikahan putrinya mendapat banyak sorotan. Termasuk salah satunya dari Politisi Partai Demokrat.
Deputi Badan Pembinaan Jaringan Konstituen DPP Partai Demokrat, Taufiqurrahman membagikan legal opininya terkait penerapan pasal 160 dan 216 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP yang menjerat Rizieq Shihab dalam kasus hajatan putrinya.
Melalui akun twitter pribadinya @taufiqrus, Taufiq menyoroti penerapan pasal 160 KUHP yang dipakai Polda Metro Jaya dalam menjerat hukum Rizieq Shihab.
Menurut Taufiq, penggunaan pasal tersebut mengenai hasutan yang dilakukan Rizieq dalam perkaranya patut dipertanyakan. Sebab, kata dia, Mahkamah Konstitusi atau MK melalui putusan Nomor 7/PUU-VII/2009 telah mengubah rumusan delik penghasutan dalam pasal 160 KUHP dari delik formil menjadi materil.
Baca Juga: Usut Kematian Anak Buah Rizieq, Komnas HAM Dalami Sejumlah Temuan
"Bahwa terkait hasutan maka hal ini patut dipertanyakan. Kerusakan, kerusuhan, bentrokan dan kekacauan apa yang terjadi? Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nmr 7/PUU-VII/2009 telah mengubah rumusan delik penghasutan dalam Pasal 160 KUHP dari delik formil menjadi delik materil," kata Taufiq dalam cuitannya seperti dikutip Suara.com, Jumat (11/12/2020).
Dengan diubahnya delik penghasutan menjadi delik materil, Taufiq mengatakan, pelaku penghasutan dapat dipidana jika dari hasutannya timbul poin-poin yang dilarang misalnya menyebabkan kerusuhan atau perbuatan anarki.
"Artinya, pelaku penghasutan baru bisa dipidana bila timbulnya akibat yang dilarang seperti kerusuhan atau perbuatan anarki lainnya atau akibat terlarang lainnya. Dengan adanya putusan MK tersebut, makin jelas bahwa perbuatan penghasutan saja tidak bisa dipidana," ujarnya.
Untuk itu, kata Taufiq, jika orang yang dihasut tidak melakukan perbuatan dan ada hubungannya antara hasutan tersebut maka orang menghasut tidak bisa dipidana. Menurutnya, karena delik sudah berubah menjadi materil hasutan tersebut harus ada akibatnya.
"Bahwa terkait unsur hasutan karena deliknya materil, maka harus terjadi dahulu akibatnya baru kemudian dapat dikenakan pidana. Apabila tidak maka dikhawatirkan bersifat karet atau lentur, tidak bisa diukur, dan penerapannya berpotensi sewenang-wenang dalam menafsirkan hasutan," tuturnya.
Baca Juga: Polisi vs FPI di Kematian Laskar Rizieq, Cak Nun Bongkar Sosok Kafir
Lebih lanjut, mantan Anggota DPRD DKI Jakarta tersebut mengingatkan, penerapan hukum pidana harus bersifat Lex Stricta, yaitu bahwa hukum tertulis harus dimaknai secara rigid, tidak boleh diperluas atau multitafsir pemaknaannya.
Terkait penerapan pasal 160 KUHP untuk menjerat Rizieq Shihab dalam kasus kerumunan, Taufiq saat dikonfirmasi Suara.com enggan menanggapi lebih jauh. Ia hanya mengingatkan, negara Indonesia harus tetap berlandaskan hukum. Tidak serta merta berdasarkan kekuasaan.
"Sudah begitu saja. Yang penting semoga negara kita tetap menjadi negara hukum rechstaat (berdasarkan negara hukum) dan bukan menjadi negara kekuasaan machstaat," katanya.
Sebelumnya diberitakan, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus mengatakan penetapan status tersangka dilakukan berdasar hasil gelar perkara yang dilakukan penyidik Subdit I Kamneg Ditreskrimum Polda Metro Jaya pada Selasa (8/12) lalu.
"Pertama penyelenggara saudara MRS (Rizieq Shihab) di pasal 160 dan 216 KUHP," kata Yusri di Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (10/12/2020).
Adapun, Yusri menyebutkan lima tersangka lainnya yakni Ketua Pantia Haris Ubaidillah, Sektretaris Panitia Ali Bin Alwi Alatas, Penanggung Jawab Keamanan Maman Suryadin, Penanggung Jawab Acara Sobri Lubis, serta Kepala Seksi Acara Habib Idrus.
"Enam yang ditetapkan sebagai tersangka," ujar Yusri.